Peninggalan Batu Madya, manusia pendukung, dan kehidupan sosial

Peninggalan Batu Madya atau disebut juga batu tengah merupakan bukti bahwa pada jaman itu sudah terdapat peradaban. Setelah kita bahas peninggalan zaman batu tua pada artikel Peninggalan purba kebudayaan Pacitan dan Ngandong, selanjutnya kita akan membahas peninggalan kebudayaan Batu Madya/Batu Tengah (Mesolitikum/Mesolitik).

Zaman batu madya atau batu tengah berlangsung pada masa kala holosen. Perkembangan kebudayaan pada zaman batu madya berlangsung lebih cepat daripada zaman batu tua.

Bacaan Lainnya

Karena pendukung kebudayaan ini adalah Homo sapiens (manusia cerdas) dan keadaan alam pada zaman itu tidak seliar pada zaman batu tua.

Sehingga dalam waktu lebih kurang 20.000 tahun manusia telah mencapai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dari apa yang telah dicapai pada zaman paleolitikum.

Alat batu yang digunakan pada zaman batu tua masih digunakan pada zaman itu, bahkan dikembangkan. Pengembangan tersebut mendapat pengaruh kebudayaan dari daratan Asia, sehingga memunculkan corak tersendiri.

Alat-alat dari tulang yang digunakan pada zaman tua memegang peranan penting pada zaman batu madya. Manusia pada zaman batu mesolitikum ini telah mampu membuat gerabah, yaitu benda pecah belah yang dibuat dari tanah liat dan dibakar.

Baca juga: Peninggalan Batu Muda

Peninggalan Batu Madya

Peninggalan Batu Madya

Peninggalan kebudayaan batu ini banyak ditemukan di daerah Sampung, Ponorogo, Besuki. Bojonegoro (Jawa Timur) dam di daerah Sumatera. Peninggalan kebudayaan zaman batu madya adalah sebagai berikut:

1. Kebudayaan Tulang Sampung (Sampung Bone Culture)

Alat alat tulang di Gua Sampung, Jawa-timur
Alat alat tulang di Gua Sampung, Jawa-timur

Di abris sous roche banyak ditemukan alat-alat batu dan tulang dari zaman batu madya. Apa yang dimaksud Abris sous roche?: adalah gua-gua yang digunakan sebagai tempat tinggal.

Gua-gua tersebut menyerupai ceruk untuk berlindung dari panas dan hujan maupun saat cuaca alam sedang tidak bersahabat. Pada tahun 1928-1931 Van Stein Callenfeils mengadakan penelitian pertama mengenai abris sous roche di gua Lawa, Sampung, Ponorogo, Jawa Timur.

Hasil kebudayaan yang ditemukan di gua tersebut adalah alat dari batu, seperti: mata panah, flake, batu-batu penggiling serta alat-alat dari tulang dan tanduk.

Karena sebagian besar alat-alat yang ditemukan di Sampung berupa alat-alat dari tulang, maka disebut dengan kebudayaan Tulang Sampung atau Sampung Bone Culture.

Selain alat-alat dari Sampung ini ditemukan pula fosil manusia Papua Melanesoid yang merupakan nenek moyang bangsa Papua dan Melanesia sekarang ini.

Alat-alat batu dan tulang dari zaman batu madya ini juga ditemukan di Besuki, Jawa Timur oleh Van Heekeren. Di gua-gua Bojonegoro juga ditemukan alat-alat dari kerang dan tulang bersama dengan fosil manusia Papua Melanesoid.

2. Kebudayan Toala (Flake Culture)

Kebudayan Toala
Alat alat tulang di Lancipan dari kebudayaan Toala, Sulawesi Selatan

Dua orang peneliti dari Swiss yaitu Fritz Sarasin dan Paul Sarasin, pada tahun 1893-1896 mengadakan penelitian di Gua Lamoncong, Sulawesi Selatan. Gua-gua tersebut masih didiami suku bangsa Toala. Mereka berdua berhasil menemukan alat-alat serpih (flake), mata panah bergerigi dan alat-alat lain dari tulang.

Berdasarkan alat-alat yang ditemukan Van Stein Callenfeils memastikan bahwa kebudayaan Toala tersebut merupakan kebudayaan mesolitikum. Alt-alat yang menyerupai alat kebudayaan Toala juga ditemukan di NTT, yaitu Flores, Roti, dan Timor. Sedangkan di daerah Priangan, Bandung ditemukan flake yang terbuat dari obsidian (batu hitam yang indah).

3. Kebudayaan Kapak Genggam Sumatra (Pebble Culture)

Kebudayaan Kapak Genggam Sumatra
Kebudayaan Kapak Genggam Sumatra

Di sepanjang pesisir Sumatra timur laut, antara Langsa (Aceh) sampai dengan Medan ditemukan bekas-bekas tempat tinggal manusia dari zaman batu madya. Penemuan tersebut berupa tumpukan kulit kerang yang membatu setinggi 7 meter.

Dalam bahasa Denmark, tumpukan kulit kerang kerang tersebut disebut kjokkenmoddinger yang artinya sampah dapur.

Van Stein Callenfeils pada tahun 1925 juga menemukan pebble (kapak Sumatra), batu-batu penggiling, alu dan lesung batu, kapak pendek (hacke courte), serta pisau batu.

Kapak Sumatra atau pebble yaitu sejenis kapak genggam yang terbuat dari batu kali yang dipecah atau dibilah di mana sisi luarnya tidak diapa-apakan, sedangkan sisi dalamnya dikerjakan sesuai dengan keperluan.

Kapak pendek atau hacke courte, yaitu sejenis kapak genggam yang bentuknya kira-kira setengah lingkaran, dibuat dengan memukuli dan memecahkan batu tanpa diasah, tajamnya terdapat pada sisi yang lengkung.

Manusia pendukung

Manusia pendukung kebudayaan mesolitikum adalah manusia dari ras Papua Melanesoid. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya fosil-fosil manusia ras Papua Melanesoid, baik pada kebudayaan Sampung maupun di bukit kerang di Sumatra.

Adapun pendukung kebudayaan Toala menurut Sarasin diperkirakan nenek moyang suku Toala sekarang yang juga merupakan keturunan bangsa Wedda dari Sri Lanka.

Kehidupan sosial

Sebagian manusia pendukung kebudayaan mesolitikum masih tetap berburu dan mengumpulkan makanan, tetapi sebagian besar dari mereka sudah mempunyai tempat tinggal tetap di gua-gua dan bercocok tanam secara sederhana.

Ada pula pendukung kebudayaan batu madya yang hidup di pesisir pantai. Mereka hidup dengan menangkap ikan, siput dan kerang.

Mereka bercocok tanam secara sederhana dan masih berpindah-pindah sesuai dengan keadaan kesuburan tanah.

Tanaman yang mereka tanam semacam umbi-umbian. Pada masa itu, manusia purba sudah berusaha menjinakkan binatang. Hal ini dibuktikan dengan penemuan fosil anjing di Gua Cokondo, Sulawesi Selatan.

Seni lukis

Pendukung kebudayaan mesolitikum melakukan kegiatan menggambar pada dinding-dinding gua ketika mereka mulai hidup menetap di gua. Pada tahun 1950 Van Heekem melakukan penelitian pertama kali lukisan pada dinding gua di Leang Patta E, Sulawesi Selatan.

Pada gua tersebut terdapat gambar cap-cap tangan dengan latar belakang cat merah dan gambar seekor rusa yang sedang melompat dengan panah di bagian jantungnya.

Pada tahun 1977, Kosasih S.A. menemukan lukisan gua di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Di gua tersebut ditemukan bermacam-macam lukisan seperti manusia dengan berbagai sikap, kuda, rusa, buaya, dan anjing.

Pada tahun 1937 J. Roder menemukan lukisan dinding gua di Pulau Seram dan Pulau Kei. Lukisan tersebut di antaranya cap-cap tangan, gambar kadal, manusia, rusa burung, perahu, matahari, mata, dan gambar-gambar geometrik.

Kepercayaan

Masyarakat pendukung zaman mesolitikum di Indonesia sudah mengenal kepercayaan dan penguburan mayat. Lukisan manusia di Pulau Seram dan Papua merupakan contoh gambar nenek moyang yang dianggap memiliki kekuatan magis sebagai penolak roh jahat.

Baca juga:Peninggalan zaman Batu Besar

Bukti adanya penguburan dari zaman mesolitikum ditemukan di Gua Lawa (Sampung) dan kjokkenmoddinger. Mayat yang dikubur tersebut dibekali dengan bermacam-macam keperluan sehari-hari seperti kapak-kapak yang indah dan perhiasan.

Ada juga mayat yang ditaburi dengan cat merah dalam suatu upacara penguburan dengan maksud memberikan kehidupan baru di alam baka.

Pos terkait