Kondisi sosial politik kesultanan Ternate dan Tidore

Melanjutkan artikel sejarah sebelumnya yaitu: Sejarah kesultanan Ternate dan Tidore, berikut akan diulas tentang Kondisi sosial politik kesultanan Ternate dan Tidore – Belum ada informasi sejarah yang pasti tentang kapan Islam pertama kali masuk ke Maluku.

Satu hal yang pasti, Kesultanan Ternate resmi memeluk Islam pada pertengahan abad ke-15 ketika Kolano (raja) Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18, memeluk Islam, yang kemudian diikuti seluruh kerabat dan pejabat istana.

Bacaan Lainnya

Sebagai referensi baca juga: Masuknya Islam di kepulauan Indonesia

Agama Islam di Ternate

Meskipun baru memeluk Islam pada pertengahan abad ke-15, keberadaan banyak pedagang Arab di Ternate sejak awal berdirinya kesultanan ini (1257) menunjukkan kerajaan ini telah sedikit banyak mengenal agama Islam.

Islam berkembang pesat pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin yang berkuasa dari tahun 1486 sampai 1500, putra raja Marhum. Informasi sejarah mengatakan bahwa para santri dari Maluku yang memperdalam ajaran Islam dengan berguru kepada Sunan Giri (lahir di Blambangan, Jawa Timur tahun 1442) di Pulau Jawa kemungkinan besar terjadi pada masa ini.

Selengkapnya mengenai Sunan Giri silahkan baca: Sekilas sejarah Sunan Giri

Zainal Abidin sendiri bahkan dikabarkan pernah belajar secara pribadi pada Sunan Giri, di mana ia dikenal dengan sebutan Sultan Bualawa (Sultan Cengkeh).

Sultan Zainal Abidin sendiri meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan Sultan. Pada masanya pula Islam diakui sebagai agama resmi, syariat Islam diberlakukan dan lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama dibentuk.

Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kesultanan-kesultanan lain di Maluku. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate.

Secara berurutan sultan-sultan yang memerintah Ternate adalah Sirullah atau Bayanullah (memerintah dari tahun 1500-1521), Khairun (memerintah dari tahun 1534-1570), dan Baabullah (memerintah dari tahun 1570-1583).

Untuk kepentingan perdagangan, Kesultanan Ternate membangun persekutuan yang disebut Uli Lima, atau persekutuan lima saudara yang terdiri dari lima wilayah, yaitu Bacan, Obi, Seram, Ambon, dan Ternate, dengan Ternate sebagai pimpinannya.

Sedangkan kesultanan Tidore juga membangun persekutuan yang bernama Uli Siwa, yang terdiri dari Makyan, Jailolo atau Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan Papua, dengan Tidore sebagai pimpinannya.

Awalnya, kedua kesultanan ini hidup berdampingan dengan damai. Konflik terjadi ketika para pedagang Eropa mulai datang. Pada tahun 1512, bangsa Portugis dan Spanyol masuk ke wilayah Maluku (Ternate), persis pada masa pemerintahan Sultan Bayanullah.

Portugis memilih untuk berhubungan dengan Ternate, sedangkan Spanyol lebih memilih Tidore. Portugis mendirikan Benteng Sao Paolo di Ternate, dengan alasan untuk melindungi Ternate dari serangan Kesultanan Tidore yang bersekutu dengan Spanyol.

Pada awal itulah benih-benih konflik antara Ternate dan Tidore mulai muncul. Baik Portugis maupun Spanyol sebenarnya sama-sama ingin menguasai wilayah-wilayah yang ada dalam persekutuan kedua kesultanan tersebut, sehingga mereka sengaja melancarkan taktik dengan cara membina hubungan baik dengan penguasa setempat.

Monopoli Portugis Terhadap Ternate

Selanjutnya, lama-kelamaan sikap Portugis semakin membuat Sultan Ternate merasa tidak nyaman, terutama ketika Portugis mulai melakukan hal-hal seperti di bawah ini:

  • melakukan kegiatan monopoli perdagangan.
  • mencampuri urusan internal kesultanan Ternate.

Sultan Baabullah (Ternate) kemudian melakukan perlawanan pada tahun 1570 dan berhasil mengusir Portugis dari Ternate pada tahun 1575. Protugis dipaksa menyingkir ke Ambon, kemudian serangan Belanda ke Ambon memaksa Portugis enyingkir ke arah selatan menuju Timor serta menguasai daerah tersebut pada tahun 1578 sampai 1976.

Baca selengkapnya di: Perlawanan ternate terhadap portugis

Di bawah pemerintahan Sultan Baabullah inilah Kesultanan Ternate mengalami kemajuan pesat. Ia memperluas wilayahnya hingga ke Sulawesi, Bima, dan Mindandi (Filipina). Wilayahnya yang semakin luas dan ditunjang dengan kegiatan perdagangan dan pelayaran yang maju membuat Sultan Baabullah mendapat julukan “yang dipertuan di tujuhpuludua pulau”.

 Kedatangan Belanda ke Ternate

Bendera dan Lambang Ternate
Bendera dan Lambang Ternate

Namun, di sisi lain, kekalahan Portugis justru menjadi pintu masuk Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah. Belanda mendapatkan momentum yang baik untuk itu ketika pada tahun 1580 Spanyol yang telah bersatu dengan Portugis mencoba menguasai kembali Maluku dengan menyerang Ternate.

Sultan Baabullah wafat pada tahun 1583, yang penyebabnya masih diperdebatkan. Perlawanan tidak pernah surut. Namun, akhirnya kekalahan demi kekalaan memaksa Ternate meminta bantuan Belanda tahun 1603.

Dengan bantuan Belanda Ternate akhirnya sukses menahan Spanyol. Namun, untuk itu Ternate membayar mahal, Belanda secara perlahan-lahan menguasai Ternate. Tanggal 26 Juni 1607 sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol.

Pada tahun 1607 pula Belanda membangun Benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di Nusantara.

Untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membentuk badan administratif yang disebut Governement van Ambonia (GvA) di Maluku yang mencakup juga Banda, Kei, Aru, Tanimbar, serta teon-Nila Serua.

Sistem monopoli yang diterapkan Belanda dalam perdagangan rempah-rempah lambat laun mengundang perlawanan rakyat Maluku, namun selalu gagal membendung kekuatan Belanda. Sejak itu Kesultanan Ternate berada di bawah cengkeraman dan pengaruh Belanda.

Baca juga: Perlawanan Kakiali terhadap VOC

Persekutuan Tidore dan Spanyol

Bendera dan Lambang Tidore
Bendera dan Lambang Tidore

Sementara itu, Sultan Mansur dari Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu pada tahun 1521, dalam rangka mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu dengan Portugis.Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tanggal 1663 karena protes pihak Portugis yang menganggap Spanyol melanggar Perjanjian Tordesillas tahun 1494, Tidore menjadi kesultanan paling independen di Maluku.

Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tanggal 1663 karena protes pihak Portugis yang menganggap Spanyol melanggar Perjanjian Tordesillas tahun 1494, Tidore menjadi kesultanan paling independen di Maluku.

Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin (memerintah tahun 1657-1689), Tidore menolak penguasaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.

Wilayah Kesultanan Tidore
Wilayah Kesultanan Tidore pada abad ke-16 (Uli Siwa)

Tentang Perjanjian Tordesillas

Perjanjian Tordesillas ditandatangani di Tordesillas (sekarang provinsi Valladolid, Spanyol) pada tanggal 7 Juni 1494, yang membagi dunia di luar Eropa menjadi duopoli eksklusif antara Spanyol dan Portugis.

Perjanjian ini membuat Portugis mendapatkan kontrol atas sebagian tanah di Amerika Selatan termasuk Brasil dan juga seluruh Samudra Hindia termasuk Maluku, Macau, dan India.

Sedangkan Spanyol mendapatkan Dunia Baru (Benua Amerika kecuali Brazil). Disebut Dunia Baru karena sebelumnya orang Eropa menganggap dunia ini hanya terdiri dari Eropa, Asia, dan Afrika (disebut juga dengan nama Dunia Lama). Benua Amerika merupakan sebuah tempat baru dan asing bagi orang Eropa.

Peran besar Ternate terhadap agama, adat, dan bahasa Nusantara

Kesultanan Tidore mencapai masa kejayaan pada masa Sultan Nuku tahun 1738-1805. Sama halnya Baabullah di Ternate, Sultan Nuku anti-imperialis. Karena sikapnya ini, pengaruh budaya Portugis dan Belanda (VOC) lebih berpusat di luar Kesultanan Ternate dan Tidore seperti di Maluku Selatan (Ambon) yang menjadi pusat penyebaran agama Katolik da Protestan, sedangkan agama Islam labih berkembang di wilayah Maluku Utara.

Baca perjuangan sultan ini di artikel: Siasat Sultan Nuku mengusir VOC dari Tidore

Masa kejayaan imperium Nusantara bagian timur yang dipimpin ternate memang runtuh sejak pertengahan abad ke-17, namun pengaruh Ternate sebagai sebuah kesultanan terus terasa hingga berabad-abad kemudian.

Ternate memiliki andil yang sangat besar terhadap kebudayaan Nusantara bagian timur khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan Maluku. Pengaruh itu mencakup agama, adat-istiadat, dan bahasa.

Ternate juga memiliki peran yang besar dalam upaya pengislaman dan pengenalan syariat-syariat Islam di wilayah timur Nusantara dan bagian selatan Filipina.

Bentuk organisasi kesultanan serta penerapan syariat Islam yang diperkenalkan pertama kali oleh oleh Sultan Zainal Abidin menjadi standar yang diikuti semua kesultanan di Maluku hampir tanpa perubahan berarti.

Keberhasilan rakyat Ternate dibawah Sultan Baabullah dalam mengusir Portugis tahun 1575 merupakan kemenangan pertama pribumi Nusantara atas kekuatan Barat. Almarhum Buya Hamka bahkan mengatakan, kemenangan Ternate ini telah menunda penjajahan Barat atas Bumi Nusantara selama 100 tahun sekaligus memperkokoh kedudukan Islam.

Pos terkait