Akulturasi Hindu Buddha Islam bidang sastra

Dalam hal sastra, sangat terjadi proses akulturasi dengan kebudayaan Hindu-Buddha. Karya sastra memang dipengaruhi oleh sastra Islam yang berasal dari Persia, misalnya dalam “Kisah Bayan Budiman”, “Amir Hamzah”, dan “Cerita Seribu Satu Malam”, namun pengaruh Hindu-Buddha dan Jawa juga masih nyata.

Pengaruh kesusastraan Hindu terhadap kesusastraan Islam terutama berasal dari dua kisah epos terkenalnya, yaitu Mahabharata dan Ramayana, sera Cerita Panji. Pengaruh kedua kitab itu sangat terasa misalnya dalam Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Perang Pandawa Jaya, Hikayat Sri Rama, dan sebagainya.

Hikayat di Sumatra Barat disebut Tambo, di Jawa disebut Babad, di Sulawesi Selatan disebut Lontara, adalah karya sastra yang berisi cerita atau dongeng yang sering dikaitkan dengan tokoh sejarah.

Tambo Minangkabau misalnya, berisi tentang sejarah raja-raja Minangkabau, Babad Tanah Jawa berisi tentang kisah raja-raja dari berbagai kerajaan di Jawa, Hikayat Hang Tuah berisi kisah kepahlawanan dari para penglima kerajaan Malaka, dan Lontara Bugis berisi sejarah dari Kerajaan Bugis.

Di pulau Jawa, karya-karya tersebut umumnya berbentuk tembang, sedangkan di luar Jawa kebanyakan berbentuk prosa dan ditulis dalam bentuk syair. Sementara itu, Cerita Panji berkembang di luar Jawa dalam bentuk syair Panji Semirang, syair Ken Tambuhan, Lelakon Mahisa Kumitir, dan lain-lain.

Selain hikayat, ada juga jenis lain kesusastraan zaman Islam yang mendapat pengaruh kuat dari Hindu-Buddha dan tradisi lokal Nusantara, yaitu Suluk. Suluk adalah teks sastra yang mengandung ajaran tasawuf, suara aliran mistik dalam Islam yang mengungkap tentang jalan spiritual-asketis atau mati-raga menuju kesatuan dengan Tuhan.

Pengaruh HIndu-Buddha dan tradisi lokal Jawa yang paling kelihatan dalam kedua teks itu misalnya dalam hal penyebutan konsepsi “Tuhan”. Contoh nyata adalah pada Suluk LOkajaya dan Suluk Centhini.

Dalam kedua Suluk bernafaskan Islam ini, penyebutan nama Tuhan tidak hanya Allah, tetapi juga dengan banyak nama, di antaranya: Hyang Suksma, Hyang Widi, Pangeran, Hyang Agung, Hyang Manon, Gusti, Kang Mahamulya, Hyang Tunggal, Kang Murbeng Alam, Ingkang Amurba, Pangeran Ingkang Maha Minulya, Mahaluwih, Maha Agung, Hyang Kang Wisesa, Mahasuci, Hyang Mahaluwih, dan Hyang Kang Maha Agung.

Dari kata-kata ini muncul kata sembahyang yang berasal dari kata sembah dan hyang. Hal ini merupakan bentuk akulturasi.

Selain Suluk Lokajaya dan Suluk Centhini, peninggalan Islam berupa suluk antara lain Suluk Wujil,, Suluk Sunan Bonang, Suluk Sukarsa, Suluk Syarab al Asyiqin, dan Suluk Malang Sumirang.

Baca juga: Akulturasi Hindu Buddha Islam bidang seni bangunan

Pos terkait