Satrio Piningit dalam Kitab Musasar Jayabaya

Satrio Piningit dalam Kitab Musasar Jayabaya – Uraian yang menandai suatu masa atau periode Pulau Jawa termuat dalam tembang Sinom.

Bait 18

Bait 18 yang berbunyi sebagai berikut :

Bacaan Lainnya

Dene jejuluke nata
Lung gadhung rara nglingkasi
Nuli salin gajah meta
Semune tengu lelaki
Sewidak warsa nuli
Ana dhawuhing bebendu
Kelem negaranira
Kuwur tataning negari
Duk semana pametine wong ing ndesa

Artinya: Nama rajanya Lung Gadhung Rara Nglikasi, kemudian berganti Gajah Meta Semune Tengu Lelaki. Enam puluh tahun menerima kutukan, sehingga tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan. Waktu itu pajaknya rakyat adalah….

Lung Gadhung Rara Nglikasi memiliki makna pemimpin penuh inisiatif (cerdas) nemun memiliki kelemahan sering tergoda wanita. Pertanda ini menunjuk pada presiden pertama RI Soekarno. Sedangkan Gajah Meta Semune Tengu Lelaki bermakna pemimpin yang kuat, karena disegani atau ditakuti namun akhirnya terhina atau nista. Pertanda ini menunjuk pada presiden kedu Republik Indonesia yaitu Soeharto.

Baca juga: 7 ciri Satrio Piningit ramalan Jayabaya

Dalam bait ini juga dikatakan bahwa selama ini negara menerima kutukan, sehingga tidak ada kepastian hukum.

Bait 20

Bait 20 yang berbunyi sebagai berikut:

Bojode ingkang negara
Narendra pisah lan abdi
Prabupati sowang-sowang
Samana ngalih nagari
Jaman Kutila genti
Kara murka ratunipun
Semana linambangan
Dene Maolana Nglali
Panji loro semune Pajang Mataram

Artinya: Negara rusak, raja berpisah dengan rakyat, bupati berdiri sendiri-sendiri, kemudian berganti zaman Kutila, rajanya Kara Murka, lambangnya Panji Loro Semune Pajang Mataram.

Bait ini menggambarkan situasi negara yang kacau. Pemimpin jauh dari rakyat dan dimulainya era baru dengan yang dinamakan otonomi daerah sebagai implikasi bergulirnya reformasi (zaman kutila).

Karakter pemimpinnya saling menjegal untuk menjatuhkan (raja kara murka). Perlambang Panji Loro semune Pajang Mataram bermakna ada dua kekuatan pimpinan yang berseteru, yang satu dilambangkan Pajang (Joko Tingkir) dan yang lain diambangkan dengan trah Mataram (Pakubuwono). Hal ini menunjuk pada era Gus Dur dan Megawati.

Bait 21

Bait 21 yang berbunyi sebagai berikut:

Nakoda melu wasesa
Kaduk bandha sugih wani
Sarjana sirep sadaya
Wong cilik kawelas asih
Mah omah bosah baseh
Katarajang marga agung
Panji loro dyan sirna
Nuli rara ngangsu sami
Randha loro nututi pijer tetukar

Artinya: Nahkoda ikut serta memerintah, punya keberanian dan kaya, sarjana (orang pandai) tidak berdaya, rakyat kecil sengsara, rumah hancur berantakan diterjang jalan besar, kemudian diganti dengan lambang Rara Ngangsu, Randha loro Nututi Pijer Tetukar.

Situasi negara dalam bait ini digambarkan bahwa kekuatan asing memiliki pengaruh sangat besar. Orang pandai berpendidikan tinggi dilambangkan tidak berdaya (pinter keblinger). Kondisi rakyat kecil makin sengsara. Perlambang Rara ngangsu, randha loro nututi pijer tetukar bermakna seorang pemimpin wanita yang selalu diintai oleh dua saudara wanitanya seolah ingin menggantikan.

Perlambang ini menunjuk pada Megawati presiden RI kelima yang selalu dibayangi oleh Rahmawati dan Sukmawati.

Bait 22

Bait 22 yang berbunyi sebagai berikut :

Tan kober paes sarira
Sinjang kemben tan tinoleh
Lajengipun sinung lambang
Dene Maolana Ngali
Samsujen Sang-a Yogi
Tekane Sang Kala Bendu
Sasmitane lambang kang kocap punika

Artinya: Tan kober paes sarira sinjang kemben tan tinoleh itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kalabendu. Perlambang Tan kober paes sarira sinjang kemben tan tinoleh bermakna pemimpin yang tidak sempat mengatur negara, karena direpotkan dengan berbagai masalah.

Hal ini menunjuk pada presiden RI keenam saat ini, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan perlambang Semarang Tembayat tempat merupakan tempat di mana ada seseorang memahami dan mengetahui solusi dari apa yang terjadi.

Bait 27

Bait 27 yang berbunyi sebagai berikut:

Dene besuk nuli ana
Tekane kang Tunjung putih
Semune pundhak kasungsang
Bumi Mekah denya lair
Iku kang angratoni
Jagad kabeh ingkang mengku
Juluk Ratu Amisan
Sirep musibating bumi
Wong nakoda milu manjing ing samuwan

Artinya: Kemudian kelak akan datang Tunjunt putih semune Pundhak kasungsang lahir di bumi Mekah, menjadi raja di dunia bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nahkoda ikut ke dalam persidangan.

Perlambang tunjung putih semune pundhak kesungsang memiliki makna seorang pemimpin yang masih tersembunyi berhati suci dan bersih. Inilah seorang pemimpin yang dikenal banyak orang dengan nama “Satrio Piningit”.

Lahir di bumi Mekah merupakan perlambang bahwa pemimpin tersebut adalah orang Islam sejati memiliki ketauhidtan sangat tinggi.

Bait 28

Bait 28 yang berbunyi sebagai berikut:

Prabu tusing waliyulah
Kadhatone pan kekalih
Ing Mekah ingkang satunggal
Tanah Jawi kang sawiji
Prenahe iku kaki
Perak lan gunung perahu
Sakulone tempuran
Balane samya jrih asih
Iya iku ratu rinenggeng sajagad

Artinya: Raja utusan waliyullah, berkedaton dua di Mekah dan tanah Jawa, letaknya dekat Gunung Perahu, sebelah barat tempuran, dicintai pasukannya, memang raja yang terkenal sedunia.

Bait ini menggambarkan bahwa pemimpin tersebut adalah hasil didikan atau tempaan seorang waliyullah (aulia) yang juga selalu tersembunyi. Berkedaton di Mekah dan tanah Jawa merupakan perlambang yang bermakna bahwa pemimpin tersebut selain ber-Islam, juga berpegang teguh pada kawruh Jawa (ajaran leluhur Jawa tentang laku utama).

Sedangkan Gunung Perahu seperti telah disinggung sebelumnya adalah Lebak Cawene. Sedangkan tempuran adalah pertemuan dua sungai di muara yang biasanya digunakan untuk tempat bertirakat “kungkum” bagi orang Jawa. Namun, di sini tempuran bermakna “watu gilang, sebagai pertemuan alam fisik dan alam gaib.

Dalam budaya spiritual Jawa keberadaan watu gilang sangat lekat dengan eksistensi seorang raja. Pemimpin tersebut akan mampu memimpin nusantara ini dengan baik, adil, dan membawa pada kesejahteraan rakyat, serta menjadikan nusantara sebagai barometer dunia (istilah Bung Karno : “negara Mercusuar”).

Pos terkait