Tentang Zaman Brahmana

Zaman Brahmana ditandai oleh kitab-kitab Brahmana, yaitu Weda-Samhita yang berisi peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban keagamaan. Berbeda daripada Weda-Samhita, kitab-kitab Brahmana disusun dalam bentuk prosa.

Kata “Brahmana” berasal dari kata “brahman” yang berarti doa, yaitu ucapan-ucapan sakti, yang diucapkan oleh para imam atau Brahmana pada waktu berkorban. Mak kitab Brahmana adalah kitab-kitab yang menjadi tempat penyimpanan ucapan-ucapan sakti itu.

Jika sebagian besar dari Rg Weda itu terjadi pada awal kediaman bangsa Arya di India, yaitu pada waktu mereka masih banyak berperang dan masih tinggal di bagian Barat Laut India, dan bagian Rg Weda yang muda serta kitab-kitab Yajur Weda dan Atharwa Weda terjadi pada waktu bangsa Arya sudah menyebar ke timur hingga di Madyadeca, maka kitab-kitab Brahmana itu terjadi ketika bangsa Arya sudah menetap di bagian timur India Utara yang lebih ke timur, yaitu di lembah sunga Gangga.

Sesuai dengan sebutan bagian Weda ini, yaitu Brahmana, maka pokok pembicaraan dalam kitab-kitab ini ialah korban-korban para imam dan arti korban-korban itu. Jadi perhatian dipusatkan kepada korban-korban itu sendiri.

Korban itu menjadi sedemikian pentingnya, hingga masyarakat dalam seluruh cabang kehidupannya, bahkan alam semesta ini tak dapat berkutik, jika tak ada korban. Umpamanya ada ucapan bahwa matahari tak akan terbit jika imam pada pagi hari tidak mempersembahkan korban api.

Bersamaan dengan menonjolnya korban-korban tersebut, para imam yang menjalani korban itu dengan sendirinya juga menjadi penting, bahkan sedemikian penting, hingga masyarakat seratus persen menggantungkan diri kepada imam-imam itu.

Timbullah pada zaman ini cerita-cerita yang menguraikan asal mula para imam atau Brahmana. Demikian juga pada zaman ini terjadi pembagian masyarakat masyarakat dalam empat kasta, yaitu kasta Brahmana (para imam), kasta Ksatriya (pemerintah), kasta Waisya (pekerja) dan kasta Sudra (rakyat jelata dan budak). Oleh karena itu semua kehidupan masyarakat menjadi bersifat ritualistis.

Dilihat dari sudut filsafat jaman Brahmana ini menjadi zaman pendahuluan berfikir yang secara metafisis. Dasar-dasar pemikiran falsafi yang sudah tampak pada zaman Weda Kuno sekarang ini mulai diluaskan secara konsekwen dalam bentuk yang lebih abstrak dan lebih sintetis, sekalipun belum mendapatkan suatu sistem yang bulat.

Bahan-bahan filsafat masih tersebar tak teratur. Penguraian-penguraian yang sistematis baru terjadi pada zaman berikutnya, yaitu zaman Upanisad.

Brahma adalah bentuk pokok daripada Brahman dan berasal dari akar kata “brh” artinya yang artinya “tumbuh atau berkembang”. Mula-mula brahma adalah sabda-Weda yang suci, mantra yang suci, kemudian diartikan sebagai daya atau tenaga yang menjelma di dalam mantra-mantra atau di dalam doa.

Akhirnya brahma itu dipandang sebagai suatu daya atau tenaga yang mengatasi kodrat yang menjadi azas segala kuasa dan zat azasi daripada segala yang ada.

Disamping mencari azas pertama dari segala sesuatu yang ada ini pemikiran pada zaman Brahmana ini juga mulai mengarahkan perhatiannya kepada manusia sendiri.

Pada manusia itu dibedakan antara bagian yang tampak dan yang tidak tampak. Yang tampak disebut rupa, yaitu tubuh, dan yang tak tampak disebut nama, yaitu unsur-unsur yang menentukan proses hidup, yang terdiri dari manas (pemikiran), budhi (akal), pranta atau atman (nafas), penglihatan dan pendengaran.

Kelima unsur tersebut yang juga disebut pancaprana, adalah bagian manusia yang tak dapat mati, sebagai lawan dari lima unsur yang dapat mati, yaitu : rambut, kulit, daging, tulang dan sumsum.

Dari pancaprana itu atman atau nafaslah yang menjadi pusat kekuatan hidup. Jika orang mati pancaprana meningglkan tubuh (rupa), kembali kepada asalnya, yaitu bulan, api, angin, matahari dan penjuru langit, jika perlu dikembalikan ke alam syurga.

Hubungan antara manusia dan alam semesta (mikrokosmos dan makrokosmos) juga sudah dikemukakan, dan dinyatakan dalam paralelisma. Tetapi hal ini belum mewujudkan susunan yang harmonis. Tiap-tiap bagian masih dibicarakan sendiri-sendiri, umpamanya: rupa (tubuh) = bumi, bicara = api, mata = matahari, nafas = angin, telinga = penjuru langit, akal = bulan.

Disatu pihak sudah diketemukan juga azas pertama alam semesta ini, yaitu Brahma, dilain pihak sudah diketemukan juga azas pertama atau pusat hidup manusia, yaitu atman. Nanti di dalam Upanisad akan diketemukan bahwa Brahman adalah Atman.

Mengenai hidup dia akherat tidak terdapat ajaran yang jelas. Hanya disebutkan bahwa ada jalan yang menuju kepada nenek moyang, dan ada jalan yang menuju kepada dewa-dewa yang diam di syurga.

Barang siapa mengerti dengan benar dan melaksanakan upacara-upacara korban tersebut, ia akan mendapatkan kebahagiaan yang kekal, yaitu bersatu dengan Aditya dan Agni.

Tetapi barang siapa tidak menunaikan tugas itu, ia akan meninggalkan hidup ini sebelum waktunya dan sesudah dineraca perbuatannya, ia akan menerima hadiah yang setimpal, baik mengenai yang jahat maupun yang baik.

Mengenai nasib manusia sesudah mati ini ada perbedaan dengan pandangan kitab-kitab Weda, yaitu di dalam kitab-kitab Weda disebutkan bahwa orang jahat itu akan dibinasakan dan orang yang baik akan mendapatkan hidup kekal. Tetapi, di dalam kitab-kitab Brahmana disebutkan bahwa orang jahat maupun orang baik akan dilahirkan kembali.

Kelahiran kembali ini harus dipandang sebagai suatu anugerah, jadi bukannya sesuatu yang harus dihindarkan dari manusia. Tetapi kelahiran kembali ini belum dipandang sebagai suatu rantai yang tidak ada awal dan akhirnya. Orang hanya dilahirkan kembali satu kali saja. Demikianlah ajaran tentang karma dan samsara sudah dimulai juga pada zaman Brahmana.

Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa pemikiran falsafi itu pada zaman Brahmana sudah menampakkan garis-garisnya yang nyata, yang nanti akan disempurnakan pada zaman Upanisad.

Pos terkait