Kerajaan Goa dan Talo

Kerajaan Goa dan Talo termasuk salah satu Kerajaan islam di Indonesia yang terletak di Sulawesi Selatan. Bukankah negara kita kaya akan budaya? Betapa tidak, setiap kerajaan memiliki ciri khas dan budayanya sendiri. Jika anda pergi ke suatu tempat bekas kerajaan jaman dahulu, coba perhatikan berbagai peninggalan yang tercermin baik dari prasasti, candi ataupun peninggalan lainnya.

Terbentuknya Goa dan Talo

Pada mulanya di Sulawesi Selatan berdiri beberapa kerajaan, diantaranya : Gowa, Tallo, Luwu, Bone dan Soppeng. Kerajaan Soppeng, Wajo dan Bone bergabung menjadi Tellum Pacceu. Kerajaan Gowa dan Tallo bergabung menjadi Kerajaan Makasar.

Bacaan Lainnya

Gowa dan Tallo menjadi kerajaan Islam karena dakwah dari Datuk Ri Bandang dan Datuk Sulaiman dari Minangkabau. Setelah masuk Islam, raja Gowa, Daeng Manrabia bergelar Sultan Alaudin. Dan raja Tallo, Kraeng Mantoaya bergelar Sultan Abdullah, dengan julukan Awalul Islam.

Gowa-Tallo berkembang pesat karena letaknya yang strategis ditengah-tengah lalu lintas pelayaran antara Malaka dan Maluku. Sehingga wilayah Makasar juga meliputi pulau-pulau sekitarnya sampai ke bagian Timur Nusatenggara.

Peta Wilayah kekuasaan Goa dan Talo

Peta Wilayah kekuasaan Goa Talo
Wilayah kekuasaan Federasi Kesultanan Gowa-Tallo pada abad ke-16

Sultan Alaudin, 1591 – 1639

Pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Makasar mengembangkan pelayaran dan perdagangan sehingga kesejahteraan rakyat meningkat. Ia juga dikenal sebagai sultan yang sangat menentang Belanda, hingga wafat pada tahun 1639. la digantikan putranya Sultan Muhammad Said.  

Muhammad Said, 1639 – 1653

Pada masa pemerintahan Muhammad Said, Makasar maju pesat sebagai bandar pelabuhan transito. Muhammad Said juga pernah mengirimkan pasukan ke Maluku, untuk membantu rakyat Maluku yang sedang berperang melawan Belanda. Pengganti Muhammad Said adalah putranya bergelar Sultan Hasanuddin.

Sultan Hasanuddin, 1653 – 1669

Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, Makasar mencapai masa kejayaannya. Dalam waktu singkat Makasar berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan.

Ia juga memperluas wilayah kekuasaannya di Nusa Tenggara seperti Sumbawa dan sebagian Flores. Dengan demikian kegiatan perdagangan melalui Laut Flores harus singgah di Makasar.

Hal itu ditentang oleh Belanda, karena hubungan Ambon dan Batavia terhalang oleh kekuasaan Makasar. Keberanian Hasanuddin memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku mengakibatkan Belanda semakin terdesak. Oleh karena keberaniannya itulah Belanda memberi julukan “Ayam Jantan dari Timur” kepada Sultan Hasanuddin.

Dalam rangka menguasai Makasar, Belanda melakukan politik devide at impera. Kesempatan yang baik datang ketika pada tahun 1660 Raja Soppeng – Bone bernama Aru Palaka yang sedang memberontak kepada kerajaan Gowa. Karena merasa terdesak Aru Palaka meminta bantuan VOC.

VOC yang dipimpin oleh Cornelis Speelman menyerang dari laut, sedangkan Aru Palaka dari darat. Makasar bertahan mati-matian untuk mempertahankan benteng Barombong dan benteng istana Sombopu. Sultan Hasanuddin akhirnya dapat dikalahkan dan harus menandatangani Perjanjian Bongaya pada tahun 1667.

Perjanjian Bongaya, 1667

Kompeni Dagang Belanda (VOC) memperoleh hak monopoli dagang di Makasar. Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar. Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar. Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone.

Sultan Hasanuddin digantikan putranya bernama Imampasomba Daeng Nguraga, yang juga dikenal sebagai Sultan Amir Hamzah. Ia tidak mampu mempertahankan Makasar dari serbuan Belanda secara bertubi-tubi.

Baca juga: Sumber sejarah Kesultanan Gowa Tallo

Berikutnya: Perdagangan dan pelayaran di Indonesia sekitar tahun 1500 Masehi

Pos terkait