Kampuchea negara pejuang di Asia Tenggara

Kampuchea adalah suatu negara kecil yang berkedudukan di Asia Tenggara. Lama dikenal sebagai Kambodia (suatu variasi ejaan namanya), negeri ini terus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya. Lebih dari 100 tahun negeri ini diperintah oleh tiga penguasa asing yang berbeda.

Prancis membuatnya protektorat semacam daerah jajahan pada tahun 1863, sedangkan Jepang mengendalikan wilayah ini selama pendudukannya di seluruh Asia Tenggara pada Perang Dunia II. Prancis kembali menguasainya setelah perang usai dan baru kemudian kerajaan Kambodia begitulah namanya waktu itu mencapai kemerdekaannya pada tahun 1953.

Kemudian, pada tahun 1978 Kampuchea, yang pada waktu itu dikuasai oleh pemerintahan komunis, diserbu oleh negara tetangganya Vietnam, yang juga komunis, yang segera mendirikan pemerintahan boneka.

Tidak seperti Prancis, sebuah kekuatan Eropa, dan Jepang, yang terletak sedikit jauh di timurlaut Asia, Vietnam berbatasan dengan negara ini. Vietnam telah secara terus-menerus berekspansi dan secara lambat laun menyerap wilayah yang dahulu diklaim oleh Kampuchea sebelum menjadi protektorat Prancis.

Vietnam, negara tetangga dengan kekuatan militer utama di daratan Asia Tenggara, tidak mungkin melepaskan lagi kendali atas wilayah tersebut yang pada akhirnya diciptakannya.

Tidak satu pun dari ketiga pemerintahan bebas Kampuchea memerintah negeri itu dengan hasil istimewa. Pangeran Norodom Sihanouk (1953-1970) yang berkharisma gagal mendirikan lembaga politik yang kuat.

Marsekal Lon Nol (1970-1975) bukanlah tandingan bagi pemberontak komunis yang sedang menanjak, sedangkan komunis Pol Pot (1975-1979) telah sama sekali mengucilkan penduduk. Maka keadaan lebih menguntungkan bagi Vietnam yang berangkatan perang lebih kuat untuk mendominasi Kampuchea yang lebih lemah.

Geografi Kampuchea

Kampuchea, yang terletak di sebelah timur Muangthai (Thailand) dan Birma, secara historis merupakan gudang padi daratan Asia Tenggara. Kenyataannya, 75% negeri itu masih berwujud hutan. Meskipun hanya sekitar seperempat wilayah lahan seluruhnya dapat dibudidayakan, lahan itu subur sekali.

Lahan Kampuchea adalah di antara yang paling produktif bagi penanaman padi di seluruh Asia di tahun-tahun sebelum perang, yang mulai pada tahun 1970. Namun, seluruh wilayah yang dibudidayakan pada pertengahan tahun 1980-an masih kurang dari seperdua lahan terbudidayakan sebelum tahun 1970-an.

Penurunan ini merupakan akibat dari masa 5 tahun (1970-1975) sewaktu negeri itu menjadi semakin terlibat dalam perang Indocina, yang diikuti oleh tahun-tahun pemerintahan komunis (1975-1979) dengan pertanian komunal yang dipaksakan.

Akhirnya, timbul perang saudara yang pecah setelah tahun 1979 antara pemerintah dukungan Vietnam dan koalisi pemberontak yang meliputi pendukung raja, kaum demokrat, dan komunis lokal yang dahulu memerintah negeri itu. Sejarah perang saudara ini bisa anda baca selengkapya di artikel: Konflik Saudara di Kamboja

Sungai Mekong yang mengalir dari Laos lewat Kampuchea memasuki Vietnam merupakan sumber air bagi produksi beras tradisional bagian pusat negeri itu, tempat berdiam sebagian besar penduduk. Daerah berair terbesar di negeri itu adalah Tonle Sap (Danau Besar), yang selama musim muson meluas hingga sekitar delapan kali ukurannya selama musim kemarau.

Musim muson, yang berlangsung dari bulan Mei hingga Oktober, mencurahkan hujan yang amat lebat di negeri itu. Suhu negeri itu berkisar antara 21°C dan 35°C. Musim muson, sekalipun diperlukan untuk budidaya padi basah, dirasakan paling tidak menyenangkan karena terjadi kombinasi panas dan kelembapan. Namun, suhu tertinggi terjadi pada musim kemarau.

Peta wilayah Kampuchea

Kunjungi juga Peta Kamboja atau di google map

Penduduk Kampuchea

Kurang sedikit dari 90% penduduk Kampuchea adalah Khmer, nama yang secara historis dipakai oleh penduduk untuk menyebut diri mereka. Sekitar 5% adalah suku Cina, sedangkan yang 5% adalah orang Vietnam, yang menurut tradisi tidak disukai oleh bangsa Khmer.

Pembersihan secara kejam mengusir penduduk Vietnam dari negeri itu dilakukan pada awal tahun 1970-an. Banyak yang kembali lagi sejak Vietnam menyerbu negeri itu pada tahun 1978 dan mendirikan pemerintahan yang pro-Vietnam.

Pemerintahan komunis pribumi yang kejam, yang berkuasa sebelumnya (1975-1979), dengan sewenang-wenang memaksa penduduk kota pergi ke pedusunan guna bekerja di pertanian komunal.

Penduduk Phnompenh, ibu kota, menyusut hingga tinggal sekitar 10.000 jiwa. Sejak Vietnam meruntuhkan pemerintahan ini pada tahun 1979, terjadi arus tetap kembalinya penduduk Kampuchea ke Phnompenh hingga penduduk kota itu membengkak menjadi 600.000 jiwa (sekitar 10% jumlah seluruh penduduk).

Namun 80% penduduk masih hidup di kawasan pedusunan dan, sementara itu, kebanyakan petani masih mengerjakan tanah pertanian mereka yang kecil; mereka tidak boleh menjual lahan mereka dan harus menjual panen mereka hanya pada pemerintah.

Budhisme merupakan agama tradisional 95% penduduk, tetapi ”Khmer Rouge” (Khmer Merah), rezim 1975-1979 yang tak berperikemanusiaan, menutup kuil dan bahkan merusak beberapa di antaranya. Kuil dibuka kembali setelah tahun 1979, tetapi orang-orang muda dilarang menjadi rahib.

Sekolah di halaman kuil, tempat rahib dahulu mengajar, diselenggarakan oleh pemerintah yang memberikan pendidikan keduniawian. Akan tetapi, sebagian besar penduduk masih mengejar tujuan Budhisme, yaitu nirvana (lepas dari reinkarnasi fisik abadi), dan mempercayai jiwa animisme tradisional yang menempati benda mati dan dapat mengganggu atau melindungi orang.

Hanya 48% penduduk melek huruf, tetapi setelah 1979 pemerintah memberi tekanan utama pada pendidikan. Sekolah ditutup selama masa Khmer Merah dan negeri, yang masih terbelakang dan susah o|eh perang itu, menjadi lebih menderita. Ditaksir 75% guru negeri itu dibunuh oleh Khmer Merah yang takut pada kaum intelektual nonkomunis. Kekurangan hebat akan guru dan buku pelajaran tetap menjadi masalah.

Pendidikan di pedusunan masih terbatas; di tempat itu rahib tua bertindak sebagai guru karena tidak ada orang lain yang dapat mengisi peran ini. Oleh sebab itu, kehidupan di kawasan pedalaman sebagian besar kembali lagi ke cara sebelum tahun 1970. Atap ilalang dan rumah bambu (di atas jangkungan) merupakan tempat tinggal tradisional.

Kekurangan makanan bersifat kronis dan luar biasa sehingga menjadi kendala bagi memperbaiki kegiatan sosial dan budaya yang telah berakar. Namun, musik tradisional terus bergema dan bantuan formal terhadap kesenian dilanjutkan lagi oleh pemerintah di Phnompenh.

Ekonomi

Karena luasnya lahan pertanian pada masa sebelum awal tahun 1970-an, maka ekonomi Kampuchea makmur. Padi dan karet ditanam untuk ekspor, baik oleh pemilik tanah maupun oleh perkebunan. Sektor industri sederhana meliputi penggilingan padi, pengolahan kayu, produk ikan, penggilingan gula, tekstil, kertas, dan goni.

Namun, perang saudara pada tahun 1970-1975, penghancuran o|eh Khmer Merah antara tahun 1975-1979, dan penyerbuan Vietnam mengakibatkan kelaparan massal. Di sana terjadi kekurangan beras, sayuran, daging, dan produk makanan lain yang mencemaskan.

Menjelang pertengahan tahun 1980-an ekonomi masih kacau, sedangkan cuaca buruk, baik berupa banjir maupun kekeringan, dan pertempuran yang berlanjut menambah sulitnya tugas pemulihan. Hasil pertanian tahun 1985, misalnya, jelas di bawah hasil tahun sebelumnya.

Ironisnya ialah bahwa penduduk Kampuchea dewasa ini kurang mampu mengendalikan sumber air untuk ekonomi pertanian mereka ketimbang nenek moyang mereka dahulu, yang pada abad ke-12 dan ke-13 mampu membangun terusan irigasi yang rumit sehingga menjadikan negeri itu paling produktif dan makmur di kawasan itu.

Kebijakan pemerintah adalah mengembalikan hasil khususnya bahan makanan dan karet ke tingkat sebelum tahun 1970-an. Pembangunan kembali ekonomi yang telah hancur ini merupakan tugas yang amat besar, yang dijadwalkan selesai menjelang tahun 1990-an.

Produksi industri Kampuchealah yang paling kurang berkembang di seluruh negeri Asia Tenggara. Pola perdagangan dengan Vietnam menunjukkan bahwa alat mesin dan barang konsumen Vietnam akan ditukarkan dengan produk pertanian dan kehutanan.

Pemerintahan Kampuchea

Pemerintah Kampuchea menggambarkan sistem komunis yang khusus. Partai politik tunggaI, Partai Komunis menggunakan lembaga administrasi publik untuk memerintah negeri. Partai Komunis atau Partai Revolusioner Rakyat Khmer (Khmer People’s Revolutionery Party-KPRP), merupakan satu-satunya organisasi politik legal.

Pemerintah yang terdiri atas kepala negara dan kepala pemerintahan (atau perdana menteri), diangkat oleh Vietnam, yang mempertahankan kehadiran kekuatan militer sebesar 170.000 orang di negeri itu. Pemerintah hanya melaksanakan kebijakan KPRP.

Berbagai kementerian mengelola berbagai wilayah kegiatan pemerintahan-seperti pertahanan, pertanian, dan pendidikan. Kementerian yang paralel dibentuk di 19 subwilayah propinsi negeri itu. Dewan Nasional mengizinkan pemerintah memberitahukan kebijakan pada para wakil dari berbagai bagian negeri itu.

Pemerintah komunis di ibu kota Phnompenh tidak diakui oleh mayoritas negara di dunia. Situasi yang amat langka ini terjadi sejak Vietnam mengusir pemerintah Kampuchea sebelumnya pada tahun 1978-1979.

Kebanyakan negara tetangga Asia Tenggara Kampuchea ataupun mayoritas anggota PBB secara diplomatik mengakui ”pemerintahan perlawanan” tiga kelompok yang disebut Pemerintah Koalisi Kampuchea Demokratik.

Anggota terkuat koalisi ini, yang didukung oleh sebagian besar pejuang dalam perang saudara yang berlanjut ini, adalah Khmer Merah, yang memerintah negeri itu sejak tahun 1975 sampai keruntuhannya pada awal 1979.

Kebanyakan penduduk berdiam di wilayah yang dikuasai oleh pemerintah Pnompenh dan sebagian besar menentang kembali berkuasanya Khmer Merah yang dibenci. Namun, bangsa Kampuchea juga amat membenci bangsa Vietnam. Pengabdian pemerintah pada Vietnam, dan kehadiran orang Vietnam, menjadikan pemerintah pusat kurang populer ketimbang jika pemerintah itu tidak berlaku demikian.

Sejarah Kamboja

Rakyat Kampuchea wajar jika merasa bangga atas sejarahnya Di masa jayanya, Kerajaan Kambodia kuno meliputi sebagian besar Vietnam, Laos, dan Muangthai dewasa ini, yang terbentang dari pantai Vietnam hingga perbatasan Thai-Birma.

Kerajaan pertama mungkin dibangun selama abad ke-6 atau ke-7 sebelum Masehi oleh orang-orang yang pindah ke daratan semenanjung Asia Tenggara dari sebelah baratlaut. Raja pertama adalah Kambu Svayambhuva dan dari namanyalah nama Kambodia itu berasal.

Selama pemerintahan Suryawarman II (1113-1150) dimulai pembangunan kompleks kuil Angkor Wat yang hebat dan merupakan salah satu keajaiban dunia. Kuil Angkor Wat membuktikan daya tahan konsep Kampuchea yang berasal dari agama Hindu tentang raja dewa (atau deva-raja).

Penjelasan lebih lengkap mengenai kuil ini, silahkan baca di Wikipedia pada artikel Angkor Wat

Negara Kambodia kuno, dalam hal-hal lain, juga mengagumkan. Lebih dari 5.000.000 hektar sawah diairi dengan suatu jaringan irigasi terusan yang amat luas.

Namun, pembangunan dan perawatan Angkor Wat serta rangkaian jalan air yang begitu luas terbukti merupakan beban yang terlalu berat bagi rakyat sehingga mereka lalu meninggalkan pemujaan raja dewa mereka dan berbalik ke agama Budha, yang tetap menjadi agama mereka hingga dewasa ini. Angkor ditinggalkan dan tidak lagi menjadi pusat peradaban bangsa Khmer menjelang abad ke-15.

Kampuchea selamat, tetapi diganggu oleh hasrat tetangganya di sebelah timur dan barat, yaitu bangsa Vietnam dan Thai. Kampuchea akhirnya berkurang dimensinya hingga tinggal seluas ukurannya dewasa ini.

Dinasti terakhir, yang berakhir pada tahun 1960 ketika Norodom Sihanouk menetapkan kedudukan baru kepala negara, merupakan ciptaan penuh muslihat bangsa Thai dan Vietnam pada tahun 1863.

Raja Ang Duong yang dijadikan boneka oleh kedua tetangga Kamboja yang lebih kuat mengejutkan kedua kerajaan itu oleh permintaannya kepada bangsa Prancis untuk mendirikan protektorat di negeri itu, yang mereka lakukan pada tahun itu juga (1863).

Namun, langkah itu berakibat hilangnya kemerdekaan Kamboja karena protektorat kurang lebih berarti negeri jajahan oleh kekuatan Eropa. Berdirinya protektorat itu merupakan bagian dari suatu proses penaklukkan yang lebih besar yang oleh Prancis juga dilakukan terhadap Laos dan Vietnam.

Kampuchea, Vietnam, dan Laos dikenal sebagai Indocina Prancis selama masa kehadiran penjajah Eropa di Asia Tenggara. Sekurang-kurangnya selama satu abad, yaitu karena adanya pemerintahan penjajahan asing, muslihat wilayah Vietnam atas Kampuchea tertahan.

Zaman Modern

Jepang memerintah Kampuchea selama Perang Dunia II, yaitu suatu masa sewaktu Jepang menaklukkan seluruh Asia Tenggara. Ketika akhir perang mendekat, Jepang mendorong bangsa ini menyatakan kemerdekaannya, yang mereka lakukan dalam bulan Maret 1945.

Namun, Prancis dapat mendirikan kembali kedudukannya di Indocina sehingga Raja Norodom Sihanouk, yang menduduki takhta pada tahun 1941, memimpin gerakan nasional untuk membebaskan Kampuchea kembali.

Kemerdekaan dicapai pada 2 Maret 1955 dan, mulai tanggal itu hingga jatuhnya pada tahun 1970, Sihanouk sekarang kepala negara, bukan raja, tetapi mempertahankan gelar pangeran-secara terus-menerus memerintah negeri itu.

Politik luar negerinya yang netral, sekurang-kurangnya untuk sementara, menjaga Kampuchea tetap berada di luar perang di perbatasan Vietnam. Marsekal Lon Nol, yang menjatuhkan Sihanouk, berpihak pada golongan antikomunis di Vietnam, tetapi terbukti bahwa dia tidak mampu mengalahkan kaum komunis yang relatif sedikit jumlahnya di Kampuchea pada saat itu.

Kaum komunis yang dikenal sebagai Khmer Merah itu berkuasa pada tahun 1975, mendirikan pemerintah yang disebut Kampuchea Demokratik. Pemerintahannya merupakan salah satu rezim yang paling kejam di Asia modern.

Sebanyak 2.000.000 jiwa, dalam negeri yang hanya berpenduduk 6.000.000 jiwa, mati kelaparan dan kehabisan tenaga karena kerja paksa. Penyerbu Vietnam menggulingkan pemerintahan ini pada tahun 1978-1979 dan perang saudara pun lalu terjadi.

Pemerintah baru dukungan Vietnam ditantang oleh Khmer Merah, Pangeran Sihanouk, dan kelompok ketiga. Angkatan perang perlawanan meneruskan perjuangan tanpa persatuan yang sungguh-sungguh di antara mereka sendiri.

Diulas oleh: RICHARD BUTWELL. Pengarang, South East Asia, A Political Introduction
Editor: Sejarah Negara Com

Pos terkait