Catatan sekilas sejarah perjuangan Bung Tomo

Sejarah Negara Com – Perjuangan Bung Tomo dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia antara lain sebagai berikut:

1. Bung Tomo menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi kantor berita Domei, yaitu kantor berita pada masa pendudukan Jepang di Surabaya, pada tahun 1942 sampai 1945. Kantor berita Domei yang tersebut aktif menyebarluaskan proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Bacaan Lainnya

2. Bung Tomo menjabat sebagai ketua umum Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI). Melalui BPRI beliau selalu mengobarkan semangat perjuangan rakyat Indonesia.

3. Bung Tomo merupakan anggota Dewan Penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman.

4. Bung Tomo diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi salah seorang pemimpin TNI yang bertugas mengoordinasi Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara di bidang informasi dan perlengkapan perang.

5. Bung Tomo bersama Laksamana Nazir mempersiapkan wilayah di Gunung Lawu menjadi pusat komando tertinggi bila di Indonesia dalam situasi perang.

6. Pada bulan Oktober 1945, Bung Tomo bersama Presiden Soekarno membahas cara penyerahan senjata oleh Jepang kepada Indonesia. Pada waktu itu saran-sarang Bung Tomo diterima oleh Presiden Soekarno.

7. Pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, Bung Tomo mendapat berita bahwa tentara Sekutu mulai menembak dan bergerak di luar daerah pelabuhan.

Bung Tomo atas nama rakyat Indonesia menyatakan perang terhadap Sekutu. Beliau meninggal dunia ketika menunaikan ibadah haji ke tanah Arab pada tanggal 7 Oktober 1981.

Catatan sekilas sejarah perjuangan Bung Tomo

Perjalanan Hidup dan Karier Bung Tomo

Bung Tomo lahir dengan nama Sutomo, pada 3 Oktober 1920 dan meninggal ketika melaksanakan ibadah haji saat wukuf di Arafah pada tanggal 7 Oktober 1981 (Sulistina, 2008: 201, dan Sutomo, 2008b:243). Ia menamatkan pendidikan dasar di HIS Surabaya, tingkat lanjut di Leidse Scrift Onderwiys HBS, dan masuk Fakultas Ekonomi UI pada 1959.

Semasa remaja, Bung Tomo aktif sebagai anggota gerakan Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), serta menjadi ketua kelompok Sandiwara Pemuda Indonesia Raya di Surabaya yang mementaskan cerita-cerita perjuangan pada tahun 1939 sampai Jepang datang (Sulistina, 2008: 201). Sementara itu ketika dewasa ia berkarier sebagai wartawan freelancer di harian Soeara Oemoem di Surabaya (1937); wartawan dan penulis pojok di harian berbahasa Jawa di Ekspres di Surabaya (1939); redaktur mingguan Pembela Rakyat di Surabaya (1938), majalah Poestaka Timoer Yogyakarta, Pemred Kantor Berita Pendudukan Jepang DOMEI bagian bahasa Indonesia untuk wilayah Surabaya (1942-1945) serta menjadi pemimpin redaksi Kantor Berita Indonesia Antara di Surabaya (1945) (Sutomo, 2008b: 244).

Adapun karier militernya dimulai ketika menjadi Ketua Umum Pimpinan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), di mana setiap malam ia berpidato untuk mengobarkan semangat perjuangan di RRI tahun 1945-1949. Tercatat ia memimpin BPRI sejak 12 Oktober 1945 sd Juni 1947 ketika BPRI melebur dengan TNI. Bersama TNI ia menjadi dewan penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman sekaligus sebagai anggota pucuk pimpinannya. Ia juga pernah menjadi anggota staf gabungan Angkatan Perang RI, serta berbagai jabatan strategis lainnya.

Sementara itu, karier kenegaraan setelah Indonesia mendapatkan kedaulatan tahun 1949, ia pernah menjadi Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/veteran/Menteri Sosial Ad Interim (1955-1956), anggota DPR RI hasil pemilu pertama (1956-1959), dan ketua II bidang ideologi sosial politik (Sulistina, 2008:204).

Selama hidupnya, ia pernah menulis beberapa buku, antara lain, Kepada Bangsaku (1946), 10 November 1945 (1952), Koordinasi dalam Republik Indonesia (1953), Ke Mana Bekas Pejuang Bersenjata (1953), dan Gerakan 30 September (1966).

Bung Tomo dan Zaman Pergerakan Nasional

Sejarah pergerakan nasional adalah zaman di mana terdapat banyak sekali ide-ide yang menonjol tentang perjuangan rakyat Indonesia, cita-cita yang menyebakan rakyat Indonesia bergerak dan berjuang dengan segala faktor yang mempengaruhinya, baik keadaan di dalam negeri maupun di luar negeri (Materu, 1985: 1).

Adapun beberapa faktor intern yang menjadi pendorong kebangkitan nasional menuju zaman pergerakan nasional adalah, adanya kenangan kejayaan masa lampau, keadaan rakyat Indonesia yang tak mampu lagi menahan penderitaan yang berkepanjangan, politik drainase Belanda telah menyebabkan kemiskinan dan kemelaratan, serta munculnya kaum terpelajar di Indonesia akibat politik etis yang diterapkan Belanda pada awal abad ke 20.

Sementara itu, faktor ekstern pendorongnya antara lain kemenangan Jepang atas Rusia tahun 1905, bangkitnya negara-negara Asia Afrika untuk menentang kolonialisme dan imperialisme bangsa barat, serta munculnya faham-faham baru tentang kebebasan dan kebangsaan di dunia.

Zaman pergerakan nasional dapat dibagi menjadi beberapa bagian (Materu, 1985:2), antara lain:

  1. Tahap Angkatan Perintis (1908-1927)
  2. Tahap Angkatan Penegas (1927-1934)
  3. Tahap Angkatan Pencoba (1934-1945)
  4. Tahap Angkatan Pendobrak (1945-1950)
  5. Tahap Angkatan Pelaksana (1950- dan seterusnya)

Berdasarkan pembabakan yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa Bung Tomo merupakan pejuang pada dua tahap sekaligus, yaitu tahap angkatan pendobrak dan tahap angkatan pelaksana. Hal ini tampak pada karier kemiliterannya, serta pengalaman kenegaraannya semasa Presiden Soekarno (Orde Lama) berkuasa hingga Presiden Soeharto (Orde Baru) berkuasa.

Naskah pidato Bung Tomo

Bismillahirrohmanirrohim..

MERDEKA!!!

Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya.

Kita semuanya telah mengetahui.

Bahwa hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua.

Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan,

menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara Jepang.

Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan.

Mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera putih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka

Saudara-saudara….

Di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya.

Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku,

Pemuda-pemuda yang berawal dari Sulawesi,

Pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali,

Pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan,

Pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera,

Pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini.

Di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing.

Dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung.

Telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol.

Telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana.

Hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara.

Dengan mendatangkan Presiden dan pemimpin2 lainnya ke Surabaya ini.

Maka kita ini tunduk utuk memberhentikan pentempuran.

Tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri.

Dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya.

Saudara-saudara kita semuanya.

Kita bangsa indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu,

dan kalau pimpinan tentara inggris yang ada di Surabaya.

Ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia.

Ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indoneisa yang ada di Surabaya ini.

Dengarkanlah ini tentara Inggris.

Ini jawaban kita.

Ini jawaban rakyat Surabaya.

Ini jawaban pemuda Indoneisa kepada kau sekalian.

Hai tentara Inggris!

Kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu.

Kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu.

Kau menyuruh kita membawa senjata2 yang telah kita rampas dari tentara jepang untuk diserahkan kepadamu

Tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita:

Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah

Yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih

Maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga

Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah keadaan genting!

Tetapi saya peringatkan sekali lagi.

Jangan mulai menembak,

Baru kalau kita ditembak,

Maka kita akan ganti menyerang mereka itukita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.

Dan untuk kita saudara-saudara….

Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka.

Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!

Dan kita yakin saudara-saudara….

Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita,

Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar.

Percayalah saudara-saudara.

Tuhan akan melindungi kita sekalian.

Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!

MERDEKA!!!

Note: Naskah pidato Bung Tomo disadur berdasarkan video pidato Bung Tomo yang didapatkan dari YouTube.

Persepsi Generasi Muda terhadap Nilai-Nilai Kepahlawanan Bung Tomo

Bung Tomo merupakan contoh yang sahih yang dapat dijadikan genarasi muda untuk membentuk karakter, kepribadian, acuan, suri tauladan, serta semangat generasi muda. Lewat ucapan, tindakan, maupun pemikirannya yang konsisten, Bung Tomo telah mengilhami jutaan pemuda Indonesia untuk terus berupaya mengisi kemerdekaan dengan sebaik-baiknya.

Penulis sebagai bagian penerus generasi muda berupaya untuk menguraikan persepsi penulis terhadap sosok Bung Tomo. Berikut beberapa persepsi singkat tentang Bung Tomo;

1. Pahlawan kemerdekaan yang terlupakan

Bung Tomo merupakan tokoh sentral dalam pertempuran 10 November 1945. Bersama Gubernur Soerjo, ia mengobarkan semangat pemuda Surabaya untuk tak gentar menghadapi ultimatum Sekutu. Oleh sebab itu, namanya selalu dikenang terutama oleh genarasi muda. Tidak diragukan lagi bahwa semasa hidupnya telah ia habiskan untuk berkhidmat kepada bangsa dan negara . Bahkan ia adalah seorang negarawan yang turut mengawal jalannya revolusi, dari masa Orde Lama hingga Orde Baru.

Namun demikian sungguh ironi, dua puluh tujuh tahun setelah kematiannya ia tak kunjung mendapat gelar pahlawan nasional. Bung Tomo baru mendapat gelar pahlawan secara resmi dari pemerintah pada tahun 2008, yang disahkan melalui Keputusan Presiden Nomor 041/TK/TH 2008. Tentu saja lamanya rentang waktu yang dibutuhkan untuk menyematkan gelar tersebut menimbulkan tanda tanya besar.

Keterlambatan tersebut dikarenakan semasa hidupnya, Bung Tomo bukan hanya seorang pejuang yang kritis terhadap penjajah, tetapi ia juga merupakan sosok yang kritis terhadap pemerintah. Pada masa Orde Lama, pidato-pidatonya seringkali lebih dinanti massa dibanding Presiden Soekarno. Selain itu, ia juga dikenal pernah berseberangan paham dengan Bung Karno, terlebih ketika Soekarno memutuskan untuk menikah dengan banyak wanita.

Menurut kesaksian Sulistina, istrinya, pemerintah Orde Baru enggan memberikan gelar pahlawan nasional dikarenakan peristiwa perlempuran 10 November 1945 dianggap sebagai perjuangan lokal, bukan nasional. Sehingga Bung Tomo tak layak dijadikan sebagai pahlawan nasional kala itu. Dengan demikian, pada masa tuanya, sebagaimana banyak pejuang kemerdekaan lainnya, ia menjadi sosok yang kesepian. Di tahun 1968 ia memang sempat menyelesaikan studi ekonomi di Universitas Indonesia, namun sepuluh tahun kemudian ia ditangkap rezim Orde Baru dengan tuduhan subversi (Narasi, 2009: 54). Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto inilah, Bung Tomo bahkan sempat dipenjara. Kritik-krtitiknya terhadap pemerintah waktu itu membuat gerah penguasa.

2. Sosok kharismatik yang mahir melakukan orasi

Selain Soekarno, Bung Tomo adalah sosok yang paling mampu menggerakkan massa melalui orasi (Narasi, 2009: 53). Bung Tomo adalah sosok ikon perlawanan bangsa menentang pasukan asing 1945 di Surabaya. Namanya disebut dari genarasi ke generasi seiring dengan diabadikannya tanggal 10 November sebagai hari pahlawan.

Kemampuan orasi Bung Tomo terbentuk sejak ia menggeluti dunia jurnalistik dan tulis menulis. Karier penulisannya dimulai di Harian Oemoem, Surabaya (Narasi, 2009: 54), sedangkan jabatan tertingginya sebagai wartawan adalah pemimpin redaksi Kantor Berita Antara, 1945.

Kemampuan orasinya[1] itulah yang mampu menyulut heroisme arek-arek Surabaya. Dengan kata lain, apabila hendak berandai-andai, jika Bung Tomo tidak mengobarkan semangat juang pemuda, maka bisa jadi pertempuran tidak terjadi, dan pemuda Surabaya menyerah kepada ultimatum Sekutu. Hal ini juga berarti, Indonesia gagal mempertahankan kemerdekaan Indonesia, sebab pertempuran Surabaya mempengaruhi semangat juang di daerah lain dan juga paling banyak menyedot simpati dan perhatian dunia internasional untuk diwujudkan dalam upaya-upaya perdamaian/perundingan.

Menurut kesaksian istrinya Sulistina, kepiawaian berpidato Bung Tomo berlanjut ke kancah masa revolusi. Pada tahun 1955 menjelang pemilu pertama, seringkali Bung Tomo bersama Bung Karno berkunjung ke daerah-daerah, sambutan rakyat terhadap pidato Mas Tom (panggilan mesra Sulistina kepada suaminya) tidak jarang lebih meriah dibandingkan pidato Bung Karno. Kadang-kadang, oleh Bung Karno seringkali Mas Tom didaulat untuk memberikan pidato terlebih dahulu (Sulistina, 2008: 197).

3. Pejuang yang cerdas dan religius

Dunia jurnalistik yang dirambahnya sejak usia 17 tahun membentuk Bung Tomo sebagai seorang yang cerdas membaca situasi. Ingatannya dalam merekam setiap peristiwa-peristiwa penting sangat kuat. Ia menuangkan lembaran-lembaran peristiwa-peristiwa tentang pertempuran Surabaya yang disaksikannya pada sebuah buku yang ditulisnya pada tahun 1951 berjudul, “Pertempuran 10 November 1945; kesaksian dan perngalaman seorang aktor sejarah”. Dalam hal ini penulis menggunakan buku tersebut untuk merumuskan persepsi tentang Bung Tomo.

Selain cerdas, Bung Tomo adalah sosok yang religius. Hal ini nampak pada kalimat-kalimat pidato yang ia kumandangkan menjelang pertempuran dahsyat 10 November 1945. Ia mengawali pidatonya dengan ucapan, “Bismillahirrahmanirrahim”, serta menutupnya dengan pekik semangat, “Allahu Akbar!” sebanyak tiga kali. Dalam suratnya kepada Bung Karno, 30 Mei 1966 (Sutomo, 2008b: 93), ia memaknai perjuangan melawan Sekutu untuk mempertahankan kemerdekaan tanah air sebagai upaya jihad fi sabilillah umat Islam, katolik, Kristen, Buddha, dan Hindu.

Bung Tomo juga merupakan seorang muslim yang taat. Hal ini disaksikan oleh istrinya Sulistina Sutomo dalam kesaksiannya bahwa selain berpegang teguh pada ajaran Islam, Bung Tomo juga mengkritik sikap elite pemerintah yang “mempermainkan” makna poligami dengan kegemaran memperistri perempuan lebih dari 4 orang.

Pada tahun 2007, Sulistina pernah ditanya oleh wartawan tentang Bung Tomo, “Apakah selama hidup Bung Tomo pernah selingkuh?” Mendengar hal tersebut, Sulistina menjawab, “Saya tidak pernah mendengarnya. Saya sangat percaya Mas Tom. Dia tidak mungkin melakukannya, karena saya tahu betul siapa dia. Saya tidak menyanjung suami saya. Tapi Mas Tom itu seorang muslim yang taat. Dia tentu lebih takut kepada Allah daripada kepadaku,” (Sulistina, 2008; 196).

Bahkan, akhir hidup Bung Tomo terjadi ketika ia sedang wukuf di Arafah ketika menunaikan ibadah haji pada tanggal 6 Oktober 1981. Kata-kata terakhir yang ia ucapkan adalah, “Ya Allah. Ya Allah. Ya Allah. Hanya kehendak-Mu yang berlaku, Ya Allah,” (Sulistina, 2008: 181).

4. Prajurit patriotik

“Selama banteng-banteng Indonesia masih berdarah merah, yang dapat membikin secari kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau untuk menyerah kepda siapapun juga!” (Sutomo, 2008a: 144). Sepenggal kalimat di atas merupakan kata-kata Bung Tomo yang dijadikan sebagai semboyan perjuangan arek-arek Surabaya menjelang serangan Sekutu pada 10 November 1945.

Semboyan tersebut dijunjung tinggi oleh pemuda, rakyat, tentara, dan patriot Indonesia lainnya yang sejak tanggal 10 November tersebut bertekad bulat mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Tentu saja apa rakyat mengetahui resiko yang akan diterimanya. Penolakan ultimatum dari Inggris, menyebabkan arek-arek Surabaya harus menerima konsekuensinya dibombardir dari darat, laut, maupun udara.

Di sinilah terdapat nilai-nilai pantang menyerah dalam mempertahankan prinsip tidak mau tunduk terhadap kekuasaan penjajah. Jika dilihat dari peta kekuatan kedua pihak yang bertempur, akan ada kesenjangan kekuatan yang memungkinkan pertempuran berjalan tidak seimbang. Namun, berbekal kecintaan terhadap negara, ikhlas dan pantang menyerah, ditambah modal bahwa mereka menguasai medan pertempuran, arek-arek Surabaya berani menantang Sekutu di medan pertempuran.

5. Konsisten menyuarakan isi hati

Konsistensi adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan oleh siapapun. Tidak banyak seseorang yang mampu berpegang teguh terhadap prinsip hidup yang telah diucapkan dan menjadi buah pemikirannya. Namun demikian, Bung Tomo adalah satu dari segelintir orang yang mampu melakukannya. Ia tidak mudah goyah dan tergoda untuk mengecap nikmat dunia yang sementara dalam wujud kekuasaan semu dalam pemerintah.

Bung Tomo dikenal sebagai tokoh yang lugas dalam menyampaikan kritik kepada pemimpin nasional, bahkan kepada pemimpin dunia. Kata-katanya “tanpa tedeng aling-aling”, “tanpa ewuh pekewuh” atau tiada sungkan menyuarakan kritik terhadap rezim yang berlaku. Pemikiran-pemikirannya yang kritis dapat dibaca di bukunya, Menembus Kabut Gelap: Bung Tomo Menggugat.

Bung Tomo adalah seorang yang berani mengkritik Bung Karno, Soeharto, serta para politisi maupun militer pada zamannya. Bung Tomo mengkritik pemerintah Bung Karno (Sutomo, 2008b: v) dikarenakan ia menilai elit politik saat itu mengalami dekadensi moral dengan gemar beristri lebih dari satu dan terjebak “main perempuan”.

Selain itu, ia juga mengkritik krisis kepemimpinan nasional pada masa Soekarno yang berakar pada pecahnya dwi tunggal dan konflik sipil militer. Saat itu, Bung Tomo menganjurkan agar A.H. Nasution, Hatta, dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk zaken kabinet.

Sementara itu, ia juga mengkritik rezim Orde Baru, dikarenakan ia tidak setuju terhadap peran asisten pribadi (aspri) dan keluarga Presiden Soeharto yang memerankan penguasaan ekonomi dengan pengusaha non pribumi secara berlebihan (Sutomo, 2008b; iv). Ia tidak dapat menerima alasan apapun dari pemerintah, sekalipun pemerintah berdalih dengan alasan cukongisme, namun di mata Bung Tomo, hal itu merupakan realisasi nepotisme dan “klik” antara penguasa dengan pengusaha.

Kata-kata yang tajam memerahkan telinga penguasa. Namun demikian hal ini dilakukannya sebagai upaya untuk mengawal penguasa sebagai sebuah kontrol pemerintah.

Upaya Mewujudkan Nilai-nilai Perjuangan Bangsa bagi Generasi Muda

Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat beberapa hal yang harus diwujudkan untuk melanjutkan estafet nilai-nilai perjuangan yang tercermin dalam sosok Bung Tomo terhadap generasi muda. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan nilai-nilai perjuangan Bung Tomo terhadap generasi muda adalah sebagai berikut;

1. Mengilhami dan mewarisi semangat juang Bung Tomo

Sebagaimana telah dikemukakan di muka, bahwa Bung Tomo merupakan pejuang dalam dua dimensi pergerakan nasional sekaligus, yaitu angkatan pendobrak (1945-1950) dan angkatan pelaksana (1950-dan seterusnya). Hal ini berarti generasi muda zaman sekarang termasuk angkatan pelaksana dari estafet perjuangan yang telah diwariskan Bung Tomo dan para pejuang lainnya untuk mengisi kemerdekaan.

Supaya terwujud nilai-nilai perjuangan pada generasi muda zaman sekarang, maka seyogianya para pemuda wajib meneladani nilai-nilai luhur yang tercermin dalam sosok Bung Tomo, yaitu cerdas, religius, patriotik , serta konsisten menyuarakan kebenaran. Para pemuda dapat menerapkannya pada persoalan-persoalan sederhana yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari.

2. Merefleksikan peringatan hari Pahlawan

Peristiwa 10 November telah berlalu kurang lebih enam puluh tahun yang lalu. Setiap tahunnya peristiwa tersebut selalu diperingati dengan upacara bendera di beberapa instansi pemerintah serta di sekolah-sekolah untuk mengenang jasa pahlawan yang gugur di medan perang.

Meskipun demikian, makna dari peringatan itu sendiri kerapkali terabaikan. Hal ini dikarenakan upacara bendera terkesan masih bersifat formalitas belaka. Sementara itu, di sekolah upacara bendera lebih identik dengan upaya penegakan kedisiplinan ketimbang merefleksikan nilai-nilai perjuangan pahlawan itu sendiri.

Oleh sebab itu, sebagai generasi muda, perlu merefleksikan kembali peringatan hari pahlawan. Yaitu, dengan cara mengingat kembali apa yang telah dilakukan untuk mengisi kemerdekaan, sudahkah diisi dengan kegiatan yang positif, mengevaluasinya, serta memikirkan perbaikan jikalau selama ini belum tepat sasaran. Sehingga diharapkan ke depannya, generasi muda mampu lebih baik dan lebih optimal dalam memahami dan meneruskan nilai-nilai perjuangan bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

  • Materu, S.H, Mohammad Sidky Daeng. 1985. Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia. Jakarta: PT Gunung Agung.
  • Ricklefs, M.C. 1989. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada Press
  • Sutomo, Sulistina. 2008. Bung Tomo Suamiku; biar rakyat yang menilai kepahlawananmu, cetakan kedua. Jakarta: Visimedia.
  • Sutomo. 2008. Pertempuran 10 November 1945; kesaksian dan pengalaman seorang aktor sejarah, cetakan kedua. Jakarta: Visimedia.
  • ……….2008. Menembus Kabut Gelap; BUNG TOMO MENGGUGAT; pemikiran, surat, dan artikel politik 1955-1980. Jakarta: Visimedia.
  • Tim Narasi. 2009. 100 Tokoh yang mengubah Indonesia. Jakarta: Narasi.

Pos terkait