Keadaan Sosial Budaya Indonesia zaman kedatangan Islam

Keadaan Sosial Budaya Indonesia zaman kedatangan Islam – Penduduk Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku bangsa. Masing-masing mempunyai Organisasi pemerintahan yang bersifat khusus kedaerahan, juga terdapat struktur ekonomi dan sosial-budaya yang berbeda-beda.

Suku bangsa yang hidup dan bertempat tinggal di pedalaman belum banyak mengalami percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar. Ini berarti bahwa struktur sosial-ekonomi dan budayanya agak lebih murni jika dibandingkan dengan suku bangsa yang bermukim di daerah pantai.

Bacaan Lainnya

Mereka yang berdiam di daerah pantai, terutama yang tinggal di kota-kota pelabuhan, menunjukkan ciri-ciri fisik dan sosial-budaya yang majemuk. Hal ini disebabkan karena adanya percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar.

Kerajaan bercorak Indonesia-Hindu

Pada masa kedatangan dan tersebarnya agama Islam di Indonesia, terdapat kerajaan-kerajaan yang bercorak Indonesia-Hindu. Di Sumatra pada waktu itu terdapat Kerajaan Sriwijaya dan Malayu.

Di Jawa terdapat kerajaan Majapahit dan Sunda, sedangkan di Kalimantan terdapat kerajaan Nagara, Daha dan Kutai. Di Bali kerajaan yang bercorak Hindu bahkan masih ada hingga abad ke-20.

Di lain pihak ada beberapa daerah lain yang kurang sekali atau tidak mendapat pengaruh Hindu. Kerajaan-kerajaan semacam ini terdapat di Sulawesi seperti kerajaan Gowa, Wajo dan Bone.

Seorang penulis asing Portugis, Tome Pires yang mengunjungi Indonesia pada tahun 1512 – 1515, menyebutkan bahwa di Sulawesi terdapat 50 kerajaan yang masih menyembah berhala.

Salah satu bukti bahwa beberapa kerajaan di Sulawesi pada waktu itu tidak mendapat pengaruh Hindu tapi masih memiliki adat-istiadat leluhur ialah dalam cara penguburan.

Cara-cara penguburan pada kerajaan Gowa pada waktu itu masih mengikuti tradisi masa pra-sejarah yaitu jenazah dikubur mengarah timur-barat dan pada makamnya dísertakan sejumlah bekal kubur seperti mangkuk, çepuk, tempayan bahkan barang-barang impor buatan Cina, tiram dan lain-lainnya.

Juga dalam cara penguburan ini terdapat kebiasaan untuk memberi penutup mata dari emas atau perak untuk jenazah bangsawan atau orang-orang terkemuka.

Cara penguburan tersebut dapat dibuktikan dari hasil-hasil penggalian kepurbakalaan di beberapa tempat di Sulawesi Selatan, seperti di daerah Takalar, Pangkajene, Kepulauan dan sebagainya.

Kelompok masyarakat bukan Islam

Pada awal abad I6 di kepulauan Maluku terdapat kelompok masyarakat yang bukan Islam dan mungkin banyak di antaranya tidak memperoleh pengaruh budaya Hindu. Tome Pires ketika mengunjungi Maluku juga melihat adanya pemerintahan di pedalaman yang dipimpin oleh kepala-kepala suku atau cabila.

Kepala suku yang menjadi kepala pemerintahan ini adalah orang tertua di daerahnya yang dianggap paling memiliki kemampuan dan wibawa dari pada lainnya.

Pengaruh budaya India terutama, yang dibawa oleh golongan brahmana (untuk agama Hindu) dan pendeta-pendeta agama Budha telah menarik perhatian golongan bangsawan dan pemimpin masyarakat príbumi. Masyarakat yang hidup jauh dari pusat-pusat masih banyak yang tetap pada budaya aslinya.

Masyarakat Indonesia

Hindu menganggap rajanya sebagai dewa yang memerintah dunia. Gelar-gelar yang bersifat kedewaan diberikan kepada raja-raja yang telah meninggal. Pada masa pra-Hindu di Indonesia terdapat kepercayaan yang berupa pemujaan kepada arwah nenek-moyang yang biasanya diwujudkan dalam bentuk patung dan menhir yang ditempatkan di atas punden berundak. Pembuatan patung-patung megalit masih dilaksanakan oleh masyarakat sekarang, misalnya, di Nias dan Flores.

Pada abad-abad kedatangan dan penyebaran Islam di daerah Maluku masih terdapat beberapa kelompok masyarakat yang membuat patung-patung untuk menghormati kepada nenek-moyangnya. Patung-patung tersebut dibuat dari kayu atau batu. Kepercayaan semacam ini juga terdapat pada suku-suku di Kalimantan berupa upacara Tíwah.

Hari pasaran yang terdiri dari lima hari pada masa Indonesia-Hindu digabung dengan cara menghitung tujuh hari dalam seminggu. Istilah jumlah lima hari dalam seminggu ialah panca-warna yang banyak digunakan dalam prasasti jaman Indonesia-Hindu.

Bahasa yang dipakai masa penyebaran Islam

Bahasa-bahasa yang dipakai di Nusantara pada waktu masa penyebaran Islam bermacam-macam. Di Jawa terdapat bahasa Jawa-Kuno dan Sunda Kuno. Di daerah Sumatra dan Semenanjung Melayu dipergunakan bahasa Melayu di samping bahasa-bahasa daerah seperti Batak. Kubu, dan Nias.

Di Sulawesi, bahasa yang dipakai antara lain bahasa Bugis, Makasar dan banyak lagi bahasa setempat. Di Kalimantan terdapat bahasa Banjar di samping bahasa Melayu dan Dayak.

Di antara bahasa yang dísebutkan di atas rupanya bahasa Melayulah yang paling memegang peranan penting. Penggunaan bahasa Melayu dapat kita ketahui sejak abad 7.

Hal ini dibuktikan oleh prasasti-prasasti jaman Sriwijaya. Rupa-rupanya bahasa Melayu makin lama makin berkembang. Penyebaran bahasa tersebut disebabkan oleh adanya hubungan lalu-lintas pelayaran dan perdagangan.

Bahasa Melayu kemudian dipergunakan sebagai alat komunikasi antar suku bangsa hingga menjadi bahasa yang umum dipakai sehagai lingua franca. Kedatangan agama Islam telah mcmperkaya perbendaharaan bahasa Melayu dengan kata-kata yang berasal dari bahasa Arab. Bahasa Melayu kemudian berkembang menjadi bahasa Indonesia.

Dalam pembahasan masuknya Islam ke Indonesia, agar lebih mudah dipahami selain artikel ini kami lampirkan pula 4 artikel pendukung, silahkan kunjungi beberapa artikel di bawah ini:

Demikian Keadaan Sosial Budaya Indonesia Masa Kedatangan Islam, semoga menjadi informasi yang bermanfaat.

Pos terkait