Djibouti negara pusat perdagangan Eropa dan Asia

Djibouti – Kurang lebih sepertiga arah ke selatan dari pesisir timur Afrika terletak Tanduk Besar. Di sana, tepat pada titik menjelang menjoroknya massa lahan tersebut ke laut, terletak negeri Djibouti (dahulu Wilayah Prancis Afars dan lssas). Kalau tidak karena letaknya, negeri yang kecil dan panas terik ini mungkin tidak diketahui keberadaannya oleh dunia luar selain oleh negara-negara yang langsung bertetangga dengannya.

Akan tetapi, karena negeri ini menghadap ke Teluk Aden yang membentengi pintu masuk sebelah selatan ke Laut Merah, selama ribuan tahun ini Djibouti telah menjadi titik pusat perdagangan antara Eropa dan Asia.

Di zaman dahulu kala negeri ini mengekspor kemenyan dan mur, yang dalam Kitab Injil Perjanjian Baru dikatakan bahwa kemenyan dan mur inilah yang dipersembahkan oleh Tiga Orang Majus ke hadapan bayi kudus Yesus. Garam diimbalbelikan dengan emas.

Namun, kini Djibouti hampir sepenuhnya bergantung kepada perdagangan transit dan berbagai kegiatan yang terkait dengannya, seperti perbaikan kapal dan perkeretaapian, untuk mempertahankan kelangsungan hidup penduduknya.

Peta wilayah Djibouti

Kunjungi Peta Djibouti atau di google map

Geografi Djibouti

Djibouti yang terletak di pesisir timurlaut Afrika ini berwilayah 23.200 km2. Di sebelah utara, barat, dan selatan, negeri ini berbatasan dengan Ethiopia, di sebelah tenggara dengan Republik Somali, sedangkan di _sebelah timur dengan Teluk Aden.

Sebagian besar lahannya berupa gurun pasir, terutama di dataran rendah pedalaman. Negeri ini berciri tiga bentuk lahan yang agak berbeda-beda. Dari dataran pesisir yang rendah, lahannya meninggi menjadi serangkaian kisaran pegunungan yang titik tertingginya mencapai 1.520 m.

Terdapat sedikit daerah yang berupa hutan di lereng pegunungan. Tepat di luar pegunungan itu, medannya ditandai dengan plato yang tinggi dan dataran yang terbenam.

Di sana-sini bentang alam yang lengang itu dibercaki oleh padang rumput dan terkadang oleh semak belukar yang tak beraturan yang menjadi sumber makanan ternak yang sedikit yang sangat dibutuhkan oleh hewan gembalaan suku nomadik.

Djibouti adalah lahan yang panas terik. Suhu rata-ratanya lebih dari 32°C. Tanahnya tidak begitu subur dan negeri ini tidak mempunyai arus yang permanen atau danau air tawar sehingga irigasi merupakan problem utama.

Di samping itu, curah hujannya juga tidak menentu sehingga tidak begitu bermanfaat. Di daerah pesisir curah hujan tercatat kurang dari 12,7 cm per tahun. Di tanah tinggi, yang jarang diusahakan untuk pertanian, curah hujannya lebih dari 51 cm per tahun.

Djibouti tidak memiliki sumber alam yang berarti, lahan yang dapat digarap sempit, dan hampir tidak mempunyai industri. Kira-kira seperdua penduduknya adalah suku pengembara yang mencari nafkah dengan memelihara sapi, domba, keledai, dan unta.

Hanya sebagian kecil penduduk menggarap lahan untuk memperoleh hasil yang tidak seberapa itu. Tulang punggung perekonomian negara adalah bandar Djibouti. Karena kota ini merupakan bandar bebas, maka tidak ada pemasukan dari bea cukai.

Negara ini juga sangat mengandalkan letaknya yang strategis di perairan yang menjadi lintasan keluar masuk Terusan Suez. Kota ini merupakan bandar persinggahan bagi kapal yang memanfaatkan terusan itu.

Sebagian besar penduduk kota ini bekerja di berbagai galangan kapal dan instalasi perbaikan kapal. Sumber pendapatan lain yang penting adalah jalur kereta api yang menghubungkan Ethiopia dengan bandar Djibouti.

Bandar tersebut merupakan jalan keluar utama ke laut bagi Ethiopia. Sebagian besar kegiatan ekspor dan impor Ethiopia dilakukan melalui Djibouti setelah diangkut dengan kereta api.

Garnisun miltier Prancis yang masih tetap dipertahankan setelah kemerdekaannya, juga merupakan sumber pendapatan yang lumayan. Di samping itu, Prancis juga memberikan subsidi tahunan untuk menggerakkan roda perekonomiannya.

Penduduk

Djibouti berpenduduk sekitar 500.000 jiwa. Menurut perkiraan pemerintah Prancis, kelompok Afar yang masih ada hubungan kerabat dengan bangsa Ethiopia, merupakan bagian terbesar penduduk. Kelompok Issa, yakni suatu kelompok Somali yang erat kaitannya dengan tetangganya Republik Somalia, tidak begitu banyak jumlahnya.

Sulit untuk menentukan jumlah penduduk yang sebenarnya karena banyaknya orang Afar dan orang Issa yang hidup secara nomadik. Upaya mencari lahan penggembalaan ternak acapkali membawa mereka menyeberangi perbatasan negeri ini. Tercapainya kemerdekaan tidak banyak mempengaruhi penduduk yang nomadik ini.

Di samping itu, terdapat pula orang Eropa, terutama Prancis, dan orang Arab di daerah pesisir. Hampir seluruh penduduk memeluk agama Islam, kecuali orang Eropa. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Prancis, Afar, Somali, dan Arab.

Hampir seperdua penduduk tinggal di Djibouti. Pusat permukiman penduduk lainnya antara lain Tadjoura yang terletak di Teluk Tadjoura, Dikhil dan Ali-Sabieh di sebelah selatan, serta Obock di pesisir timur.

Sejarah dan Pemerintahan Djibouti

Sejak awal Djibouti telah menjadi titik tolak bagi perpindahan penduduk antara Afrika dan Asia. Letaknya yang dekat dengan Timur Tengah menjadikannya salah satu daerah Afrika pertama yang dikuasai oleh para penakluk Arab. Antara abad ke-8 dan ke-10, para pendatang Arab telah mengislamkan sebagian besar penduduknya.

Tetapi, tahun 1862 para kepala suku di Obock merebut daerah tersebut atas nama Prancis. Selanjutnya kekuasaan Prancis bertambah ke selatan sampai ke Djibouti, dengan demikian Prancis dapat menguasai jalur perkapalan melalui Terusan Suez yang dibuka tahun 1869.

Negeri ini menjadi pusat pemerintahan tahun 1896 dan kemudian perbatasan koloni Prancis itu ditentukan dan daerah tersebut dinamakan Somaliland Prancis. Pada 1917, Jalur Kereta Api Franko-Ethiopia yang menghubungkan Addis Ababa dengan Djibouti berhasil dirampungkan. Tahun 1949 wilayah ini menjadi zone transit bebas dan semakin memperbesar kedudukannya di bidang perdagangan.

Pemerintahan sendiri dalam urusan dalam negeri diberikan kepada wilayah itu tahun 1957 dengan dibentuknya Majelis Kewilayahan. Sebagai hasil referendum tahun 1958, wilayah tersebut menjadi bagian Republik Prancis yang diberi hak memilih satu orang deputi dan satu orang senator untuk badan legislatif Prancis.

Dalam sebuah referendum mengenai masalah kemerdekaan yang diadakan tahun 1967, wilayah tersebut memberikan suara untuk tetap masuk bagian Republik Prancis. Pada tahun itu juga nama wilayah itu diubah dari Somaliland Prancis menjadi Wilayah Afar dan Issa Prancis.

Tetapi, 10 tahun kemudian rakyat memberi suara bagi kemerdekaan yang kemudian dinyatakan pada 27 Juni 1977. Republik Djibouti menjadi negara terbaru di Afrika. Pemerintahannya terdiri atas presiden, perdana menteri, serta sebuah badan legislatif, yakni Majelis Nasional.

Dua masalah yang dihadapi Djibouti ialah tidak adanya dasar perekenomian untuk membangun negeri dan ketegangan yang terus-menerus antara orang Afar dan Issa. Dalam tahun 1980-an dan 1990-an para pengungsi yang menyelamatkan diri dari permusuhan suku di Somalia dan Ethiopia memperburuk keadaan.

Pada November 1991 Front Restorasi Keutuhan dan Demokrasi (FRUD) Afar mengangkat senjata terhadap pemerintah. Prancis mengirim pasukan perdamaian ke Djibouti dan mendesak Presiden Hassan Gouled Aptidon yang memegang jabatan itu sejak kemerdekaan untuk melaksanakan reformasi politik guna mencegah perang saudara.

Pada 1992, ketika FRUD dan kelompok pemberontak lain menguasai sebagian besar negeri itu Gouled mengemukakan rencana undang-undang multipartai, tetapi mempertahankan kepresidenan yang kuat. Undang-undang ini diterima para pemberi suara pada September 1992.

Pada 1993 Gouled memenangkan pemilihan multipartai yang pertama di Djibouti. Namun pemilihan itu diboikot oleh kelompok oposisi yang menganggap reformasi itu cacad, dan perang saudara terus berlangsung.

Referensi lain mengenai negara ini silahkan baca: 5 Hal yang Patut Anda Ketahui Tentang Republik Djibouti

Diulas oleh:
DINAS PENERANGAN DAN PERS KEDUTAAN BESAR PRANCIS, New York
Editor: Sejarah Negara Com

Pos terkait