Haiti negara budak yang bangkit melawan Kolonial

Benteng Citadelle berdiri sebagai lambang aspirasi rakyat Haiti dan seluruh rakyat berkulit hitam keturunan Afrika di Dunia Baru. Benteng yang seram itu dibangun oleh pahlawan nasional Haiti Henry Christophe antara tahun 1805 dan 1820 untuk melindungi negeri yang baru saja memperoleh kemerdekaannya itu dari serangan balasan oleh kaum kolonialis Prancis yang telah diusir keluar dari pantainya.

Perjuangan yang panjang untuk merebut kemerdekaan, yang diawali dengan pemberontakan budak pada tahun 1791, telah berlangsung terus sampai kekalahan Prancis pada tahun 1803 dan Haiti merayakan kemerdekaannya pada hari pertama bulan Januari 1804.

Berhasilnya perjuangan merebut kemerdekaan itu merupakan tonggak pertama dalam sejarah Dunia Baru yang menandai bangkitnya budak berkulit hitam melawan kaum kolonialis berkulit putih dan keberhasilan mereka merebut hak berpemerintahan sendiri secara bebas merdeka. Namun, sikap masa bodoh, penggerogotan waktu, dan gempa bumi yang terjadi pada tahun 1842 telah menghancurkan monumen bagi pembebasan orang kulit hitam itu.

Kemudian, yaitu pada tahun 1979, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) memasukkan lokasi tersebut, berikut reruntuhan istana Henry Christophe di San Souci serta tempat tinggal Ramiers yang berbenteng itu ke dalam Daftar Warisan Dunianya yang mencantumkan berbagai lokasi budaya yang penting.

Hal itu membuka jalan bagi upaya pendanaan internasional guna pelaksanaan pemugaran di bawah naungan UNESCO, Institut Pelestarian Warisan Nasional Haiti (ISPAN), dan Proyek Pembangunan PBB (UNDP). Sekarang tengah dilaksanakan pekerjaan memugar berbagai bangunan yang telah hancur itu guna memulihkan kemegahan aslinya sebagai bagian dari sebuah Taman Sejarah Nasional.

Geografi Haiti

Lahan Haiti jauh lebih bergunung dibandingkan tetangganya, Republik Dominika, yang sama-sama berada di Pulau Hispanyola. Delapan puluh persen bentang alam Haiti terdiri atas kisaran pegunungan yang tidak rata atau dataran tinggi yang terangkat ke atas. Gunung yang tertinggi di pulau itu adalah Morne La Selle yang terletak di sebelah tenggara, setinggi kira-kira 1.415 m.

Kunjungi di google map

Di sela-sela pegunungan itu terletak beberapa dataran besar. Yang paling menonjol di antaranya adalah dataran Cul-de-Sac, yang terletak di sebelah timurlaut Port-au-Prince. Dataran yang bagus sistem irigasinya itu merupakan daerah yang paling subur di Haiti, yang menghasilkan sebagian besar produksi gula negeri itu. Daerah ini pun merupakan daerah yang paling padat penduduknya di negeri itu.

Haiti mempunyai dua semenanjung besar yang dipisahkan satu sama lain oleh Teluk Gonave. Semenanjung di sebelah selatan, yang panjangnya 80 km itu, lebih padat penduduknya daripada yang satunya lagi. Semenanjung itu menghadap ke arah Jamaika.

Semenanjung di sebelah utara, yang lebih pendek dan sebagian besar gersang itu, menghadap ke arah Kuba. Pulau Gonave yang terletak di Teluk Gonave diapit oleh kedua semenanjung itu. Sungai utama di Haiti adalah Sungai Artibonite.

Haiti adalah sebuah negeri yang beriklim tropis. Suhu tertinggi rata-rata di siang hari pada bulan Januari di ibu kota Port-au-Prince adalah 31°C, sedangkan pada bulan Juli adalah 35°C, namun di daerah pegunungan di pedalaman suhu hanya 10°C.

Curah hujan di Port-au-Prince sebanyak 137 cm, sedangkan di daerah pegunungan sampai tinggi 254 cm. Hujan biasanya turun dalam dua musim penghujan yaitu antara bulan April sampai bulan Juni dan selama bulan Oktober dan November. Pulau ini sekali-sekali diamuk angin topan dan dilanda kekeringan dan banjir tahunan.

Bentang alam Haiti mencerminkan sejarah rakyatnya yang penuh dengan kesengsaraan dan kemiskinan. Kawasan hutan perawan yang pada zaman Columbus pernah menghijau dan menyelimuti pulau itu, kini hanya terlihat di sejumlah daerah pegunungan yang tak terjangkau manusia.

Di daerah lainnya, negeri itu sarat dengan lereng bukit yang telah gundul atau tererosi sebagai akibat telah dibabatnya pepohonan oleh para petani untuk dijadikan kayu bakar. Karena sektor pertanian di Haiti masih bertaraf primitif, maka tidak ada gagasan untuk melestarikan kesuburan tanahnya.

Sebaliknya, kalau lahan telah kehabisan haranya, para petani lalu membumihanguskan pepohonan yang ada di lahan yang berdekatan dan mulai bercocok tanam di situ sehingga yang tertinggal di lahannya yang terdahulu hanyalah tumbuhan perdu yang tidak ada manfaatnya. Karena lahannya sudah banyak yang digunduli, banjir dan erosi tanah yang parah menjadi pemandangan yang biasa di Haiti.

Penduduk Haiti

Haiti adalah negeri yang paling padat penduduknya di belahan bumi bagian barat. Penduduknya juga termasuk yang paling miskin di dunia. Sekitar 76% penduduknya berjubel di lahan pertanian kecil di berbagai daerah pedesaan yang miskin yang boleh dikatakan belum terjamah oleh teknologi modern.

Banyak di antara kawula muda, yang tidak melihat adanya harapan untuk maju di daerah pedesaan, pindah ke Port-au-Prince, yaitu kota besar yang secara tradisional merupakan tempat tinggal golongan minoritas elit yang kaya dan berpendidikan di Haiti.

Banyak di antara mereka yang pindah ke kota besar itu tidak menemukan peluang yang mereka dambakan dan terdampar dalam kepapaan di beberapa di antara daerah pemukiman miskin yang paling jorok di dunia, yang terletak di sekitar ibu kota. Ada pula yang berimigrasi ke seberang laut, terutama ke Amerika Serikat.

Sebagian besar penduduk Haiti adalah keturunan budak berkulit hitam yang berasal dari Afrika, sedangkan orang mulato yang berdarah campuran kulit hitam dan kulit putih secara tradisional merupakan golongan minoritas yang kaya dan berkuasa. Bahasa Prancis adalah bahasa resmi, tetapi sebagian besar penduduk menggunakan logat setempat yang berakar dari bahasa Prancis dan Afrika yang disebut logat Kreol.

Sejarah Haiti diwarnai dengan kemelut dan huru-hara, tetapi rakyat Haiti telah berhasil keluar dari huru-hara itu dengan selamat. Mereka itu terkenal sebagai bangsa yang riang gembira dan penuh humor. Mereka seakan-akan tak pernah kehabisan vitalitas yang ceria dan tidak kenal putus asa.

Voodoo

Voodoo kadang-kadang masih terlihat di Haiti. Voodoo merupakan aliran kepercayaan yang berasal dari kepercayaan kesukuan di kalangan orang Afrika yang dibawa masuk ke Haiti sebagai budak. Daya pemersatu dan keilhaman voodoolah yang memungkinkan terjadinya pemberontakan budak besar-besaran melawan para juragan Prancis pada tahun 1791.

Karena berbagai aliran kepercayaan kesukuan Afrika berbaur satu sama lain di Haiti, dewa atau roh tertentu yang disebut loa muncul sebagai penguasa. Beberapa di antara loa dalam aliran kepercayaan voodoo berasal dari Hispanyola sendiri. Ada di antaranya sebenarnya adalah santo dalam agama Kristen yang telah dimasukkan ke dalam aliran kepercayaan itu.

Banyak penganut voodoo di Haiti yang menganggap diri mereka sendiri umat Kristen, sedangkan berbagai lambang, upacara, serta wujud luar Kristiani telah dibaurkan ke dalam berbagai ritus voodoo. Lambang salib, misalnya, digandakan sebagai lambang Baron Samedi (”Baron Hari Sabtu”), yakni salah satu di antara loa yang paling perkasa dan paling ditakuti.

Voodoo lebih mudah menyesuaikan diri, tidak begitu abstrak, dan kurang sistematis dibandingkan dengan berbagai agama utama di dunia. Hukum dan kepercayaan dalam voodoo tidak tertulis dan, lebih dari itu, berbagai praktik dan ritusnya dikembangkan menurut kebutuhan.

Upacara voodoo dapat diadakan setiap saat orang atau kelompok masyarakat memerlukan pertolongan atau mampu membayar jasa houngan atau pendeta. Tujuan pokok upacara voodoo adalah agar pesertanya dikuasai oleh loa. Setelah mengalami gangguan emosional, peserta tersebut untuk sementara kehilangan identitas duniawinya dan beridentitas loa yang dipanggilnya.

Loa mana yang bakal datang adalah bergantung pada problem yang sedang dihadapi oleh peserta itu. Untuk masalah yang menyangkut hati atau percintaan, misalnya, loa yang dipanggil mungkin Erzulie Fréda Dahomey, yakni dewi rumah tangga, kesucian, dan cinta. Setelah merasa dirinya dikuasai oleh loa itu, orang percaya bahwa dirinya sudah dibersihkan dari segala kekhawatiran.

Penguasaan itu diwujudkan melalui berbagai sarana. Kebanyakan upacara voodoo berlangsung di waktu malam. Tonnelle, atau tempat berkumpul, yang gelap dan penuh sesak itu diterangi oleh lampu minyak tanah dan suasana yang serba seram membantu meyakinkan sang peserta bahwa dia telah memasuki suatu alam yang penuh dengan segala kemungkinan dan tak terjangkau oleh alamnya sendiri.

Kemudian upacara pun dimulai. Hingar bingar bunyi gendang yang ditabuh oleh tiga orang membantu menerobos batas kesadaran peserta, begitu pula tari-tariannya saling berhadapan, tetapi tak pernah bersentuhan serta vever, yakni suatu pola yang sangat rumit dan abstrak yang digambar oleh houngan dengan menggunakan tepung dan abu di atas lantai tanah tonnelle.

Akhirnya, dilakukanlah upacara persembahan darah ayam, kambing, babi, atau lembu untuk mengingatkan peserta bahwa di zaman dahulu kala upacara keagamaan di Afrika merupakan masalah hidup dan mati dengan manusia sebagai korban.

Sejalan dengan waktu, voodoo yang pada hakekatnya adalah ilmu putih itu telah tercemar oleh ilmu hitam atau teluh, yang tidak beritikad baik.

Kadang-kadang peranan bocor (tukang teluh) dan houngan (dukun ilmu putih) dilakukan oleh satu orang. Kegiatan bocor antara lain adalah meramu jampi-jampi percintaan dan guna-guna kematian, mencari harta karun yang terpendam, menenung orang yang tidak disenangi menjadi ajak jadi-jadian, atau menghidupkan kembali jasad orang yang sudah mati untuk menggarap ladang sebagai budak mayat hidup.

Sudah barang tentu kesemuanya itu dilakukan dengan upah tertentu. Sekarang ini voodoo sudah demikian kerasukan ilmu hitam sehingga sulit untuk menyaksikan upacara yang mirip dengan upacara aslinya yang masih murni.

Kehidupan Budaya Yang Kaya

Dengan adat istiadat yang masih primitif di satu pihak dan golongan elit yang berpendidikan di lain pihak, Haiti ternyata memiliki suatu kehidupan budaya yang sangat mengagumkan, mengingat bahwa negara itu demikian miskin dalam segi material.

Seni Lukis dan Seni Pahat

Seni lukis dan seni pahat primitif Haiti menjadi terkenal ke seluruh dunia dalam kurun waktu sepuluh tahun seusai Perang Dunia II. Sebelum itu warisan kaya kebudayaan rakyat Haiti itu baru terungkap hampir sepenuhnya dalam bentuk musik dan tari.

Kemudian, pada tahun 1944, seorang pelukis Amerika bernama DeWitt Peters membuka sebuah Centre d’Art (”pusat kesenian) di Port-au-Prince. Balai tersebut merupakan sebuah sekolah tinggi kesenian dan sekaligus arena untuk menjual berbagai karya para seniman Haiti.

Kebijaksanaan yang ditempuh pusat kesenian itu adalah memberi keleluasaan kepada para seniman alam rakyat Haiti untuk mengembangkan diri mereka sendiri, dengan titik berat kepada taraf ketrampilan dan citarasa yang tinggi. Sasaran kebijaksanaan itu adalah untuk mengembangkan sekolah pemula khusus untuk para seniman alam di mana-mana.

Di antara contoh karya seni yang paling mengesankan adalah mural yang menghias Katedral Keuskupan Trinitas Kudus (Saint-Trinité) di Port-au-Prince. Mural itu dilukis oleh para seniman Haiti Philome Obin, Castera Bazile, Wilson Bigaud, Rigaud Benoit, dan lain-lain antara tahun 1949 dan 1951.

Pelukis lainnya yang mendapat nama internasional adalah Hector Hippolyte, pemimpin gerakan pembaharuan Afro-Art di kawasan Karibia; André Pierre; Enguerrand Courgue; Préféte Duffaut; Pétion Savain; Jean-René Jérome; dan Bernard Séjourné. Pemahat kenamaan Haiti adalah Jasmin Joseph, Georges Liautaud, Albert Mongonés dan A.V. Dimanche serta anaknya René Dimanche.

Kesusastraan

Berlainan dengan karya lukis terbaik Haiti yang diilhami oleh kesenian rakyat primitif itu, kesusastraan Haiti terkait dengan golongan minoritas elit Haiti. Sebagian besar penduduk negeri ini masih niraksara dan bertutur dalam bahasa Kreol Haiti, yakni logat yang terutama berunsur bahasa Prancis dan beberapa kata dan frase Afrika. (Tercakup pula di dalamnya berbagai unsur bahasa Inggris, Spanyol, dan Belanda).

Bahasa Kreol bukan merupakan bahasa sastra sehingga kesusastraan Haiti disajikan dalam bahasa Prancis. Akan tetapi, berbagai upaya kini tengah ditempuh agar bahasa Kreol dapat diterima secara lebih luas sebagai suatu bahasa sastra dengan menggunakannya sebagai bahasa pengantar di sekolah untuk membantu meningkatkan angka melek huruf yang ada sekarang.

Haiti mempunyai ruang lingkup kesusastraan yang luas. Para penulis di zaman dahulu diilhami oleh perjuangan merebut kemerdekaan serta persatuan nasional. Puncak kejayaannya terjadi pada tahun 1920-an dan 1930-an dalam masa pendudukan Amerika Serikat atas negeri itu.

Sebelum itu kesusastraan Haiti tidak lebih dari sekadar pemekaran kesusastraan Prancis. Akan tetapi, selama masa pendudukan Amerika yang lama itu, kaum intelektual Haiti baru sadar akan diri mereka sebagai bangsa Haiti. Buah gerakan itu adalah lahirnya suatu kesusastraan yang bersemangat dan original.

Buah tersebut antara lain berupa puisi karya Emile Roumere dan Magloire St. Aude serta novel karya Marcellin bersaudara-yaitu Philippe Thoby-Marcellin dan Pierre Marcellin. Penulis yang banyak mendapat pujian di kalangan internasional antara lain adalah Oswald Durand, Jean Brierre, Felix MorisseauLeroy, Jacques Roumain, Milo Rigoud, dan Emile Roumer.

Ekonomi Haiti

Haiti adalah salah satu di antara negeri yang paling miskin dan paling terbelakang di dunia. Suatu jurang pemisah yang menganga lebar memisahkan kehidupan golongan minoritas kecil yang kaya raya yang tinggal di Portau-Prince dengan golongan penduduk yang miskin yang kebanyakan tinggal di daerah pedesaan atau berbagai daerah permukiman miskin di dekatnya.

Lebih dari 60% angkatan kerja mencari nafkah sebagai petani kecil yang mengandalkan lahan pertanian yang sangat terbatas untuk memenuhi kebutuhannya yang serba minim itu. Beberapa di antara mereka yang boleh dianggap bernasib mujur bekerja sebagai buruh dengan upah kecil di pabrik yang merakit sandang, produk elektronik teknologi tinggi, dan berbagai barang lain yang khusus untuk diekspor. Sejumlah besar penduduk Haiti lainnya tunakarya dan mampu bertahan hanya dengan bantuan pangan dari mancanegara.

Bahan pangan utama dalam menu sehari-hari di Haiti terdiri atas jagung dan beras, ditambah dengan kacang-kacangan untuk proteinnya, dan sedikit tomat, okra (semacam kacang polong), dan sukun untuk pelengkapnya. Singkong, ketela, pisang, dan talas juga ditanam di kebanyakan daerah. Jewawut dan cantel juga merupakan tanaman penting di daerah yang beriklim kering.

Daging kambing, babi, unggas, dan kadang kala daging sapi merupakan hidangan yang sekali-sekali dinikmati oleh keluarga yang miskin. Seperti halnya di kebanyakan negara yang paling miskin, hasil pertanian yang berasal dari tanaman budidaya dan ternak jauh lebih rendah dibandingkan dengan di negara industri. Hal itu sebagian disebabkan oleh luas lahan pertaniannya yang terbatas.

Sebab lainnya adalah bahwa sebagian besar dari mereka masih menggarap lahan dengan menggunakan linggis, cangkul, sabit, dan perkakas lain yang masih primitif. Kebanyakan di antara mereka pun terlalu miskin, terlampau awam, atau amat sangat bergantung kepada bahan pangan yang mereka hasilkan sehingga tidak mampu bereksperimen dengan menggunakan berbagai macam bibit unggul dan pupuk yang kini dipakai membantu meningkatkan hasil pertanian di berbagai negara lain.

Kopi merupakan tanaman perdagangan dan sekaligus komoditi ekspor yang utama, yang menghasilkan sebanyak 30% dari seluruh pendapatan dari sektor ekspor pada waktu hasil panenannya bagus. Komoditi ekspor lainnya adalah gula tebu, sisal, dan cokelat. Boksit, yakni bahan dasar aluminium, ditambang dan diekspor kalau harga logam di pasar dunia tinggi. Industri pemanufakturan masih berada dalam taraf perintisan.

Pariwisata sangat berperan karena sektor ini mampu-menyerap devisa luar negeri yang dapat dimanfaatkan oleh Haiti untuk membayar tagihan atas impor minyak bumi dan berbagai barang produksi yang lain.

Sejarah dan Pemerintahan Haiti

Pulau Hispanyola di kawasan Laut Karibia, yang ditempati bersama-sama oleh Haiti dan Republik Dominika itu, ditemukan oleh Christopher Columbus pada tanggal 5 Desember 1492 dalam pelayaran ke Spanyol. Menjelang abad ke-17 pulau Hispanyola merupakan surga bagi perompak atau bajak laut, yang banyak di antaranya berkebangsaan Prancis dan amat sangat membenci Spanyol.

Para perompak itu menjadikan pulau kecil Tortuga, yang terletak di lepas pantai utara Hispanyola, sebagai sarangnya. Pada tahun 1697, ketika sebuah perjanjian ditandatangani oleh Prancis dan Spanyol, yang pada hakikatnya memantapkan daerah operasi bajak laut mereka itu, Prancis diberi sepertiga bagian barat pulau Hispanyola, yang sekarang adalah Haiti.

Saint-Domingue

Sejak saat itu orang Prancis menikmati zaman kemakmuran selama 90 tahun, yang mungkin belum pernah dialami sebelumnya di Karibia. Menjelang tahun 1780 koloni Saint-Domingue, yakni sebutan untuk Haiti pada masa itu, menghasilkan sebagian besar kopi dan gula untuk memenuhi kebutuhan Eropa.

Setengah juta budak berkulit hitam menggarap perkebunan tebu dan kopi. Demikian berat beban yang mereka sangga dan begitu lemahnya mereka oleh serangan penyakit sehingga setiap alih generasi hampir seluruh anggotanya harus diganti. Orang kulit putih, yang berjumlah kira-kira 25.000 orang itu mengelola koloni itu dengan efisiensi yang membabi buta dan mengeduk keuntungan yang melimpah untuk diri mereka sendiri.

Golongan penduduk yang hidup serba kikuk di tengah-tengah golongan penduduk kulit putih dan budak itu adalah orang mulatto, yaitu penduduk bukan budak yang berdarah campuran kulit putih dan kulit hitam, serta “golongan penduduk kulit hitam yang bukan budak”.

Mereka sebenarnya bebas untuk memiliki lahan dan budak, tetapi mereka tersisih dari lingkungan orang kulit putih dan tidak pula diperkenankan menduduki jabatan politik dan bahkan dilarang menjalankan profesinya.

Revolusi dan Kemerdekaan

Ledakan yang tak terhindarkan di Haiti disulut oleh Revolusi Prancis (1789). Konstitusi Prancis yang revolusioner itu menyatakan bahwa hak-hak sipil yang baru dan penting harus diperluas untuk membebaskan manusia. Kaum kolonis kulit putih di Haiti tidak mau mematuhinya.

Pada akhir tahun 1790 suatu kekuatan bersenjata yang terdiri atas orang mulato menerobos masuk ke Tanjung Haitien (yang pada masa itu disebut Cap-Franqais). Pemberontakan itu berhasil dipadamkan. Para pemimpin mulatto dihukum mati pada awal tahun 1791.

Dalam bulan-bulan berikutnya golongan penduduk kulit putih dan mulato di Saint-Domingue saling berbakuhantam. Namun, budak yang tertelantarkan itulah yang mengobarkan revolusi Haiti, yang bangkit melawan para tuan mereka (Agustus 1791 dalam serentetan gelombang pembunuhan dan pembumihangusan). Pertempuran itu berlangsung lama. Persekutuan demi persekutuan dibentuk dan dirombak tanpa ujung pangkal antara orang kulit putih, kulit hitam, dan mulatto.

Golongan penduduk mulatto memihak kepada golongan penduduk kulit hitam di beberapa daerah di Haiti dan kepada golongan penduduk kulit putih di berbagai bagian lainnya. Orang kulit putih bahkan bergabung dengan orang kulit hitam di berbagai daerah yang menjadi basis orang mulatto.

Para pemimpin kulit putih sendiri juga terpecah-belah menjadi beberapa fraksi. Sebagian mendukung pemerintah revolusioner di Prancis, sebagian lagi menentangnya. Keadaan itu semakin diperumit lagi ketika Spanyol dan Inggris ikut-ikutan berperang melawan Prancis pada tahun 1793 dan mengirim bala tentara mereka ke Saint-Domingue.

Namun pada akhirnya, secara mengejutkan Spanyol dan Inggris ternyata berhasil diusir keluar dari Hispanyola, golongan mulatto bertekuk lutut, dan seluruh pulau itu dipersatukan pada tahun 1801 di bawah para pemimpin kulit hitam yang luar biasa, Toussaint L’Ouverture.

Pierre Dominique Toussaint L’Ouverture

Toussaint adalah bekas budak. Dia adalah pria yang berperawakan kecil lagi bersahaja yang memiliki kecerdikan untuk mengadu domba bangsa dan golongan serta memiliki ketegaran yang mampu mengendalikan secara tuntas berbagai kekuatan revolusioner di Haiti.

Namun sayang, dengan kemenangannya di Hispanyola itu dia harus menghadapi musuh yang tidak kalah tangguhnya, yaitu Napoleon Bonaparte sang pemimpin militer Prancis yang agung itu, yang pada saat itu memerintah Prancis.

Meskipun Hispanyola masih tetap menjadi milik Prancis, Napoleon menginginkan kekuasaan mutlak dan dia ingin memberlakukan kembali sistem perbudakan. Dia merencanakan dan sekaligus mengirimkan sebuah ekspedisi amfibi militer untuk melawan Haiti, dengan saudara iparnya sendiri, Charles Leclerc, sebagai komandan.

Pasukan budak Toussaint dikalahkan. Toussaint ditangkap serta dikucilkan dan dipenjarakan di Prancis dan akhirnya meninggal di sana. Namun, kemenangan besar atas Hispanyola itu tidak ada artinya sama sekali bagi Prancis.

Demam kuning Karibia yang ditakuti itu menewaskan Jendral Leclerc dan sebagian besar anak buahnya. Para ajudan Toussaint yang paling tepercaya, yaitu Jean-Jacques Dessalines, Henry Christophe, dan Alexandre Pétion, berhasil mengusir sisa pasukan Prancis dari bagian barat pulau itu.

Pada tanggal 1 Januari 1804 bekas koloni Prancis di Saint-Domingue itu menjadi Republik Haiti yang merupakan negara berdaulat pertama di kawasan Karibia dan kedua di belahan bumi bagian barat sesudah Amerika Serikat. Selanjutnya Dessalines menyataan dirinya sendiri sebagai kaisar.

Kemelut Politik dan Pendudukan

Pemimpin baru tersebut berhasil mempersatukan negeri yang semrawut itu. Setelah pembunuhan atas Dessalines pada tahun 1806, timbullah berbagai perselisihan pendapat. Haiti terbagi menjadi sebuah negara kerajaan di sebelah utara yang diperintah oleh Henry Christophe, yaitu tokoh kulit hitam yang menobatkan dirinya sendiri menjadi Raja Henry I, dan sebuah negara republik di sebelah selatan yang dipimpin oleh pemimpin mulatto Alexandre Pétion.

Setelah Christophe meninggal pada tahun 1820 kedua bagian itu dipersatukan kembali di bawah pimpinan pengganti Pétion, yakni tokoh mulatto Jean Pierre Boyer. Boyer kemudian berhasil menaklukkan negara tetangganya Santo Domingo (sekarang Republik Dominika) dan memerintah seluruh pulau Hispanyola sampai dia digulingkan pada tahun 1844. Santo Domingo menyatakan kemerdekaannya sendiri pada tahun 1845.

Baik Boyer maupun pendahulunya Alexandre Pétion adalah pemimpin yang seenaknya sehingga menanamkan benih ketidakstabilan politik yang selanjutnya menjadi bagian percaturan politik di Haiti sejak masa pemerintahan mereka.

Mereka pun dengan tidak arifnya meletakkan dasar bagi kemelaratan Haiti dengan tindakan mereka yang berupa pembagian lahan kepada para petani kecil dalam paket-paket yang demikian kecilnya sehingga usaha tani komersial besar, yang lazimnya merupakan bentuk usaha tani modern yang paling menguntungkan, tetap tidak mungkin diterapkan di Haiti.

Sepanjang abad ke-19 dan ke-20, Haiti semakin terseret ke dalam kesulitan ekonomi. Lahannya dibagi-bagi lagi menjadi satuan yang bahkan lebih kecil lagi. Sektor pertanian tetap terbelakang dan para petani kulit hitam tetap saja miskin dan niraksara.

Di sebuah negara yang mayoritas penduduknya berkulit hitam, golongan politisi kulit hitam lazimnya memangku jabatan kepresidenan. Namun, golongan mulattolah yang menguasai sektor perdagangan dan industri kecil dan juga membentuk suatu kelompok sosial dan budaya elit yang memonopoli bidang pendidikan.

Pada akhirnya golongan mulatto memperoleh peluang untuk menguasai percaturan politik di samping sektor perdagangan dan kebudayaan. Pada tahun 1915, yaitu semasa berkecamuknya Perang Dunia I, Korps Marinir Amerika Serikat memulai pendudukan yang berlangsung lama atas Haiti.

Menjelang saat itu keadaan di Haiti sudah mendekati titik anarki politik sempurna. Antara tahun 1912 sampai tahun 1915 seorang presiden tewas akibat ledakan bom di istana nasional, lalu yang kedua tewas diracun, sedangkan yang ketiga, keempat, dan kelima digulingkan melalui kudeta, dan yang keenam dibunuh beramai-ramai oleh massa rakyat yang marah di alun-alun utama Port-au-Prince.

Amerika Serikat yang khawatir keamanan seluruh kawasan Karibia ikut terancam, bertekad untuk melibatkan diri. (Mereka mencampuri urusan Republik Dominika pada tahun berikutnya). Pendudukan Amerika atas Haiti berlangsung sampai tahun 1934.

Perkembangan Terakhir

Mula-mula presiden dari golongan mulatto (sebelum tahun 1946) dan kemudian presiden dari golongan kulit hitam berturut-turut memerintah negeri itu seusai pendudukan Amerika Serikat. Namun, kemelut politik warisan zaman sebelumnya terus berkecamuk. Pada tahun 1957, Francois Duvalier, seorang dokter yang dikenal sebagai ”Papa Doc”, terpilih menjadi presiden. Dia mengikrarkan dirinya sendiri sebagai presiden seumur hidup pada tahun

1964 dan pada tahun 1971, beberapa waktu sebelum meninggal, dia mengubah undang-undang dasar sedemikian rupa sehingga memungkinkan dirinya berhak mencalonkan anaknya Jean-Claude Duvalier, atau “Baby Doc”, sebagai penggantinya.

Sang bapak dan sang anak Duvalier sama-sama memerintah dengan tangan besi dan kekuasaan absolut dan mengganyang segala bentuk oposisi melalui polisi rahasianya yang dibenci rakyat dan dikenal sebagai Tontons Macoutes, yang dalam logat Kreol berarti ”hantu”.

Baik sang bapak maupun sang anak Duvalier. hidup dalam kemahamewahan, yang dananya menurut dugaan diperoleh dengan menyelewengkan dana bantuan luar negeri yang seharusnya dimanfaatkan untuk menanggulangi kemiskinan yang semakin menjadi-jadi di negeri itu. Mereka dikelilingi oleh para pejabat yang korup.

Bersama-sama mereka itu menyeret pemerintahan dan perekonomian negeri itu ke keadaan yang paling bobrok sejak abad ke-19. Sekali-sekali ditempuh berbagai upaya untuk menampilkan wajah demokrasi, tetapi acap kali para calon dari golongan oposisi sudah ditangkapi sebelum pemilihan umum dapat dilangsungkan, atau daftar calonnya telah diatur demikian rupa sehingga dapat menjamin kembali berkuasanya para pendukung Duvalier.

Serentetan unjuk rasa yang memprotes terus bercokolnya pemerintah Duvalier meletus pada awal tahun 1980-an. Berkat adanya dorongan semangat yang berupa semakin gencarnya kritik Amerika Serikat terhadap pelanggaran hak-hak azasi manusia yang dilakukan oleh Pemerintah Haiti, unjuk rasa itu berhasil mengembangkan suatu momentum demikian rupa sehingga pada tahun 1986 Duvalier setuju untuk meninggalkan Haiti dan mengucilkan diri.

Suatu pemerintahan sementara yang dipimpin oleh golongan militer berhasil menguasai negeri itu, yang menjanjikan suatu undang-undang baru dan pemulihan demokrasi.

SELDEN RODMAN, Penulis, Haiti: The Black Republic
Editor: Sejarah Negara Com

Pos terkait