Mbah Lembah dalam Perspektif Sejarah Lokal Ambarawa

Suatu ketika saya mengikuti Khaul untuk menapaktilasi perjuangan Mbah Lembah sebagai tapa brata di Ambarawa, atau yang dikenal sebagai Kyai Lembah. Dari situ saya mengetahui bahwa Beliau diyakini sebagai cikal bakal kota Ambarawa, kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Adapun Khaul diselenggarakan di makam Kyai Lembah yang terletak di desa Kepatihan, Kelurahan Kranggan, Kecamatan Ambarawa.

Pada artikel ini saya ingin memandang sejarah beliau dalam perspektif sejarah lokal. Konon, nama Ambarawa diambil dari namanya, yaitu berasal dari kata Lembah dan Rawa.

Bacaan Lainnya

Kata Lembah diambil dari nama Kyai Lembah yang bernama asli Yasir Rahmatullah, putra Kyai Muhammad Basyar dari Wanasalam, kawasan Pantai Utara. Adapun kata Rawa merupakan nama kawasan perairan di Ambarawa yang bernama Rawa Bening (Rawa Pening). Lidah masyarakat dahulu terbiasa menyebut tempat Kyai Lembah bersemadi dan bermunajat kepada Allah SWT dengan kata Mbahrawa, yang akhirnya berkembang menjadi Ambarawa.

Peringatan khaul Kyai Lembah tersebut sangat penting. Pertama, secara fisik, waktu itu peringatan tersebut dihadiri oleh Wakil Bupati Semarang, dan ulama setempat. Hal ini menunjukkan adanya perhatian pemerintah maupun tokoh agama terhadap eksistensi Kyai Lembah beserta istrinya terhadap pengembangan kota Ambarawa. Lebih istimewa, hadir pula ulama dari masjid Agung Demak.

Sebagaimana diketahui, Demak memang memiliki ikatan kesejarahan dengan Ambarawa yang cukup erat. Kedua, pentingnya peringatan tersebut dikarenakan sejauh ini belum diperoleh konsep sejarah yang jelas mengenai kota Ambarawa, terutama mengenai sosok Mbah Lembah.

Lagipula, sejauh ini usaha penulisan sejarah (Historiografi sejarah) terkait dengan sejarah lokal suatu daerah masih minim dan perlu lebih digalakkan lagi.

Mbah Lembah dalam Perspektif Sejarah Lokal

Sejarah Bercampur Legenda

Kaburnya sejarah Ambarawa disebabkan masih bercampurnya kisah-kisah sejarah dengan cerita legenda yang sering dituturkan orang tua secara lisan. Penuturan tersebut dalam ilmu Sejarah dikenal dengan istilah sejarah lisan (oral tradition) dan sejarah lisan (oral history)yang memiliki prinsip dasar.

Tak dapat dipungkiri, penuturan secara lisan tersebut mengakibatkan seseorang kesulitan membedakan antara kisah fiktif berbumbu peristiwa yang kadang irasional dengan kenyataan yang sebenarnya.

Apalagi, dalam kisah legenda Ambarawa yang lebih dikenal dengan legenda Baru Klinting yang dituturkan, tidak pernah disebutkan seorang tokoh bernama Kyai Lembah (Yasir Rahmatullah) maupun istrinya Nyai Lembah (Nyai Siti Aminah).

Sebaliknya, tokoh sentral dalam legenda Baru Klinting yang lebih ditonjolkan justru kisah seorang anak kecil berperut busung berkepala gundul yang merupakan jelmaan seekor ular bernama Baru Klinting, dan sosok Mbok Rondho Dadhapan.

Realita semacam ini terjadi hampir di semua kota di Indonesia yang masing-masing memiliki kisah sejarah tersendiri, seperti kisah terbentuknya kota Banyuwangi, kota Surabaya, maupun kota Ambarawa.

Dalam lingkup sejarah kota Ambarawa yang yang dituturkan secara lisan, cerita yang bersifat irasional masih sangat kental. Hal ini tampak pada kisah bertemunya Nyai Siti Aminah (Istri Kyai Lembah) dengan seorang pemuda gagah bernama Bra Klinting atau Baru Klinting. Baru Klinting yang semula berwujud ular adalah putra Ki Ajar Selokantoro dari Gedong Sanga (Candi Gedong Songo). Dia membuat gara-gara dengan menancapkan sebatang lidi di keramaian (wayangan) untuk disayembarakan.

Namun tak satupun mampu mencabut lidi tersebut kecuali dia sendiri. Singkat cerita, bekas lidi tersebut kemudian keluar air bah yang menenggelamkan warga, adapun Nyai Lembah bersama Baru Klinting menyelamatkan diri naik lesung sampai Tlatah Glagahwangi (Kompleks Masjid Agung Demak).

Legenda memang kadang muncul karena adanya peristiwa sejarah. Sebaliknya, legenda yang berbentuk tutur seringkali membantu disiplin ilmu sejarah terutama untuk kepentingan historiografi. Jadi, agaknya kita perlu memberi batasan yang jelas antara legenda dengan kisah sejarah.

Hal ini penting dilakukan, agar generasi mendatang terutama warga kota Ambarawa mengetahui sejarah yang benar, sekaligus mempunyai ketrampilan bertutur yang menjadi salah warisan budaya yang gemar bercerita dan “bermain” dalam ranah sastra. Sejarah yang benar dalam hal ini adalah kisah Mbah Kyai Lembah, dan ketrampilan bertutur yang dimaksud adalah cerita legenda Baru Klinting.

Dengan mengetahui fungsi masing-masing kisah, kedua kisah tersebut bisa saling menopang pengetahuan masyarakat tanpa harus menghilangkan salah satu dari keduanya. Apalagi, masyarakat bisa merunut sendiri kisah sejarah kota Ambarawa melalui situs dan peninggalan berupa makam Kyai Lembah di Kepatihan, Ambarawa, dan makam Nyai Lembah di kompleks Pemakaman Sentoro Ratu, Kauman, Demak.

Berpotensi Wisata

Adanya kedekatan Sejarah antara Ambarawa dan Demak Bintoro, berpotensi menumbuhkan kawasan wisata baru di Ambarawa, yaitu wisata keagamaan. Alasannya, ketika masyarakat berziarah ke makam Nyai Lembah di Sentoro Ratu, Kauman, Demak, mereka dianjurkan untuk mengunjungi makam Kyai Lembah di Ambarawa.

Meskipun alasan ini tampak sederhana, tetapi gagasan ini penting untuk diwujudkan. Hal ini dikarenakan beberapa hal, pertama, dapat menambah alternatif kawasan wisata di Ambarawa selain Museum Kereta Api Ambarawa, Monumen Palagan Ambarawa, maupun Candi Gedong Songo yang masih mempunyai hubungan sejarah dengan Baru Klinting. Kedua, yang terpenting adalah menginformasikan kepada masyarakat Ambarawa tentang sejarah kota mereka yang belum banyak diketahui.

Pada masa kemerdekaan, Ambarawa pernah menjadi ajang pertempuran antara bangsa Indonesia dan Sekutu, lebih jauh silahkan baca di sini

Sudah saatnya gagasan ini harus didukung oleh semua fihak, terutama warga kota Ambarawa demi terwujudnya sebuah kawasan wisata keagamaan di Ambarawa. Hal ini dapat menambah citra baik kota Ambarawa, Kabupaten Semarang, sebagai kota Serasi, sekaligus sebagai kota Santri.

Pos terkait