Oseania wilayah yang luas di Samudra Pasifik

Oseania merupakan suatu wilayah yang luas di Samudra Pasifik. Namun, Oseania hanya memiliki wilayah daratan seluas kurang lebih 571.350 km2 yang meliputi banyak pulau yang membentuk wilayah Oseania. Pulau-pulau itu merupakan tempat tinggal penduduk yang berjumlah sedikit di atas 5.000.000 jiwa-kurang dari setengah jumlah penduduk kota besar seperti Tokyo.

Jarak jauh yang memisahkan satu pulau dengan pulau lainnya di Oseania dan jarak yang luar biasa jauhnya yang memisahkan Oseania dengan pusat perkembangan industri di Eropa Barat dan Amerika Utara telah menyebabkan Oseania tertutup dari arus utama sejarah sampai masa yang belum lama berselang.

Hingga Perang Dunia II baru sedikit sekali orang Oseania yang pernah bersua dengan para pemimpin usaha, misionaris, dan para pemukim baru dari dunia luar.

Ketika orang Eropa untuk pertama kali mengunjungi pulau-pulau Pasifik itu pada abad ke-16, ke-17, dan ke-18, mereka kembali pulang ke negerinya dengan gambaran mengenai wilayah itu sebagai suatu tempat yang mirip seperti Taman Firdaus.

Pulau seperti Tahiti tampak oleh orang Eropa bagaikan surga yang indah, suci, dan tenteram. Pohon tropis yang luar biasa dan bunga yang merangsang merayap menuruni perairan yang biru di Samudra Pasifik memberikan suatu latar belakang yang istimewa bagi penduduk pulau yang tampan, bersih, dan biasanya ramah.

Lukisan Paul Gauguin pamendangan alam Tahiti. Oseania
Lukisan Paul Gauguin tahun 1891 tentang pamandangan alam Tahiti, Oseania

Kunjungi di google map

Meskipun panas, iklim negeri itu nyaman. Karena buah kelapa, pohon sukun, dan buah-buahan lainnya dapat begitu saja dipetik dari pohon, sedangkan ikan dengan mudah dapat dijala dari laut, maka tidak diperlukan kerja keras bagi penduduk untuk melangsungkan hidupnya.

Bagi para pendatang dari Eropa tampak bahwa di sana hanya ada sedikit yang harus dikerjakan karena kehidupan tampak menyenangkan dari hari ke hari dan diisi dengan menari, berselancar, berenang, makan, dan tidur kapan saja orang menginginkannya.

Kekurangan daerah itu adalah adanya badai ganas, gempa bumi, dan perang antarsuku yang sukar untuk segera diketahui.

Hal inilah yang menyebabkan para pelaut Eropa yang baru selesai dari pelayaran yang berbulan-bulan lamanya di atas kapal yang kotor, sempit, dan penuh dengan bahaya pasti berharap menemukan pulau yang menawan.

Kehidupan di kepulauan itu bahkan tampak cukup memesona bagi orang Eropa yang tinggal di negerinya. Riwayat tentang perjalanan ini membeberkan tentang sudut bumi terakhir yang tak pernah terusik.

Para cendekiawan seperti Jean Jacques Rousseau memandang dunia yang tak terjamah ini sebagai anugerah atas keaslian alam yang agung. Keaslian alam dengan gaya hidupnya yang gampang tampak berlawanan dengan kesibukan kehidupan di benua Eropa yang ramai dan penuh sesak.

Keterasingan bangsa Oseania dimulai sejak nenek moyang mereka datang ke wilayah itu. Kedatangan para penjelajah, kaum misionaris, ilmuwan, pedagang, dan para pemukim antara abad ke-16 dan ke-19 membuka keadaan yang terasing itu. Pada akhir abad ke-19 hampir setiap pulau atau kepulauan telah dicaplok oleh negara-negara kuat di dunia.

Sebenarnya keterasingan Oseania secara nyata belum berakhir sebelum Perang Dunia II. Selama 3 tahun, dari tahun 1942 sampai tahun 1945, ratusan ribu tentara dari Asia, Eropa, dan Amerika terlibat dalam pertempuran yang paling berdarah di dunia ini di Oseania.

Pada waktu itu kepentingan strategis Oseania menjadi jelas. Kini terbukti bahwa tidak mungkin bagi negara-negara besar dan negara yang bertetangga untuk mengabaikannya lagi.

Bagaimana pun tidak mungkin lagi bagi penduduknya untuk menghindar dari dunia luar. Beribu-ribu pribumi terbawa ke dalam hubungan langsung dengan para pendatang dalam waktu yang cukup lama. Mereka bertempur bersama orang luar itu di hutan.

Tarian tradisional Trobriand, Oseania
Tarian tradisional Trobriand

Mereka bekerja bersama di pangkalan militer yang besar. Sebagai akibatnya, penduduk pulau mengembangkan suatu jajaran kebiasaan yang baru dan selera baru yang secara keseluruhan tidak dapat terpenuhi dalam sistem sosial dan ekonomi tradisional mereka.

Kadang-kadang pertentangan antara gaya hidup penduduk pulau dengan kekayaan materi dan kekuatan dari dunia luar menimbulkan akibat yang aneh. Di antara yang paling aneh adalah pemujaan terhadap barang muatan, yang menimbulkan ketakhayulan yang berkembang di beberapa bagian Oseania setelah Perang Dunia II.

Saksi bisu Perang Dunia II, di Oseania
Saksi bisu Perang Dunia II

Dalam pemujaan ini ”barang” melambangkan datangnya suatu zaman baru yang ditandai dengan barang muatan seperti mobil, truk, kulkas, perkakas rumah tangga, dan barang-barang kalengan. Semua barang itu telah dilihat oleh penduduk pulau dari pangkalan udara asing selama perang tetapi jarang sekali dapat memilikinya.

Penduduk pulau yakin bahwa, jika para pemimpin lokal atau pemimpin asing dengan sungguh-sungguh dimohon atau dibayar, mereka pasti akan membeberkan rahasia untuk mendapatkan barang muatan itu.

Seringkali kehidupan wajar dari sebuah desa akan menjadi terhenti sementara orang membangun sebuah garis landasan kecil dan menyalakan api untuk memberi pedoman mendarat pesawat terbang bermuatan barang yang diharapkan.

Kultus barang muatan (kargo) mencerminkan rasa frustasi penduduk pulau dalam menghadapi kekayaan dan teknologi dari dunia luar. Penguasa di Oseania sekarang sedang mencoba untuk memacu perkembangan politik, ekonomi, dan pendidikan untuk memberikan kepada penduduk berbagai maslahat yang tersedia di negara industri.

Oseania

Geografi Oseania

Oseania terletak di salah satu wilayah yang paling tidak stabil di kerak bumi. Gempa bumi dan letusan gunung berapi telah berulang kali terjadi dan bersinambung di sepanjang kedua tepi Samudra Pasifik, di Asia dan Amerika.

Gempa bumi dan letusan vulkanis yang terjadi di wilayah luas di antara kedua tepi benua itu tidak begitu dikenal, tetapi justru semua kejadian itulah yang menyebabkan terjadinya pulau-pulau kecil seperti yang ada sekarang.

Kepulauan benua

Kelompok pulau terbesar seperti Pulau Irian, Kaledonia Baru, Kepulauan Bismarck, dan Kepulauan Solomon-tetap terancam oleh kegiatan vulkanis meskipun kelompok pulau itu sebenarnya tidak bersifat vulkanis.

Kepulauan itu dikenal sebagai kepulauan benua sebab secara geologis pulau-pulau itu terbentuk oleh karang tua yang berasal mula dari proses pelipatan luas yang menimbulkan formasi dasar wilayah Asia Tenggara.

Pulau Irian terletak di ujung paling utara sebuah tepi benua yang membentang dari pantai utara Australia. Masih terdapat sedikit kesangsian tentang apakah Pulau Irian dahulunya merupakan bagian Benua Australia. Pulau ini mungkin telah terpisah sebagai akibat dari naiknya paras laut yang terjadi karena melelehnya es kutub.

Sumber alam Oseania

Jajaran sumber alam yang biasanya terdapat di kepulauan benua seperti ini diperkirakan lebih besar daripada yang terdapat di kepulauan nonbenua. Asal mula benua mengandung berbagai jenis batuan dan beraneka macam tanah.

Asal mula dari kepulauan seperti ini memberi kemungkinan adanya berbagai macam mineral. Minyak, emas, nikel, dan tembaga merupakan sebagian mineral yang telah ditemukan di kepulauan ini.

Kepulauan benua juga lebih mungkin menjadi hutan alam yang lebih baik. Hal ini benar, misalnya, di Pulau Irian, yang merupakan tempat beradanya industri kayu jati yang, walaupun masih baru, sudah menjadi penting.

Kepulauan Tinggi dan Atol Rendah

Kepulauan Oseania selebihnya merupakan kepulauan vulkanis yang tinggi atau atol batu karang yang rendah. Baik kepulauan yang tinggi maupun atol yang rendah berawal vulkanis. Atol-atol itu sebenarnya tertumpang di atas puncak kepulauan vulkanis yang terbenam.

Atol Karang di Oseania
Aitutaki adalah atol karang yang terbentuk dari delapan pulau kecil yang mengelilingi sebuah laguna.

Kepulauan yang tinggi terbentuk sebagai akibat kegiatan gunung berapi oleh karenanya, hampir keseluruhannya tersusun dari tanah dan batuan vulkanis. Kepulauan ini beragam dalam bentuknya dari pulau yang besarnya lebih dari 10.000 km2, seperti Pulau Viti Levu di dalam kelompok kepulauan Fiji, sampai dengan pulau kecil yang luasnya kurang dari 2,6 km2.

Baca juga: Fiji, Kelompok Pulau Terpenting di Oseania

Pulau-pulau ini juga beragam dalam penampilan. Sebagian memiliki ciri-ciri populer gunung berapi, seperti pulau kecil Kao di dalam kelompok Kepulauan Tonga, yang tampak mirip kerucut gunung api yang hampir sempurna.

Banyak yang lainnya memiliki bentuk yang tajam dan patah-patah, yang biasa terlihat dalam poster turis mengenai beberapa pulau pada kelompok Kepulauan Societies dan Samoa.

Masih ada lagi lainnya, seperti Kepulauan Fiji besar yang telah menjadi sasaran erosi yang berkepanjangan sehingga telah memecahkan batuan vulkanis dan mengisi lembah dengan tanah subur. Juga terdapat kemungkinan bahwa mineral dapat ditemukan, seperti kasus yang terjadi di Kepulauan Fiji, tempat endapan emas dan mangan telah ditemukan.

Permukaan kepulauan rendah, atau atol, seluruhnya terdiri atas pasir karang. Suatu ciri khusus sebuah atol adalah tidak pernah lebih tinggi dari 6-9 m di atas paras laut dan terdiri atas sebuah cincin pulau sempit yang panjang dan sebuah daratan batu karang yang mengurung sebuah laguna.

Atol itu terbentuk sebagai akibat dari terbenamnya pulau vulkanis yang tinggi dan pertumbuhan ke atas dari terumbu karang di sekitarnya secara bersamaan. Terumbu karang tidak terbentuk oleh batuan, tetapi oleh organisme yang hidup dan yang mati. Karang hidup terdiri atas berjuta-juta makhluk kecil yang dikelilingi oleh kapur. Hal inilah yang membuat karang memiliki bentuk padat.

Makhluk yang membentuk terumbu karang itu dikenal sebagai polip. Mereka dapat muncul hanya di air dengan suhu yang lebih dari 20°C. Sebagai akibatnya, karang hanya diketemukan di perairan tropis.

Polip juga harus mendapatkan sesuatu sebagai tempat untuk meletakkan dirinya dan harus mendapatkan cadangan makanan yang baik (mereka hidup dari memakan plankton), oksigen, dan sinar yang cukup.

Ini berarti bahwa mereka hanya dapat hidup di sepanjang tepi pantai dekat dengan permukaan air sampai kedalaman kira-kira 45 m. Bilamana batu karang atau pulau yang di atasnya tumbuh, karang itu terbenam sehingga karang itu akan tumbuh ke atas dengan menjaga jarak agar dekat dengan permukaan tempat oksigen dan sinar yang memberi kehidupan tersedia.

Pada waktu yang sama lapisan karang yang paling bawah mati membentuk suatu pondamen batu kapur yang keras. Akhirnya, suatu atol khas terbentuk karena sisa terakhir dari bagian pulau itu sendiri lenyap di bawah air.

Semua yang tertinggal hanya sebuah laguna dengan batu karang yang berjumbai yang sebagian atau semuanya secara berangsur-angsur tertutup dengan pasir karang yang dinaikkan oleh gelombang.

Taksiran tentang proses pembentukan yang dilakukan oleh organisme karang sangat bervariasi dari atol satu ke atol lainnya. Di Eniwetok, misalnya, kedalaman deposit zat kapur di atas puncak dasar vulkanis mencapai 1.410 m.

Sumber alam Oseania

Atol karang memiliki sedikit sumber alam kecuali kecantikannya yang menakjubkan. Pasir karangnya hanya dapat menghidupi sedikit jenis tanaman selain kelapa.

Mineral tidak ada kecuali kalau orang menganggap guano sebagai mineral. Cuano, yang digunakan sebagai pupuk untuk tanaman, adalah kotoran burung laut yang telah tertimbun di atas tempat tempat hinggap dan sarang selama berabad-abad, dan telah membeku. Guano ditemukan secara luas di pulau-pulau Pasifik, termasuk atol.

Deposit fosfat yang lebih banyak terpusat di Nauru dan Banaba (Pulau Oseania) berbeda dari guano biasa. Diperkirakan bahwa deposit ini terjadi dari kotoran burung purba raksasa yang telah punah. Kotoran itu mungkin telah tercelup dan tertekan dan kemudian terdorong lagi naik ke atas paras laut.

Tidak satu pun survei terhadap sumber alam Oseania dianggap lengkap tanpa menyebutkan sedikit tentang sumber-sumber laut yang secara relatif tidak tersadap. Dalam waktu yang lama Samudra Pasifik terkenal sebagai lapangan perburuan ikan paus yang kaya meskipun kini jumlah ikan itu telah melemah.

Samudra ini juga terkenal sebagai sumber utama ikan bonito dan terutama ikan tuna. Namun, manusia baru mulai menyadari adanya sumber-sumber yang mungkin terdapat di daerah lautan yang luas dan di bawah permukaan bumi.

Mungkin pada suatu waktu laut itu sendiri pun, dan apa yang tersembunyi di dalamnya, akan memberikan kemakmuran pada wilayah yang sekarang masih tampak serba kekurangan ini.

Iklim Oseania

Aspek lingkungan alam penting lain yang mempengaruhi kehidupan penduduk Oseania adalah iklim di tempat mereka tinggal. Karena terletak hampir sepenuhnya di daerah tropis, Oseania memiliki suhu yang secara seragam relatif tinggi dan mendapatkan hujan yang lebih dari cukup sepanjang tahun.

Angin dan gelombang arus di Samudra Pasifik bertautan dan mengikuti pola yang sama. Secara umum angin dan gelombang itu mengalir dalam lingkaran-lingkaran besar dan berputar dari kanan ke kiri (seperti perputaran jarum jam) di Utara dan berlawanan arah di Selatan.

Wilayah yang berada di antara dua sistem angin itu dikenal sebagai daerah angin mati. Ini merupakan daerah yang sangat tidak stabil, yang kondisi anginnya dapat berubah-ubah dari angin yang tak berarti sama sekali sampai ke angin topan yang merusak yang sangat dikenal oleh penduduk Kepulauan Pasifik.

Daerah angin mati bergerak mengikuti matahari, mencapai Garis Balik Utara di bulan Juni dan Garis Balik Selatan di bulan Desember. Sambil bergerak, angin mati mengusik arus angin barat yang tenang, mengakibatkan ketidakpastian dan seringkali bencana yang membawa kebinasaan terhadap orang di daratan ataupun para pelaut.

Suhu yang relatif tinggi yang merupakan ciri khas wilayah itu mempunyai akibat yang penting bagi pertanian. Suhu yang tinggi menyebabkan naiknya suhu tanah. Kemudian, kalau terjadi banyak hujan, sebagian tanah itu seringkali tidak cukup baik untuk ditanami.

Selama tanah itu tertutup oleh hutan tropis yang lebat dan tumbuh-tumbuhan alam lainnya, tanah itu tetap terlindung dari hujan lebat, erosi, dan dari kehilangan mineral berharga yang menopang hidup tanaman.

Akan tetapi, jika tumbuh-tumbuhan itu ditebang dan tanah itu terpampang terhadap hujan dan sinar matahari yang kuat, kandungan tanah yang berharga cenderung hanyut dengan cepat.

Masalah itu tidaklah begitu besar jika lahan itu ditanami pohon panen, seperti kopi dan cokelat, sebab pohon itu membuat perlindungannya sendiri buat tanih. Namun, harus dilakukan pemeliharaan yang tekun dalam membersihkan dan mengolah lahan terutama terhadap tanaman akar.

Selama bertahun-tahun bangsa Eropa memandang rendah cara bercocok tanam yang dilakukan oleh penduduk pulau di Pasifik. Setelah penduduk pulau itu memakai sebidang tanah selama setahun atau lebih lalu mereka pindah ke sebidang tanah lainnya.

Bangsa Eropa berusaha memperkenalkan cara yang teratur mengenai peraturan panenan dan menghapuskan ”ketakefisienan” cara bercocok tanam dengan selalu meninggalkan sebuah bidang lahan yang telah terpakai dan membangun sebidang lahan yang baru.

Sekarang banyak orang percaya bahwa masih terdapat banyak yang harus dipelajari tentang “ketakefisienan” sistem bercocok tanam penduduk pulau itu, yang sebenarnya justru membantu menjaga tanah tropis tetap subur.

Penduduk Oseania

Penduduk Pasifik biasanya terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu suku bangsa Polinesia, Mikronesia, dan Melanesia. Pembagian ini didasarkan pada penelitian bangsa Eropa di wilayah itu.

Mereka percaya bahwa kelompok penduduk pulau tertentu dengan ciri bahasa dan ciri fisik yang sama, yang tinggal di sebuah wilayah geografis tertentu, dapat dibedakan dari kelompok lainnya.

Kenyataannya hanya satu dari kelompok ini-yaitu suku bangsa Polinesia yang dapat memenuhi syarat ini. Akan tetapi, istilah ini benar-benar memiliki arti geografis yang bermanfaat dengan pengertian bahwa ia dipakai dalam artikel ini.

Polinesia (nama ini berarti ”banyak pulau”) terletak dalam segitiga luas yang terbentuk oleh Hawaii, Selandia Baru, dan Pulau Paskah. Penduduk di dalam wilayah ini memiliki suatu bahasa dasar, sistem sosial, dan kepercayaan keagamaan yang sama.

Mikronesia (”pulau-pulau kecil”) membentang ke arah barat dari perbatasan Polinesia, di utara garis khatulistiwa dan meliputi pulau-pulau sebelah utara Pulau Irian sampai perbatasan Oseania.

Penduduk di wilayah ini masing-masing memiliki ciri khas yang agak berbeda satu sama lain. Beberapa di antaranya berbicara dalam bahasa Polinesia, sedangkan sebagian besar menggunakan bahasa bukan Polinesia yang tidak saling berhubungan.

Melanesia (”pulau-pulau hitam”) meliputi pulau-pulau di sebelah selatan khatulistiwa, sebelah barat Polinesia, dan Pulau Irian. Lepas dari kenyataan bahwa sebagian besar orang di wilayah ini memiliki kulit lebih gelap daripada orang yang berada di kedua wilayah lainnya, mereka memang hanya memiliki sedikit kesamaan antara satu dan lainnya.

Dayung Melanesia
Dayung Perahu Melanesia

Para ahli bahasa telah dapat mengenal suatu kelompok bahasa Melanesia, tetapi kelompok ini hanya merupakan bagian kecil dari beratus-ratus bahasa yang diucapkan di wilayah suku bangsa Melanesia. Di wilayah itu terdapat banyak ciri fisik , sistem sosial, dan kepercayaan agama.

Dari Mana Asal Penduduk Oseania?

Tabiat penduduk Pasifik yang bercampur-baur mencerminkan tempat asal yang berbeda. Tentu saja, terdapat banyak asal teori tentang asal-usul bangsa ini. Salah satu yang paling terkenal adalah yang diutarakan oleh cendekiawan Norwegia-Thor Heyerdahl.

Ia mencoba membuktikan bahwa migrasi berasal dari timur dengan melakukan perjalanan lautnya di dalam Kon-Tiki yang sekarang terkenal. Bagaimanapun, sebagian besar ilmuwan yakin bahwa migrasi tersebut berasal dari arah lain, yaitu dari Asia Tenggara.

Sebuah teori yang diterima secara luas ialah bahwa orang pertama yang datang ke wilayah itu berasal dari semenanjung Asia Tenggara pada suatu waktu ketika Irian dan Australia masih berhubungan.

Pada mulanya penduduk ini merupakan bangsa pengembara yang hidup dari apa yang mereka dapatkan dari buruan atau tangkapan. Mereka berpindah ke luar dari Asia Tenggara, menyeberangi laut-laut sempit menuju ke Irian, dan selanjutnya menuju ke daratan Australia.

Setelah melelehnya kutub es, dan melewati waktu yang lama, bangsa yang hanya mengenal sedikit cara bercocok tanam dan keahlian lain dan merasa perlu menetap secara permanen bergerak pindah ke Pulau Irian dan seterusnya menuju ke pulau-pulau Melanesia lainnya.

Beberapa tahun berikutnya bangsa lain dengan kebudayaan yang lebih maju datang dari Asia Tenggara melewati wilayah yang sekarang disebut Indonesia menuju Mikronesia.

Dalam peristiwa ini, termasuk kelompok-kelompok dari Asia dan Filipina. Akhirnya, keturunan orang Asia Tenggara yang ulung ini berpindah keluar dari Mikronesia menuju ke wilayah Polinesia.

Menurut salah satu teori ini-meskipun sangat sukar untuk memilih di antara banyak teori yang telah dikembangkan-orang yang kita kenal sebagai bangsa Polinesia ini mula-mula berkumpul dulu di wilayah Tonga-Samoa pada kira-kira tahun 300 Masehi.

Dari wilayah ini mereka bergerak ke pulau-pulau sekitarnya. Selanjutnya mungkin sekitar tahun 1000 Masehi, satu lagi pusat pengembangan berdiri arah lebih ke timur lagi di wilayah Tahiti. Dari sana bangsa itu berpindah ke Hawaii di utara, Pulau Paskah di timur, dan Selandia Baru di selatan.

Tidak seorang pun yakin kapan perjalanan laut untuk mencapai pusat penyebaran seperti Tonga-Samoa dan Tahiti itu direncanakan. Selama bertahun-tahun gagasan bahwa mereka mengadakan perjalanan laut dengan sengaja hampir tidak pernah ditentang.

Namun, akhir-akhir ini beberapa ilmuwan telah menguraikan pendapat yang menyatakan bahwa jarak yang dicapai oleh perjalanan laut itu tidak direncanakan.

Lebih dari itu, dengan mengandalkan keahlian penduduk pulau sebagai navigator, kemampuan mereka menggunakan bintang, dan pengetahuan mereka tentang arus dan angin pun masih terasa sulit untuk memahami bagaimana mereka dapat berlayar dengan begitu cermat sepanjang beribu-ribu mil tanpa memakai alat untuk mengukur bujur.

Suatu badai, misalkan dapat saja secara bulat-bulat melemparkan mereka menuju kematian yang mungkin telah mereka perhitungkan.

Dapat disimpulkan bahwa bangsa yang bermukim di wilayah Melanesia termasuk di antara mereka yang datang paling awal ke wilayah itu. Mereka yang datang ke wilayah Mikronesia dan Polinesia memasuki wilayah itu jauh lebih akhir dan jelas melewati jalan lain yang dapat ditempuh dengan mes layari wilayah Melanesia.

Bangsa Melanesia tidak mendapat keuntungan dari hubungan mereka dengan kebudayaan para pendatang baru yang jauh lebih maju. Para pendatang baru telah mendapatkan keuntungan mereka sendiri dari perkembangan yang telah muncul di dalam abad-abad yang dilaluinya di Asia Tenggara.

Hal ini membantu untuk menerangkan perbedaan yang dibuat oleh para penyelidik terdahulu antara bangsa Polinesia yang relatif lebih maju dan bangsa yang kurang maju-misalnya, penduduk Pulau Hibrida Baru, Solomon, dan Irian.

Perbedaan dan Persamaan Penduduk

Perbedaan dalam kebudayaan kebendaan juga tercermin dalam masalah politik. Mungkin sekali benar kalau kita katakan bahwa di mana pun di Pasifik kekeluargaan itu merupakan dasar dan satuan sosial yang terpenting dan kemudian menjadi satuan politis dasar.

Di Polinesia terdapat banyak persatuan di antara kelompok keluarga. Persatuan ini meluas sampai ke seluruh pulau dan, dalam beberapa hal, meliputi beberapa kelompok kepulauan. Persatuan politis ini dibuat mungkin dengan adanya suatu sistem bahasa dan sosial yang sama.

Sebaliknya, jelas bahwa di Melanesia terdapat ratusan kelompok yang memakai bahasa yang pengucapannya berbeda benar. Di Irian sekarang dituturkan sebanyak 600-700 bahasa yang berbeda.

Seringkali beberapa ratus orang saja memiliki suatu kelompok bahasa. Kontak dengan kelompok suku lain di Melanesia terutama mengambil bentuk peperangan atau aktivitas perdagangan yang terbatas.

Dapat ditambahkan bahwa perjuangan untuk kelangsungan hidup tetap berkecamuk di wilayah dengan sumber pertanian alam yang terbatas ini. Sebagai akibatnya, orang tinggal dalam keadaan tidak aman dan selalu merasa curiga terhadap tetangganya.

Penggunaan Lahan

Bagi orang Eropa Barat atau orang Amerika, tampak benar kesamaan di antara mereka. Sebagai contoh adalah sikap mereka terhadap pekerjaan dan lahan. Semua orang ini hidup sepenuhnya dari apa yang dapat mereka hasilkan atau mereka ambil dari lahan yang mereka tempati.

Mereka berburu burung, babi hutan, dan binatang lainnya. Mereka mengumpulkan buah-buahan, bahan bangunan, dan kayu bakar. Mereka bercocok tanam. Tanah berarti kehidupan. Oleh sebab itu, tanah merupakan kepentingan perdana dalam sistem sosial mereka; demikian juga dalam praktik keagamaan mereka.

Di antara orang Oseania, pengawasan terhadap penggunaan tanah tidak pernah menjadi hak eksklusif seseorang. Gagasan tentang pemilikan tanah individual eksklusif tidak dikenal di Oseania.

Hak individual terhadap pemilikan tanah selalu dihubungkan dengan anggota lain dalam kelompok tempat ia menjadi salah satu anggotanya. Para individu berbagi hak dalam penggunaan tanah dengan anggota lainnya dalam kelompok itu untuk tujuan-tujuan tertentu.

Hal ini terus berlangsung selama kebutuhan baru tidak muncul sehingga memerlukan pengaturan kembali. Oleh karena itu, setiap jengkal tanah, yang ”menjadi milik” orang-orang yang kita sebut suatu kelompok politis, dapat menjadi subjek terhadap semua jenis hak pakai.

Misalnya, hak beberapa individu untuk berburu, hak yang lainnya untuk mengumpulkan kayu-bakar, dan masih ada hak bagi yang lainnya lagi untuk bercocok tanam. Tanah lainnya mungkin dibebaskan dari segala pemakaian, karena alasan keagamaan.

Mudah dibayangkan betapa sulitnya bagi bangsa Asia dan bangsa Eropa ketika mencoba memperoleh tanah di Oseania.

Bahkan, ketika calon pembeli mengemukakan niatnya, penduduk pulau tidak pernah memahami bahwa dengan menerima uang berarti mereka telah melepaskan untuk selamanya hak mereka atas tanah itu kepada si pembeli. Masalah jual beli seperti yang kita kenal sangat asing bagi mereka.

Lebih dari itu, seorang Eropa yang telah membeli tanah dari beberapa orang tertentu seringkali mendapatkan dirinya berhadapan dengan banyak ”pemilik tanah” lain yang merasa tidak puas dan terus melanggar tanah kepunyaannya atau juga meminta pembayaran.

Pengertian Penduduk Pulau tentang Kerja

Contoh lainnya tentang sikap yang benar-benar umum bagi seluruh penduduk pulau adalah sikap terhadap pekerjaan. Pekerjaan tidak dianggap sebagai hal yang berdiri sendiri. Orang bekerja untuk tujuan yang diinginkan oleh masyarakat.

Rumah harus dibangun dan dirawat; kebun-kebun harus dibuat dan diurus; makanan harus dipersiapkan; masyarakat harus dipertahankan; peralatan dan senjata harus dibuat dalam segala bentuk. Kegiatan ini dijalankan hanya bilamana mereka memerlukannya.

Pada pokoknya jenis pekerjaan ini merupakan kejadian musiman. Seringkali pekerjaan dihubungkan dengan upacara keagamaan dan sosial. Sebagian kecil dari kegiatan ini dilaksanakan oleh perorangan. Seringkali seluruh kelompok akan terlibat atau sekelompok keluarga akan menolong kelompok keluarga lain.

Pertentangan antara cara kerja kaum pribumi dan cara kerja orang Eropa Barat sangat tajam. Namun, hal itu sering diabaikan oleh pendatang baru. Cara kerja dengan pengaturan jam setiap hari, hari demi hari, dan hanya untuk tujuan mendapatkan upah adalah sangat aneh bagi penduduk pulau.

Bagi pribumi uang hanya penting sebagai alat untuk mendapatkan barang-barang yang ditawarkan oleh orang Eropa-seperti kapak baja, pisau, dan barang perhiasan.

Suatu ketika segala keinginan seperti ini dipertemukan, kemauan kaum pribumi dalam bekerja bergantung pada betapa pentingnya uang bagi hidup mereka. Sebaliknya, hal ini bergantung pula pada apa yang dapat ditawarkan oleh orang Eropa dan berlanjut sampai kebutuhan hidup kaum pribumi dan keluarganya menjadi bergantung pada sedikit banyaknya uang.

Biasanya, sedikitnya barang yang tersedia bagi mereka dan sedikitnya uang yang mereka terima membuat mereka tidak cukup bergairah untuk bekerja secara teratur dan mendapatkan upah. Hal inilah yang sebenarnya menyebabkan orang Eropa sering mengatakan bahwa penduduk pulau itu lamban, malas, tidak dapat dipercaya, dan bodoh.

Penemuan Oseania oleh Bangsa Barat

Para penjelajah

Kontak pertama antara bangsa Eropa dengan para penduduk pulau dimulai dengan kedatangan para penjelajah Eropa. Ini semua adalah karena para penjelajah telah menyebarkan suatu gambaran yang dilebih-lebihkan mengenai kehidupan nyaman yang dinikmati oleh penduduk kepulauan yang indah dan menarik itu.

Kepulauan itu benar-benar sejajar keindahannya dengan pulau yang terindah di dunia. Keindahannya bukan merupakan suatu fantasi. Tak seorang pun yang pernah melihat pulau seperti Bora-Bora, Moorea, dan Tutuila akan menyangkal keindahannya.

Bagi para pengunjung dari dunia Barat pada abad ke18 dan ke-19 terdapat suatu pertentangan yang nyata antara keindahan pulau-pulau itu dengan perubahan yang ditimbulkan di tanah air mereka dengan adanya Revolusi industri.

Orang-orang Eropa dan Amerika ini telah melihat kota-kota mereka yang sepi dengan cepat tumbuh menjadi kota-kota besar yang penuh sesak dan buruk. Bagian pedesaan di negeri mereka penuh dengan pabrik-pabrik yang jelek, yang kemudian bahkan mulai mencemari pemandangan alam.

Kehidupan bagi kebanyakan orang di negeri Barat mulai terikat dengan pekerjaan pabrik dan mesin yang membosankan dan monoton. Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau Oseania lalu tampak seperti sorga.

Apa yang dilebih-lebihkan oleh para penjelajah dalam ceritanya, yang kadang-kadang lebih banyak implikasinya daripada kata-katanya, adalah gambaran kehidupan di atas pulau itu. Ketakberhasilan laporan mereka terletak pada adanya gambaran menyeluruh tentang sesuatu yang keliru dan menjurus kepada khayalan yang keterlaluan.

Buah-buahan melimpah-ruah, tetapi daging tidak. Hasil pokok pulau, seperti taro dan pohon sukun, tidak pernah berhasil menggantikan makanan orang Eropa. Hanya terdapat sedikit cerita tentang hujan lebat dan topan.

Ketakcukupan perumahan dan kebutuhan terus-menerus untuk memperbaiki tempat tinggal juga tidak disebutkan. Wabah malaria, penyakit demam lainnya, dan parasit usus jarang disebutkan.

Sama sekali tidak dijelaskan bahwa sambutan dengan hati terbuka yang diterima oleh orang kulit putih dan semua kesenangan yang dirasakan hanyalah pamrih terhadap kapak, pisau, dan peralatan lain yang mereka hadiahkan. Bahkan jika suatu saat persediaan mereka habis, mereka mungkin tidak akan begitu disambut atau digubris.

Tidak sedikit pun diketahui tentang sistem sosial dan moral penduduk pulau itu, apalagi motivasi mereka. Kekurangan akan pengetahuan ini, dan juga dalam banyak kasus yang melengkapi kekurangan informasi ini, akan menjurus kepada kejadian yang tidak menyenangkan.

Hal ini menyebabkan bangsa Eropa menyebut pribumi sebagai orang yang tidak berterima kasih dan berkhianat. Namun, hal ini merupakan kenyataan pahit yang akan tampak segera setelah orang tinggal di Oseania selama beberapa minggu saja.

Dalam banyak hal kenyataan ini sudah cukup untuk meledakkan khayalan dan membuat orang Eropa yang kurang kuat motivasinya untuk kembali ke tempat asalnya dengan kecewa.

Di antara mereka yang masih tetap tinggal, banyak yang menjadi ”petualang”-sebuah kata yang diciptakan untuk menggambarkan kehidupan seenaknya, tanpa kerja, yang dijalani oleh pelaut yang meninggalkan kapal mereka dan menetap di pulau-pulau Pasifik Selatan.

Para Misionaris

Sebagian besar penyusup yang memasuki wilayah Pasifik untuk bermukim di sana adalah orang-orang yang tahan uji, Yang per. tama menurut waktu, dan mungkin menurut kepentingan dan pengaruhnya, adalah para misionaris Kristen.

Sebagian besar dari mereka mewakili gereja Puritan dan Protestan fundamentalis dari Eropa Barat dan Amerika Utara. Para pendeta pria dan wanita ini merupakan hasil dari hidupnya kembali rasa keagamaan pada akhir abad ke-18 dan ke-19 di Eropa.

Mereka pada umumnya dibekali dengan keberanian dan keteguhan jiwa. Di atas semua itu, mereka terdorong oleh semangat yang menyala-nyala untuk mengubah tabiat “memuja berhala”.

Bagi pendeta misi, kebiasaan hidup santai dan seenaknya para pribumi, dengan reputasi kebebasan s*ksnya, menggambarkan perwujudan kekafiran. Ini merupakan suatu tantangan bagi semangat para pendeta misi. Mereka keluar untuk menyelamatkan jiwa bagi Kristus dengan menyadarkan para pribumi untuk memeluk agama Kristen.

Sebagai tambahan, mereka mencoba memaksakan suatu tata tertib sosial dan moral yang sama sekali baru kepada para penduduk pulau. Para misionaris ingin membangun masyarakat yang dicita-citakannya sendiri di wilayah Pasifik.

Ini tentunya merupakan suatu tiruan dari masyarakat yang telah mereka cita-citakan di Eropa. Padanya diletakkan suatu hadiah kebajikan atas keadilan, kepatuhan, penghematan, dan kerja keras.

Padanya diletakkan sedikit penekanan pada pengertian seperti halnya kenikmatan dan kesenangan. Banyak di antara para misionaris adalah orang-orang yang sempit pandangannya dan mabuk agama.

Banyak di antara mereka yang memiliki kemampuan terbatas untuk menghargai seni dan musik dan memiliki sikap menghina terhadap segala sesuatu yang bukan Eropa. Mereka sering mempersalahkan apa saja yang bukan Eropa, dan semuanya mereka sebut pribumi.

Selama bertahun-tahun para misionaris itu hanya mengalami sedikit kemajuan atau bahkan tidak sama sekali. Mereka sangat menderita, tidak hanya dari kekurangan yang tak terelakkan, melainkan juga dari ambisi mereka atas orang yang diharapkan bertobat.

Namun, ketika para pedagang, pengusaha perkebunan, dan pemukim muncul di wilayah itu, para pemimpin di pulau itu merasa mendapat tekanan. Karena membutuhkan sekutu, penduduk pulau berbalik kepada para misionaris sebagai satu-satunya pihak yang mau mendukung kepentingan mereka.

Sebagai imbalan dari dukungan para misionaris, pemimpin pulau menyatakan tobat dengan memeluk agama Kristen. Pertobatan umum terjadi kemudian, terutama di wilayah Polinesia, tempat kepala suku memiliki pengaruh yang besar.

Dengan cara demikian, agama Kristen setidaknya secara formalnya didirikan di seluruh wilayah Polinesia pada tahun 1850-an. Pertobatan untuk menjadi pemeluk agama Kristen yang sebenarnya memakan waktu yang jauh lebih lama.

Tugas pengkristenan jauh lebih sulit di Melanesia, tempat kedudukan kepala suku kurang kuat dan pekerjaan pertobatan harus berjalan hampir orang per orang. Kenyataannya, hal ini masih berjalan sampai sekarang.

Misi agama Kristen itu telah berbuat banyak untuk para pribumi untuk membawa mereka masuk ke agama Kristen. Selama bertahun-tahun para misionaris inilah yang memberikan jasa lebih besar dalam pelayanan dan pendidikan karena ketidakpedulian pemerintah kolonial, yang kecuali merasa tidak berkepentingan juga tidak punya uang.

Dari sudut yang negatif, para misionaris boleh dikatakan telah menghancurkan segala yang dimiliki oleh pribumi seperti kepercayaan agama, upacara, musik, kesenian, dan tarian.

Dengan cara ini, para misionaris telah melemahkan basis sistem sosial penduduk pribumi dan membantu menghapuskan semua cara hidup mereka. Di Hawaii dan beberapa tempat lainnya, yang penduduknya telah dapat berintegrasi ke dalam pola hidup Barat, akibat negatif dari perubahan itu belum begitu terasa gawat.

Akan tetapi, bagi tempat yang integrasi semacam itu belum terjadi, yang justru merupakan kasus bagi hampir seluruh bagian kepulauan Oseania, permasalahan gawat masih terus berlangsung.

Para Pemukim

Selanjutnya, pengaruh yang juga menentukan di Pasifik adalah para pemukim. Para pendahulu mereka adalah pedagang dan awak kapal penangkap ikan paus yang datang ke Oseania untuk hasil-hasil seperti kayu gaharu dan minyak.

Para pedagang itu memelihara hubungan baik dengan pribumi dan, dengan cara ini, memperkenalkan kepada mereka banyak pengaruh Barat. Namun, hubungan ini tidak berlangsung lama dan hanya memiliki akibat yang terbatas pada kehidupan para penduduk pribumi.

Para pemukim mula-mula datang ke Oseania untuk bercocok tanam kelapa. Mereka mengekspor ke Eropa, daging buah kelapa dalam bentuk kopra (daging kelapa yang dikeringkan). Di Eropa minyak kopra diekstraksi untuk digunakan dalam berbagai cara.

Pada mulanya para pedagang mengatur pengumpulan buah kelapa di pelabuhan pengumpulan di pulau-pulau itu. Kemudian mereka mulai mengajari para pribumi cara mengeringkan daging buah.

Akhirnya, karena permintaan semakin bertambah banyak dan semakin jelas kekurangefisienan pengumpulan ini, maka orang Eropa memutuskan untuk menanam sendiri pohon kelapa di pulau-pulau itu.

Keputusan ini berarti bahwa orang Eropa harus tinggal bersama penduduk pribumi. Tidak seperti para pedagang yang selalu dapat menghentikan kegiatannya dan lari jika timbul kesulitan, para pemukim harus berusaha memecahkan persoalan mereka.

Ini berarti mendapatkan tanah dari penduduk pribumi dengan syarat bahwa akan dibayar kembali sesuai dengan modal yang diperlukan dalam pengolahan dan penanaman. Ini berarti menemukan dan memelihara cadangan tenaga yang sesuai.

Ini juga seringkali berarti mendirikan sekolah dan fasilitas kesehatan. Hal ini menyebabkan perkembangan suatu masyarakat Eropa yang lebih beragam. Akhirnya, hal ini berarti bahwa hukum dan aturan harus dijaga demi kelancaran kegiatan ekonomi.

Segala jenis masalah terjadi di setiap tempat permukiman didirikan. Kesulitan muncul antara penduduk pribumi dengan pemukim karena kesalahpahaman atas urusan tanah. Hal ini sering menjurus ke arah pertumpahan darah dan meninggalkan perasaan tidak enak pada kedua pihak.

Seringkali para pemimpin pulau itu tidak dapat menyesuaikan diri dengan permintaan para pemukim akan hukum dan peraturan. Hal ini menyebabkan para pemukim memakai hukum itu di lingkungan sendiri. Hal ini, sebaliknya, melibatkan para pemukim dalam kesulitan dengan pemerintahannya sendiri.

Kemudian, para pemukim mulai mengorganisasi pemerintahan boneka di kepulauan itu, tempat mereka mengendalikan pemerintahan sendiri. Mereka melakukan ini dengan mendukung seorang di antara kepala suku yang terkemuka dan mendudukkannya sebagai seorang raja.

Praktik semacam inilah yang memunculkan sebagian besar pribumi yang dirajakan di wilayah Pasifik-misalnya di Hawaii, Fiji, dan Tahiti. Penduduk pribumi hanya sedikit saja yang berpartisipasi dalam pemerintahan yang dijalankan oleh bangsa Eropa ini.

Pemerintahan ini lama-kelamaan melemah dengan adanya ketidaksepakatan di antara bangsa Eropa. Misionaris, pengusaha perkebunan, dan para pedagang yang bermarkas di kota atau di pelabuhan semuanya terlibat dalam percekcokan ini.

Menjelang perempat terakhir abad ke-19, keadaan yang kalang kabut dan memalukan telah berkembang di sejumlah pusat pulau. Di Fiji, permohonan raja Fiji kepada ratu Victoria dari Inggris untuk membantunya dalam mengontrol kegiatan warga negara Inggris di negeri ini tidak diperhatikan sampai tahun 1874.

Pada tahun itu Pemerintah Inggris mulai memikul tanggung jawab untuk kepulauan Fiji. Kekacauan yang sama berkembang di Samoa dipersulit oleh adanya persaingan antara Amerika, Inggris, dan Jerman serta persekutuan dengan dua orang kepala suku pribumi yang bermusuhan-sehingga menyebabkan pendudukan dan pembagian kelompok kepulauan Samoa pada tahun 1899.

Perkembangan Pengaruh Negara Besar

Hal ini membawa kita kepada pengaruh penting ketiga dalam perkembangan historis wilayah Oseania intervensi negara besar Eropa dan Amerika Serikat.

Hampir sepanjang abad ke-19, negara-negara besar dunia enggan untuk melibatkan diri di Oseania. Ini dikarenakan kenyataan bahwa wilayah itu sedikit pun tidak memiliki kepentingan ekonomi ataupun politik.

Meskipun kegiatan penduduk pribumi di Pasifik sering menyebabkan kesulitan, hal ini hanya merupakan gangguan kecil yang biasanya dapat diselesaikan dengan kebijakan oleh para kapten laut dengan segera.

Namun, selama tiga perempat pertama abad ke-19 baru sedikit dari pulau-pulau itu ditemukan. Inggris mendapatkan Selandia Baru pada tahun 1840, sedangkan Prancis mendapatkan Kepulauan Society pada tahun 1842 dan Kaledonia Baru pada tahun 1853.

Antara tahun 1874 dan 1901 hampir setiap kelompok pulau di Pasifik diperoleh dengan berbagai cara baik sebagai protektorat maupun sebagai koloni. Dengan cara itu, Jerman mendapatkan setengah Samoa, Karolina, dan Marshall serta sepertiga pulau Irian.

Prancis mengukuhkan pemerintahannya di pulau-pulau Polinesia yang tersisa dekat kepulauan Society dan berbagi kekuasaan dengan Inggris di Kepulauan Hibrida Baru. Amerika Serikat mendapatkan Hawaii, setengah Samoa, Guam, dan Filipina.

Sementara itu Inggris mendapatkan Fiji, satu dari ketiga bagian pulau Irian, Kepulauan Solomon, dan berbagi kekuasaan dengan Prancis di Kepulauan Hibrida Baru. Banyak perubahan lain yang terjadi menandai timbulnya negara-negara baru di Pasifik dan kebinasaan bagi negara lain di Eropa.

Oleh sebab itu, di awal abad ke-20 Ingggris melimpahkan tanggung jawab atas beberapa protektorat dan koloninya di Pasifik kepada Australia dan Selandia Baru, yang dahulu juga merupakan koloninya.

Ketika Jerman dikalahkan dalam Perang Dunia I, ia ditekan untuk menyerahkan koloni Pasifiknya untuk dikelola di bawah sistem mandat Liga Bangsa-Bangsa oleh Australia, Selandia Baru, dan sebuah negara besar Pasifik lainnya, yaitu Jepang.

Sebagai akibat dari perubahan-perubahan ini, Australia mendapat tanggung jawab mengurus Papua (bagian tenggara pulau Irian) dan wilayah permandatan Nugini (bagian timurlaut pulau Irian).

Rumah masyarakat Papua Nugini
Rumah masyarakat Papua Nugini

Kedua wilayah ini nantinya akan dipersatukan menjadi negara Papua Nugini. Australia juga mengurus wilayah permandatan Nauru. Selandia Baru bertanggung jawab atas pulau Niue, Kepulauan Tokelau, Kepulauan Cook, dan wilayah permandatan Saf

moa Barat, Jepang diberi izin mengelola wilayah kepulauan permandatan di Pasifik (yang meliputi Kepulauan Mariana, Marshall, dan Karolina).

Setelah Perang Dunia II dan kekalahan Jepang, wilayah permandatan Jepang dimasukkan ke dalam Sistem Perwalian Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk dikelola oleh Amerika Serikat.

Bekas wilayah permandatan yang lain juga ditempatkan ke dalam Sistem Perwalian Internasional dan selanjutnya dikelola oleh negara-negara besar yang sebelumnya mengurus wilayah-wilayah itu.

Abad ke-20

Setelah wilayah-wilayah ini dikuasai, tekanan besar diletakkan pada penerapan hukum dan ketertiban, penghentian pertentangan antar kelompok, dan pendidikan bagi penduduk untuk dapat menyelesaikan perbedaan mereka menurut undang-undang resmi yang diperkenalkan oleh para administrator baru.

Ini kelihatannya seperti bagian dari ”misi pembudayaan” oleh bangsa Eropa di kepulauan itu. Kepatuhan terhadap cita-cita Eropa atas tertib hukum kelihatannya perlu jika orang Eropa memang harus tinggal di sana, bercocok tanam di sana, atau hanya sekedar berdagang di sana.

Di pulau-pulau kecil hal ini tidak menjadi masalah yang besar, tetapi di pulau-pulau yang lebih besar di beberapa kelompok pulau proses itu lebih sukar dan memerlukan waktu yang jauh lebih lama.

Di kepulauan Melanesia khususnya, tugas untuk memberlakukan dan menguatkan hukum menjadi semakin sulit karena beberapa faktor daerah yang berbatu-batu dan tak teratur; kenyataan bahwa penduduk tinggal dalam masyarakat kecil yang tersebar di seluruh wilayah yang luas, dengan sedikit kemungkinan untuk saling berhubungan; dan kenyataan bahwa mereka bertutur dalam banyak bahasa yang berbeda.

Di kepulauan Melanesia, perjalanan kaki yang berat selama berbulan-bulan perlu dilakukan agar terjadi hubungan pertama yang kemudian harus dilanjutkan selama beberapa tahun dengan kontak-kontak lanjutan sebelum dapat dinyatakan bahwa adminstrator telah menetapkan tingkat kepatuhan setiap wilayah terhadap sistem tertib hukum yang baru.

Di beberapa tempat-seperti Irian, Kepulauan Solomon, dan Kepulauan Hibrida Baru-proses ini memerlukan waktu bertahun-tahun.

Proses ini perlu dilakukan sebagai langkah pertama jika penduduk Oseania merasa perlu menempatkan negara mereka ke dalam deretan negara dunia yang modern. Namun, hal ini berakibat merongrong sistem kekuasaan dan kepemimpinan yang lama. Ini juga merongrong sistem hukum dan keadilan yang berlaku.

Salah satu dari kritik utama yang mengarah kepada penguasa kolonial di abad ke-20 adalah bahwa mereka gagal untuk menggantikan sistem lama dengan yang baru, yaitu sistem yang menurut mereka mudah dikenal. Tampaknya, jika sistem baru dalam waktu yang lama tetap merupakan sesuatu yang asing, sistem itu dianggap sistem yang dipaksakan dari luar.

Pemberlakuan tertib hukum oleh penguasa baru benar-benar memiliki segi yang positif. Dari satu segi, hal ini meniadakan peperangan. Peniadaan peperangan dan rasa takut akan mati di tangan musuh yang terus-menerus mempunyai akibat yang semula sulit untuk dibayangkan.

Dengan berakhirnya pertikaian, desa-desa dapat dibangun pada tempat-tempat yang lebih serasi-di lembah yang dekat dengan sumber air yang baik dan bukan di suatu bukit yang tidak nyaman yang hanya cocok untuk tujuan militer saja.

Penguasa baru juga membawa pelayanan kesehatan dan pendidikan. Mereka dibantu oleh misionaris, yang dalam segala hal lebih banyak memberikan bantuan pelayanan ini daripada pemerintah.

Sesungguhnya, salah satu dari kritik terhadap penguasa pulau telah terjadi karena mereka terlalu sedikit memberikan pendidikan dan perbaikan kesehatan bagi orang-orang yang mereka tuntut untuk menjadi beradab.

Penetapan tertib hukum oleh penguasa baru juga menyebabkan perubahan di dalam kehidupan ekonomi. Di banyak pulau dahulu pernah terdapat perekonomian tunggal yang menyediakan makanan dan tempat tinggal bagi masyarakat.

Sekarang terdapat dua sistem perekonomian. Yang lama masih muncul dalam berbagai tingkat, sedangkan perekonomian yang baru dijalankan oleh pemukim Eropa dan, dalam jumlah yang lebih kecil, oleh pemukim Asia.

Penduduk pulau hampir-hampir tidak mengambil bagian dalam perekonomian yang dijalankan oleh pemukim Eropa. Ini merupakan perekonomian yang didasarkan pada pemilikan dan pelaksanaan perkebunan atau pertambangan oleh pemukim Eropa. Pemukim Asia ikut serta sebagai pedagang. Orang pribumi ikut serta hanya sebagai pemberi tanah dan kadang-kadang sebagai buruh.

Ekonomi yang Meluas

Pemukim Eropa, kecuali menanam dan menghasilkan kopra, mulai mencoba dengan produk-produk tropis lainnya-seperti karet, gula, kopi, cokelat, dan teh. Produksi berskala besar untuk ekspor berupa buah-buahan tropis seperti pisang dan nanas juga dimulai.

Akan tetapi, para pengusaha perkebunan menemui banyak kesulitan. Terdapat masalah mengenai keadaan tanah, iklim, dan tanah. Bahkan, kalaupun mereka dapat mengatasi hal ini, masih terdapat masalah yang timbul dari jauhnya jarak yang harus ditempuh buat pengapalan hasil itu ke pasaran dunia.

Masalah lainnya adalah naik-turunnya harga yang disepakati oleh pembeli untuk membayar komoditi seperti ini. Sampai Perang Dunia II produksi di sebagian besar pulau terbatas pada gula dan kopra. Perkecualian utama adalah Hawaii, yang produk tanaman tropisnya dapat dengan mudah dikapalkan untuk mencapai pasar di Amerika Serikat.

Kepentingan ekonomi utama lainnya bagi pemukim Eropa adalah dalam hal mineral. Emas ditemukan di Irian dan merupakan bantuan paling penting bagi ekonomi sebelum Perang Dunia II. Emas juga penting di Fiji. Di Kaleadonia Baru endapan nikel dan krom yang besar telah ditambang dengan berhasil sejak tahun-tahun awal abad ini.

Baik aktivitas ekonomi di pulau-pulau itu maupun aktivitas usaha dan perdagangan semakin membutuhkan ketrampilan atau pengalaman yang, sayangnya tidak dimiliki oleh para penduduk pulau itu.

Pemukim Eropa mengatasi masalah ini mula-mula dengan mengimpor tenaga dari Asia-yaitu orang Cina, India, Filipina, dan Indocina. Ketika praktik ini menjadi terlalu mahal, atau ketika pemerintah melarang hal ini, pemukim Eropa dipaksa untuk kembali memakai tenaga penduduk lokal dan mengembangkan pekerjaan yang bahkan orang yang tidak terlatih dan tidak trampil pun dapat siap melaksanakannya.

Pada waktu yang sama para pemukim Eropa membujuk pemerintah untuk memberlakukan peraturan yang memaksa penduduk lokal mencari pekerjaan tetap. Untuk mengimbangi peraturan itu, pekerjaan yang harus dikerjakan di perkebunan dibagi menjadi suatu jajaran tugas minor dan sederhana yang memerlukan sejumlah tenaga kerja yang relatif besar untuk melaksanakannya.

Untuk memaksa penduduk bekerja mencari uang, pemerintah mengenakan pajak per kepala atas setiap lelaki yang mampu, yang harus dibayar dengan uang tunai.

Walaupun metode ini memungkinkan pemakaian tenaga kerja lokal tetapi tenaga kerja dalam jumlah besar tidak selalu mudah tersedia di tempat yang memerlukannya. Hal ini menyebabkan perlunya pemindahan tenaga kerja ke perkebunan dari bagian lain pulau itu atau dari kepulauan yang lain.

Dengan cara ini, sistem kontrak atau surat perjanjian kerja untuk menjadi buruh perkebunan pun tumbuh.

Sistem ini telah menjadi bahan kritikan selama bertahun-tahun dari berbagai pihak. Para ahli ekonomi dan ahli perburuhan menunjuk pada ketakefisienan pemakaian tenaga kerja seperti itu.

Mereka mengutuk sistem itu karena membuat para pekerja nyaris tidak mungkin untuk meningkatkan kemampuannya dan menjadi lebih produktif. Mereka juga menyerang upah rendah yang dibayarkan.

Bahkan kritik yang lebih kuat ditujukan kepada sistem yang tidak berperikemanusiaan yang diberlakukan bagi buruh yang terikat dalam kontrak. Kritik menunjuk pada akibat buruk dari pemisahan tenaga pria dari keluarga dan masyarakatnya selama bertahun-tahun dalam sekali kontrak dan terhadap kemiskinan yang disebabkan oleh praktik itu.

Sistem surat perjanjian itu telah menjadi penghalang utama bagi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik penduduk pulau tersebut.

Sejak Perang Dunia II langkah perubahan di Oseania telah meningkat. Penduduk kepulauan telah menjadi berkembang kesadarannya terhadap persoalan yang mereka hadapi dan telah menekankan adanya perubahan.

Negara-negara yang mengelola wilayah lain tentunya telah mengadakan modal buat keperluan wilayah yang mereka urus. Mereka telah menyerahkan lebih banyak pertanggungjawaban pemerintahan pada pundak para penduduk asli sendiri.

Tekanan dari pendapat umum dunia telah menjadi faktor yang tidak dapat diingkari oleh negara-negara yang terlibat. Kejadian-kejadian yang mengambil tempat di Oseania direkam di beberapa surat kabar dunia.

Situasi-situasi di wilayah Oseania secara teratur diperiksa di Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang memberikan nasehat buat mengadakan kebijakan dan langkah tindakan baru.

Sebagai akibatnya, ekonomi di kebanyakan pulau dan kelompok pulau telah menjadi semakin berkembang. Penghasilan per kapita telah naik. Tanaman baru telah diperkenalkan. Industri baru telah dibangun. Sumber kayu telah disadap.

Pada waktu yang sama pelayanan kesehatan, medis, dan pendidikan telah diperluas. Banyak rumah sakit, sekolah, dan universitas telah dibangun dan diperlengkapi dengan pegawai.

Pada segi politik juga telah terdapat kemajuan. Kepulauan Hawaii menjadi sebuah negara bagian Amerika Serikat pada tahun 1959. Samoa Barat dan Nauru mendapatkan kemerdekaannya pada tahun 1962 dan 1968.

Fiji dan Tonga menjadi merdeka pada tahun 1970; Papua Nugini, tahun 1975; Kepulauan Solomon, tahun 1978; Kiribati (dahulu Kepulauan Gilbert) dan Tuvalu (dahulu Kepulauan Ellice), tahun 1979; sedangkan Vanuatu (dahulu Hibrida Baru) pada tahun 1980.

Kepulauan Cook dan Niue mempunyai pemerintahan dalam negeri yang sepenuhnya berdiri sendiri dalam asosiasi dengan Selandia Baru, sedangkan wilayah Prancis berada di bawah departemen luar negeri Prancis.

Dalam wilayah Perwalian pulau-pulau Pasifik Amerika Serikat, Kepulauan Palau, Kepulauan Marshall, dan Negara Federasi Mikronesia menginginkan kemerdekaan, kecuali urusan militer. Kepulauan Mariana Utara memilih menjadi daerah persemakmuran Amerika Serikat.

Masa Depan

Meskipun semua perkembangan ini memberikan harapan bagi masa depan Oseania, ternyata masih ada masalah yang harus dipecahkan.

Mikronesia

Di Mikronesia kemungkinan bagi perkembangan ekonominya tidaklah cerah. Atol karang yang rendah ini pada umumnya terdiri atas tanah yang tidak subur dan tidak memiliki sedikit pun sumber mineral.

Ekonominya hampir seluruhnya bergantung pada kopra. Untuk masa mendatang mereka mungkin harus bertumpu pada perkembangan perikanan dan pariwisata. Di Kiribati harapan kehidupan demikian kejamnya sehingga kemungkinan untuk memindahkan penduduk dari beberapa pulau di sana ke bagian lain Oseania telah diselidiki.

Masalah ini sangat mendasar sehingga hanya terdapat sedikit harapan buat masa depan sampai masalah itu terpecahkan. Kenyataan bahwa pulau-pulau Mikronesia demikian tersebar membuat komunikasi sukar dan menghambat pengembangan rasa persatuan. Hal ini selanjutnya akan menghambat perkembangan ekonomi dan politik.

Polinesia

Di wilayah Polinesia harapannya lebih cerah. Kopra merupakan produk utama di sini, tetapi masih terdapat juga produk lain seperti gula, buah-buahan tropis, dan sayur-mayur. Kepariwisataan juga telah menjadi suatu industri yang mendasar dan menguntungkan di tempat-tempat seperti Hawaii, Samoa, dan bagian Polinesia Prancis.

Landasan ekonomi keras di kepulauan Polinesia ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa penduduk di sana terpusatkan pada beberapa pulau yang saling berdekatan. Hal ini telah membantu penduduk Polinesia dapat lebih cepat menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial dan politik yang diminta oleh dunia modern.

Kelompok kepulauan Polinesialah seperti Hawaii, Samoa Barat, dan Kepulauan Cook-yang pertama kali mendapatkan kemerdekaan atau hak memerintah sendiri.

Melanesia

Melanesia menyajikan suatu gambaran yang berbeda. Fiji memiliki potensi yang baik secara ekonomi. Hasil gula dan kelapa penting, kayu melimpah, dan, meskipun penambangan emas telah menurun, masih terdapat harapan untuk pengembangan hasil mineral yang lain.

Di bagian wilayah Melanesia selebihnya yaitu Papua Nugini, Kaledonia Baru, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu salah satu dari masalah utama yang dihadapi oleh penduduk adalah bagaimana mengembangkan perasaan persatuan dan kebangsaan di antara mereka.

Bahkan sekarang orang orang dari berbagai tempat di Melanesia seringkali baru mengadakan hubungan yang terbatas antara satu dengan lainnya. Sebagian besar penduduk di wilayah ini masih menganggap dirinya sendiri sebagai anggota keluarga atau penduduk sebuah desa daripada sebagai penduduk Solomon atau bangsa Kaledonia Baru.

Susunan lembaga negara tempat para wakil rakyat yang berasal dari seluruh kelompok pulau dipilih telah membantu memperkenalkan suatu wawasan persatuan yang lebih luas bahkan terhadap penduduk desa di wilayah terpencil.

Seluruh masyarakat pulau ini-baik mereka berada di Mikronesia, Polinesia, maupun Melanesia-di satu pihak menghadapi masalah sistem lama yang sedang melemah atau sudah hampir lenyap, sedangkan di lain pihak menghadapi perkembangan suatu sistem ekonomi dan politik yang sama sekali baru, yang baru sebagian menggantikan sistem yang lama.

Setiap unit keluarga dan individu diminta untuk menyesuaikan diri pada gaya hidup yang baru itu. Seberapa cepat terjadi perubahan dan penyesuaian terhadap perubahan itu, dan apakah akan terjadi suatu suasana damai dan harmonis antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, antara satu masyarakat dengan yang lainnya, antara pribumi dengan pemukim Eropa itu semua bergantung pada usaha yang dibuat oleh penduduk Oseania sendiri.

Kemajuan dan keharmonisan juga bergantung pada tingkat bantuan yang diterima oleh pulau-pulau itu dari negara-negara kaya di dunia.

Diulas oleh:
JOHN MILES, Pejabat Senior Urusan Politik, Perserikatan Bangsa-Bangsa
Editor: Sejarah Negara Com

Pos terkait