Penyebaran Islam dalam Politik Dua Dinasti

Sejarah Negara Com – Penyebaran Islam: Berbincang tentang sejarah agama Islam, tentu tidak dapat dilepaskan dari ruang politik, terutama politik dalam negeri-negeri Arab–Islam muncul di tanah arab dan dari tanah tersebutlah semua bertitik dan bermula. Politik yang berlaku tentu sangat berpengaruh terhadap perkembangan agama Islam.

Pada zaman Nabi Muhammad saw. dan Khulafa al-Rasyidin, peluasan ajaran Islam jelas menjadi sorotan utama. Segala hal yang dilakukan bertitik pada tujuan tersebut. Saat khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib, wafat, lambat laun politik menunjukkan “wajah aslinya”; persaingan dalam perebutan tahta, jabatan, kehormatan dan kekuasaan. Ia menjadi “lahan tempur”.

Bacaan Lainnya

Hal ini telah mulai mencuat saat Utsman bin Affan, khalifah ketiga terbunuh dan semakin mengemuka di era Ali bin Abi Thalib. Adanya perang sesama muslim mengindikasikan perihal tersebut. Puncaknya, ketika Husain anak kandung Ali, terbunuh dalam perang saudara antara pendukung Ali dan Bani Umayyah.

Perang yang menewaskan lebih dari 20.000 orang ini menjadi pintu awal perubahan politik dalam sejarah agama Islam. Bani Umayyah yang memenangkan perang, akhirnya menjadi penguasa. Sistem kekhalifaan pun berakhir, berganti dengan sistem dinasti, sebuah sistem yang menomorsatukan garis keturunan, bukan musyawarah atau pun demokrasi.

Sejarah agama Islam pun akhirnya mencatat keberadaan beberapa dinasti. Berdasarkan seluruh pergolakan politik dinasti-dinasti yang ada, terdapat dua dinasti yang kekuasaan dan periode kekuasannya terbilang luas dan lama. Mereka adalah bani Umayyah dan bani Abbasiyah.

Terlepas dari bagaimana cara mendapatkan kekuasaan tersebut dan bagaimana kekuasaan itu berlangsung, sistem politik mereka ternyata tidak melupakan peluasan ajaran Islam. Banyak sisi positif yang lantas berpengaruh besar dalam sejarah agama Islam.

Penyebaran Islam

Penyebaran Islam Masa Bani Umayyah

Zaman bani Umayyah, dimulai oleh Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah. Kekuasaan dinasti Umayyah, tergolong singkat, tidak menyampai satu abad (40–132 H / 661–750 M). Dalam melaksanakan pemerintahan, dinasti Umayyah berpusat di Kota Damaskus. Salah satu ciri dinasti Umayyah adalah dalam urusan pemerintahan, mereka sangat bersifat Arab Orientalis; pimpinan segala hal dan segala bidang walaupun berasal dari keturunan Arab murni.

Dalam dinasti ini, sejarah agama Islam sangat bergantung pada kebijakan perang. Peluasan wilayah menjadi orientasi utama. Ajaran Islam pun mulai tidak hanya menjadi milik bangsa Arab, tetapi juga bangsa-bangsa yang berhasil dikuasai dinasti Umayyah.

Di masa awal pemerintahan (diterakan dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam, Murodi), Muawiyah bin Abi Sufyan telah mengusahakan perluasan wilayah ke berbagai daerah, seperti ke India, daerah Byzantium, Afrika Utara, bahkan juga pusat-pusat kekuasaan di kota Konstantinopel. Hal yang sama terjadi di tampuk pimpinan Walid bin Abdul Malik. Ia berusaha memperluas daerahnya menuju Afrika Utara, yaitu ke Magrib Al-Aqsha dan Andalusia.

Kegigihan dan keberanian panglima perang Musa bin Nushair memiliki peranan besar dalam keberhasilan peluasaan ini. Ia berhasil menguasai Magrib dan meluaskan Islam di Afrika Utara. Peranan besar juga dilakukan oleh Thariq bin Ziyad. Ia berhasil menyeberangi lautan guna merebut daerah Andalusia–Lautan atau selat yang diseberangi Thariq bin Ziyad. Saat ini dikenal dengan nama selat Jabal Thariq atau Selat Giblaltar.

Keberhasilan Thariq bin Ziyad ini, memudahkan peluasan ajaran Islam. Sejarah agama Islam pun mencatat, satu per satu wilayah yang dilewatinya, seperti Kota Cordova, Granada, dan Toledo, lambat laun menjadi salah satu daerah Islam di era tersebut.

Baca juga: Puncak kekuasaan Dinasti Bani Umayah

Penyebaran Islam masa Masa Bani Abbasiyah

Kejatuhan bani Umayyah, salah satunya disebabkan oleh kampanye Muhammad bin Ali, cicit dari Abbas. Muhammad bin Ali menyarankan agar kekuasaan pemerintahan dipegang oleh keluarga Bani Hasyim. Kampanye ini memanas di Parsi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan menunjukkan hasilnya di masa pemerintahan Khalifah Marwan II. Pertentantangan memuncak tahun 750 masehi. Abu al-Abbas al-Saffah akhirnya mengawali berdirinya dinasti Abbasiyah.

Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad, 132 H (750 M) sampai dengan 656 H (1258 M). Di masa mereka, pengembangan pengetahuan keagamaan, alam, dan filsafat, berada pada tahap keemasan. Islam disebar dengan tidak hanya melalu perperangan. Stategi politik, sosial, budaya, pengetahuan, perdagangan dan perkawinan antarsuku lebih diutamakan.

Dalam periode pertama, pemerintahan Bani Abbas langsung memperlihatkan masa keemasan. Para khalifah sendiri merupakan tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.

Hal yang tidak jauh berbeda terjadi di masa al-Mahdi. Perekonomian ditingkatkan dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Di masa ini, Kota Bashrah bahkan menjadi pelabuhan yang penting.

Puncak dinasti Abbasiyah terjadi di zaman pimpinan Harun Ar-Rasyid (786-809 M). Ditangannya, negara menjadi penyuplai terbesar untuk keperluan sosial, kesehatan, pendidikan dokter, dan farmasi. Begitu pula di sektor pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan. Masa ini menjadi masa paling emas dalam sejarah agama Islam.

Saat Harun Al-Rasyid digantikan oleh putranya, Al-Ma’mun (813-833), masa keemasan tetap berlanjut. Ia dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing, seperti bidang filsafat Yunani, digalakkan. Ia juga banyak mendirikan sekolah. Salah satunya adalah Baitul-Hikmah, yang menjadi pusat penerjemahan dan perguruan tinggi. Baghdad pun menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Al-Mu’tasim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan.

Praktik orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Kekuatan militer ini terbukti berhasil dalam menghalau gerakan-gerakan pemberontakan, yang berasal dari dalam atau pun luar bani Abbasiyah.

Berdasarkan pemaparan singkat tersebut, tampaklah perbedaan mencolok antara dinasti Umayyah dan Abbasiyah dalam sejarah agama Islam. Dinasti Umayyah lebih mengedapankan perperangan dan peluasan wilayah, sedangkan dinasti Abbasiyah lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan. Selain itu, terdapat beberapa perbedaan besar lain antara kedua dinasti tersebut, yang perlu dicatat dengan tinta tebal.

Pemerintahan Abbasiyah, menjadikan Bagdad sebagai pusat pemeritahan. Ini membuat mereka terlepas dari keterikatan “arabisme”. Dampaknya, komposisi pemerintahan, ketentaraan, dan banyak bidang pun terdiri dari berbagai macam elemen bangsa. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan.

Hal ini tentu berbeda dengan dinasti Umayyah yang memusatkan pemerintahan di Damaskus dan sangat berorientasi pada Suku Arab. Kecenderungan Abbasiyah ternyata berdampak postif dalam sejarah agama Islam. Islam lebih mudah diterima berbagai macam suku atau suku dengan tanpa kekerasan.

Meski begitu, perubahan yang dilakukan dinasti Abbasiyah tidaklah selalu “original”. Terdapat berbagai macam kebijakan yang sejatinya adalah kelanjutan dari kebijakan sebelumnya (dalam hal ini, dinasti Umayyah). Sebagai contoh, dalam bidang pendidikan. Sebelum dinasti Abbasiyah, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang, bahkan telah mulai diatur konsepnya.

Selain itu, terdapat Maktab/Kuttab dan masjid, lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan. Di lain sisi, terdapat tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadis, fikih, dan bahasa. Di jenjang lebih tinggi atau tingkat pendalaman, pelajar diorientasikan untuk pergi keluar daerah.

Mereka menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pengajaran umumnya berlangsung di rumah ahli tersebut atau bila ia anak orang yang berkuasa, pangajaran bisa berlangsung di istana atau di rumah.

Di masa pemerintahan Bani Abbas, pengembangan pendidikan dilakukan dengan cara mendirikan perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, sebab di dalamnya disediakan kitab-kitab. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Dengan kecenderungan asimilasi budaya, bangsa, dan pengetahuan di dinasti Abbasiyah, sejarah agama Islam dapat dianggap lebih berkembang di zaman mereka. Islam menjadi tidak hanya dipelajari oleh satu golongan atau satu kaum. Ia dipelajari juga oleh bangsa Mamluk, Turki, atau Persia.

Sisi baliknya, mereka juga memberi pengetahuan baru kepada kaum muslim. Ini tentu merupakan tinta emas dalam sejarah agama Islam.

Kata “sejarah” memiliki asal dari bahasa Arab, “Syajaroh”, yang berarti pohon. Dalam sebuah pohon, setiap hal sangat saling berkait. Akar, batang, ranting, daun, bunga, buah, tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Hal yang sama mesti dilakukan dalam melihat sejarah, dalam hal ini sejarah agama Islam.

Kondisi agama Islam saat ini, tentu tidak dapat dilepaskan dari panjangnya perjalanan sejarah agama Islam. Ia tidak bisa dilepaskan dari sebuah sistem politik, dan sisitem itu, tidak bisa dilepaskan dari sistem yang lain. Semuanya menjalin satu kesatuan. Namun, yang membedakan adalah titik fokus atau tujuan.

Dalam zaman Harun Al-Rasyid, Islam dan kesejahteraan umat menjadi tujuan utama. Hasilnya, Islam pun mencapai zaman keemasan. Hal semacam ini yang mulai tampak jarang dalam sistem politik sekarang.

Baca lebih jauh: Periodesasi peradaban Islam Abbasiyah

Manusia, Jiwa yang Rapuh

Sepertinya memang Tuhan sengaja menciptakan jiwa manusia dalam kondisi yang rapuh. Sehingga dengan demikian, manusia akan mencari-cari sesuatu yang kuat untuk berlindung dibaliknya. Sesuatu itu haruslah benar-benar adikuasa agar manusia dapat merasa aman dan tenteram dalam hidup ini. Di sinilah sejarah agama akan memulai ukiran dinamikanya.

Kerapuhan jiwa dan usaha mencari perlindungan tersebut akan lebih nampak pada masyarakat-masyarakat primitif (Masyarakat yang masih memiliki kebudayaan asli). Ribuan tahun sebelum Masehi, masyarakat dari Amerika Latin, Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Selatan, Lembah Sungai Nil, Lembah Sungai Eufrat dan Tigris sampai pada masyarakat di Yunani kuno pun telah memiliki tradisi keagamaan.

Seperti yang kita ketahui, notabenenya mereka adalah masyarakat yang belum tersentuh oleh agama, sehingga mereka mencari-cari dan menjadikan gejala-gejala alam sebagai sandaran mereka. Mulai dari pohon, matahari, bulan,gunung, api, batu, dan gejala alam lainnya.

Fenomena tersebut menunjukkan adanya hubungan antara manusia dengan sesuatu yang dianggap supranatural atau adikodrati. Namun ingat, hubungan tersebut terbentuk secara naluriah dan seolah-olah sudah tersistem dalam jiwa manusia, alih-alih hubungan hasil rekayasa yang hanya bersifat artifisialis.

Agama Adalah Kebutuhan

Seperti yang telah kita ketahui bahwa setiap manusia selalu terdorong untuk memiliki rasa aman. Dorongan atau naluri ini sama halnya dengan dorongan untuk makan, minum, ingin tahu dan lain sebagainya.

Rasa aman yang dibutuhkan manusia dapat dipenuhi dengan sebuah kepercayaan pada dzat yang Maha Berkuasa. Orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa senantiasa merasa dlindungi oleh Tuhannya dalam keadaan yang bagaimanapun juga.

Sementara orang-orang yang terlanjur kecewa pada Tuhan yang pernah mereka yakini, maka mereka akan mengingkari keberadaan Tuhan dan berpotensi untuk menjadi atheis.

Sebetulnya, kebutuhan untuk beragama bukan sekadar pemenuhan atas kebutuhan akan rasa aman. Lebih dari itu, kebutuhan beragama merupakan panggilan nurani manusia. Bahkan dalam kondisi tertentu, kebutuhan ini dapat melampaui kebutuhan dasar manusia yang lain termasuk kebutuhan akan rasa aman.

Ambillah contoh bagaimana Sidharta Gautama meninggalkan segala kemewahan dan kemegahan istananya demi mendengar kegundahan hati nuraninya. Atau Muhammad ketika ia melepaskan seluruh harta dan daya upayanya untuk memberikan pencerahan pada budaya jahiliah yang telah mengakar kuat.

Ilustrasi sejarah agama

Percayakah Anda bahwa setiap manusia yang lahir memiliki kecenderungan untuk beragama? Sama dengan para ahli teologi kenamaan dari Barat maupun Timur, Saya juga percaya dengan hal itu.He, he, he. Tapi tentu dengan sederet argumen dan penalaran yang kuat serta meyakinkan. Lalu apa yang terjadi dengan orang-orang atheis? Marilah sejenak kita berfokus pada titik awal sejarah agama. Hmmm, kajian agama selalu menarik untuk diikuti. 😉

Sekilas Sejarah Agama di dunia

1. Budha

Ketika berada di penghujung hidupnya, Sidharta Gautama yang dilahirkan pada 560 Sebelum Masehi di India Utara ini telah mengobarkan hampir seluruh India dengan pesan-pesan yang ia sampaikan, raja-raja dan para penguasa pun seolah telah tunduk dan patuh padanya. Suatu saat, orang-orang India mendatanginya dan terjadilah dialog di antara mereka lebih kurang sebagaimana berikut,

Orang India: Apakah Anda? Apakah Anda seorang dewa?

Sidharta: Tidak.

Orang India: Seorang malaikat?

Sidharta: Tidak.

Orang India: Seorang santo?

Sidharta: Tidak.

orang India: Lantas, Apa sebenarnya Anda ini?

Sidharta: Aku bangun.

Kata bangun inilah yang seterusnya menjadi gelarnya. Dalam bahasa sansekerta, bangun adalah Budha. Jadi, Budha mempunyai arti “Ia yang bangun.”

2. Hindu

Agama Hindu dibawa oleh bangsa Aria ketika mereka bermigrasi ke India pada tahun 1500 Sebelum Masehi. Mereka turut pula membawa Weda atau “Buku Pengetahuan” yang berisi kumpulan syair dan nyanyian. Dari Weda inilah penganut agama Hindu mengambil berbagai pemikiran yang menjadi dasar-dasar agama. Hindu itu sendiri menjadi nama sebuah agama etika ia berada di India. Sementara itu, tidak diketahui sejarah berdirinya Hindu pada dangsa Aria itu sendiri.

Baca juga: Kerajaan Hindu Buddha di Indonesia

3. Islam

Agama Islam dibawa oleh Nabi Muhammad yang lahir pada tahun 570 Masehi di Makkah, Arab Saudi. Melalui malaikat Jibril, Muhammad diberi tahu bahwa ia terpilih menjadi Rasul atau utusan Allah SWT. Salah satu ajaran yang Beliau sampaikan adalah kesamaan derajat dan keadilan bagi seluruh manusia yang pada waktu itu sangat bertolak belakang dengan budaya jahiliah di sekitarnya.

Bagaimana cara Islam masuk ke Indonesia? Silahkan baca di sini

4. Nasrani

Agama Nasrani atau Kristen dibawa oleh Yesus yang tahun kelahirannya dijadikan sebagai awal pengkalenderan, yakni 1 Masehi. Sebagaimana Muhammad, Yesus juga seorang Rasul yang diturunkan oleh Allah. Namun ada pula yang mengatakan bahwa Yesus merupakan Anak Allah. Pernyataan terakhirlah yang lebih populer di umat nasrani Indonesia. Di akhir penyalibannya, Yesus meninggalkan dua belas murid yang selanjutnya menyebarkan ajarannya ke berbagai penjuru dunia. Baca juga: Proses masuknya Kristen ke Indonesia

Pos terkait