Peristiwa sejarah G30SPKI yg sebenarnya, singkat dan jelas

Peristiwa sejarah G30SPKI – Menjelang akhir masa Demokrasi Terpimpin PKI telah memperoleh kedudukan yang kuat dan menjadi salah satu partai terbesar dalam Pemilu pertama 1955 setelah PNI, Masyumi, dan NU.

Aksi PKI Sebelum Memberontak

Beberapa tindakan PKI sebelum peristiwa G-30-S/PKI adalah sebagai berikut:

Bacaan Lainnya
  1. Melakukan aksi-aksi pemogokan yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan kereta api, seperti di Purwokerto (Januari 1964), Cirebon (14 Mei 1964), Semarang (6 Juli 1964), Bandung (31 Agustus 1964), dan di Tasikmalaya (11 Oktober 1964).
  2. Melakukan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh ormas-ormas PKI di beberapa daerah seperti di Indramayu (16 Oktober 1964), Bandar Betsy (14 Mei 1965), Kanigoro ( 13 Januari 1965), dan pengrusakan kantor gubernur Jawa Timur (27 September 19 65).
  3. Melakukan infiltrasi (penyusupan) dalam organisasi masyarakat dan sosial politik serta TNI.
  4. Mengusulkan pembentukan angkatan kelima.
  5. Mengadakan latihan kemiliteran bagi ormasnya, seperti Pemuda Rakyat dan Gerwani.
  6. Menciptakan isu Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta kepada pemerintah.
  7. Menyingkirkan lawan-lawan politik PKI, seperti pembubaran Partai Murba oleh pemerintah atas desakan PKI.

Pertentangan antara PKI dan Angkatan Darat

Adanya perbedaan ideologi dan kepentingan antara PKI dan Angkatan Darat menyebabkan keduanya bersaing satu sama lain. Sesuai dengan ideologi yang dianutnya, PKI berkepentingan merintis berdirinya negara komunis. Adapun Angkatan Darat sebagai kekuatan pertahanan negara berkepentingan mengamankan Pancasila sebagai dasar negara.

Pada bulan Januari 1966 PKI mengajukan gagasan pembentukan angkatan kelima. Gagasan tersebut berisi tuntutan agar kaum buruh dan tani dipersenjatai. Hal tersebut dilakukan untuk menggalang kekuatan menghadapi neokolonial imperialisme (neokolim) Inggris dalam rangka Dwikora.

Pada bulan Mei 1965, PKI melempar isu adanya Dewan Jenderal dalam tubuh Angkatan Darat. Menurut PKI, Dewan Jenderal ditafsirkan sebagai badan yang mempersiapkan perebutan kekuasaan dari Presiden Soekarno.

Angkatan Darat secara tegas menolak gagasan pembentukan angkatan kelima. Menurut Men/Pangad Letnan Jenderal Ahmad Yani, pembentukan angkatan kelima tidak efisien dan merugikan revolusi Indonesia.

Penolakan pembentukan angkatan kelima dinyatakan pula oleh Laksamana Muda Martadinata atas nama Angkatan laut. Mereka hanya dapat menerima jika angkatan kelima berada dalam lingkungan ABRI dan ditangan komando perwira yang profesional.

Adapun dalam menanggapi adanya isu Dewan Jenderal, Pimpinan Angkatan Darat menyatakan bahwa Dewan yang ada dalam Angkatan Darat bukan Dewan Jenderal, melainkan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) yang bertugas memberikan usul kepada men/pangad tentang promosi jabatan dan pangkat para perwira tinggi.

Di tengah persaingan antara PKI dan Angkatan Darat, pada bulan Juli 1965 muncul berita tentang memburuknya kesehatan Presiden Soekarno. Menurut tim dokter yang khusus di datangkan dari RRC, ada kemungkinan presiden akan lumpuh jika tidak meninggal.

Pimpinan PKI yang mengetahui berita tersebut langsung dari dokter-dokter RRC merasa perlu segera mengambil tindakan.

Pemberontakan PKI

Letnan Kolonel Untung sebagai pimpinan gerakan memerintahkan kepada seluruh anggota gerakan untuk mulai bergerak pada dini hari 1 Oktober 1965. Pada dini hari itu, mereka melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama dari angkatan darat.

Para perwira Angkatan Darat tersebut disiksa dan dibunuh yang kemudian dimasukkan ke dalam satu sumur tua di Lubang Buaya yang terletak di sebelah selatan Pangkalan Udara Utama Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Enam Jenderal korban PKI dari TNI Angkatan Darat tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat atau Men/Pangad).
  2. Mayor Jenderal R. Suprapto (Deputy II Pangad).
  3. Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtodarmo (Deputy III Pangad).
  4. Mayor Jenderal Suwondo Parman (Asisten I Pangad).
  5. Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan (Asisten IV Pangad).
  6. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur).

Ketika terjadinya penculikan para perwira Angkatan Darat, Jenderal A.H. Nasution yang juga menjadi target penculikan berhasil menyelamatkan diri setelah kakinya tertembak. Namun putrinya yang bernama Ade Irma Suryani menjadi korban sasaran tembak dan kemudian gugur.

Ajudan Jenderal A.H. Nasution yang bernama Letnan Satu Pierre Andreas Tendean juga menjadi korban. Sedangkan Pembantu Letnan Polisi Karel Satsuit Tubun gugur pada saat melakukan perlawanan terhadap gerombolan yang berusaha menculik Jenderal A.H. Nasution.

Penculikan dan pembunuhan serupa juga terjadi di Jogjakarta dan menimbulkan korban Komando Resimen 072 Pamungkas Kolonel Katamso serta kepala Staf Korem 072 Pamungkas Letkol Sugiyono. Keduanya dibunuh dengan kejam di Kentungan, daerah markas suatu batalion yang dikuasai oleh perwira komunis.

Silahkan baca referensi lain artikel PKI: Proses terjadinya peristiwa G.30.S/PKI

Penumpasan PKI

Setelah menerima laporan terjadinya penculikan para pemimpin TNI Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soeharto sebagai panglima Kostrad (Komando Strategi Angkatan Darat), segera mengambil langkah-langkah untuk memulihkan keamanan di ibu kota. Langkah-langkah tersebut yaitu dengan menyelamatkan dua obyek vital, yaitu gedung RRI dan pusat telekomunikasi.

Dalam waktu dua puluh lima menit resimen RPKAD di bawah pimpinan Sarwo Edi berhasil merebut kedua obyek tersebut.

Pada pukul 20.10 WIB, Mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat mengeluarkan pernyataan resmi yang isinya memberitahukan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa pada tanggal 1 Oktober 1965 telah terjadi peristiwa penculikan beberapa Perwira Tinggi Angkatan Darat yang dilakukan oleh golongan kontrarevolusioner yang menamakan dirinya Gestapu (Gerakan 30 September). Selanjutnya, mereka telah mengambil alih kekuasaan negara.

Mayor Jenderal Soeharto menegaskan bahwa kekuatan Gestapu dapat dihancurkan dan NKRI yang berdasarkan Pancasila pasti tetap jaya. Pidato Mayjen Soeharto tersebut dapat meredakan kegelisahan rakyat dan mereka dapat mengetahui gambaran yang jelas tentang situasi negara.

Operasi penumpasan dilanjutkan dengan sasaran Pangkalan Udara Utama/Lanuma Halim Perdanakusuma, yang menjadi basis kekuatan G-30-S/PKI. Operasi ini bertujuan mencari tempat dan mengusut nasib para jenderal yang diculik.

Kemudian operasi dilanjutkan ke Lubang Buaya. Atas petunjuk dari Ajudan Brigadir Polisi Sukitman, pada tanggal 3 Oktober ditemukan sumur tua tempat penguburan jenazah para perwira Angkatan Darat.

Pada tanggal 4 Oktober dilakukan pengangkatan seluruh jenazah para perwira dan tanggal 5 Oktober para perwira dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Para perwira tersebut dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi serta diberikan kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi secara anumerta.

Baca juga sejarah penumpasan PKI di artikel: Cerita sejarah lahirnya Supersemar 1966

Dampak sosial politik Pemberontakan G-30-S/PKI

Dalam waktu singkat gerakan 30 September PKI berhasil digagalkan. Pada tanggal 25 Oktober para mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang kemudian diikuti dengan terbentuknya kesatuan aksi yang lain, seperti:

  1. Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI)
  2. Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI)
  3. Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI)
  4. Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI)

Gerakan Tritura

Dengan dipelopori oleh KAMI dan KAPPI yang tergabung dalam Front Pancasila, pada tanggal 12 Januari 1966 melancarkan aksi di halaman Gedung DPR GR dan mengajukan tiga buah tuntutan yang dikenal dengan nama tri tuntutan rakyat atau dikenal Tritura.

Adapun isi Tritura adalah sebagai berikut:

  1. Pembubaran PKI.
  2. Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G30S/PKI.
  3. Penurunan harga/perbaikan ekonomi.

Baca juga referensi lain mengenai Tritura di artikel :

Dalam pelaksanaan tuntutan tersebut, pada tanggal 24 Pebruari 1966 gugur seorang mahasiswa bernama Arief Rahman Hakim. Kemudian Arief Rahman Hakim diangkat menjadi Pahlawan Ampera yang dikukuhkan dalam Tap. MPRS No. XXIX/MPRS/1966.

Sehari setelah insiden tersebut pemerintah membubarkan KAMI. Ternyata pembubaran KAMI ini tidak memulihkan kewibawaan pemerintah dan tidak juga menghentikan aksi-aksi tritura. Para mahasiswa kemudian membentuk laskar Arief Rahman Hakim. Mereka mengadakan aksi bersama dengan kesatuan-kesatuan lainnya.

Pada tanggal 8 Maret 1966, mereka menggelar demonstrasi besar-besaran di kantor wakil Perdana Menteri I/Menteri Luar Negeri, Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan, dan kedutaan besar Cina. Ketiga tempat tersebut dianggap sebagai tempat pendukung utama PKI.

Download PDF

Video

Pos terkait