Sejarah Uni Soviet yang terlupakan

Sejarah Uni Soviet yang terlupakan – Sejarah apa yang pernah disebut Uni Soviet dimulai lebih dari 1000 tahun yang silam dengan ditemukannya dua kerajaan kecil yang disebut Novgorod dan Kiev.

Sebelumnya, terdapat berbagai kelompok suku bangsa yang tinggal di dataran yang sangat luas yang membentang dari Laut Baltik sampai Samudra Pasifik.

Mereka datang secara bergelombang dari Eropa dan Asia dan dapat berpindah dengan leluasa di dataran rendah Rusia karena adanya jaringan sungai yang sangat banyak serta ketiadaan penghalang gunung yang efektif.

Di antara kelompok ini adalah suku bangsa Skitia, Sarmatia, Cot, Hun, dan Khazar. Beberapa dari mereka tetap sebagai suku bangsa nomad, sedangkan sebagian lainnya tinggal menetap serta mengadakan perdagangan dan bercocok tanam.

Puing-puing kuno di Echmiadzin pusat budaya Armenia kuno
Puing-puing kuno di Echmiadzin pusat budaya Armenia kuno

Kunjungi Rusia di google map

Namun, setelah beberapa abad, sebagian besar di antara mereka diusir oleh gelombang suku bangsa penyerang baru dan hal ini terjadi berulang-ulang selama lebih dari 1000 tahun.

Salah satu kelompok suku bangsa itu dapat membuat suatu tempat yang permanen, yaitu suku bangsa Slavia. Menjelang abad ke-8 Masehi, mereka telah menyebar di sepanjang utara-selatan jalur sungai Rusia dan mendirikan sejumlah kota dagang.

Dua di antara yang terpenting adalah Novgorod dan Kiev. Mereka berhadapan dengan kelompok suku bangsa lain yang pada mulanya memerangi mereka, tetapi lalu bersama-sama membagi kekuasaan di kota-kota ini dan membantu melindungi suku bangsa Slavia.

Kelompok suku bangsa ini adalah Varangia, atau Norse, yang datang melewati Laut Baltik. Catatan sejarah kuno menyebutkan bahwa di abad ke-9, ketika terjadi pemberontakan di Novgorod, seorang suku bangsa Norse yang bernama Rurik diundang untuk memulihkan ketertiban dan lalu menjadi pangeran Novgorod. Segera sesudah itu, penggantinya, Oleg, pergi ke selatan dan merampas Kiev, dan mendirikan kekuasaan dinasti Rusia Kiev.

Rusia Kiev

Kiev mengadakan perdagangan langsung dengan Bizantium, Kekaisaran Romawi Timur, yang beribu kota di Konstantinopel. Bulu binatang, madu, lilin, tar, dan para tawanan perang yang dijual menjadi budak diangkut melalui Sungai Dnieper, melintasi Laut Hitam ke Konstantinopel, dan di sana ditukar dengan sutera, rempah-rempah, anggur, dan emas.

Melalui hubungan dengan Konstantinopel ini, yang juga merupakan pusat Gereja Ortodoks Yunani, Pangeran Vladimir dari Kiev berpindah ke agama Kristen pada tahun 988.

Hal ini berakibat penting bagi Rusia. Seni dan arsitekturnya banyak dipengaruhi oleh Bizantium. Rusia lalu mengambil abjad Yunani sebagai bahasa tulisnya.

Mungkin yang paling penting adalah bahwa dengan masuknya Gereja Ortodoks, masuk pulalah ide-ide Bizantium bahwa seorang pangeran memerintah atas kekuasaan Tuhan sehingga tidak dapat diganggu gugat oleh siapa saja di muka bumi ini. Para Tsar Rusia terus memerintah menurut prinsip ini sampai tahun 1917.

Pangeran Kiev tidak berhasil menyatukan wilayah serta suku bangsa di sekitarnya, sedangkan kesatuan Rusia sesungguhnya baru dimulai sesudah Rusia diserbu oleh kelompok suku bangsa luar, Tartar, yang dikenal sebagai suku bangsa Mongolia.

Kekuasaan Tartar

”Tak seorang pun tahu pasti, menurut catatan sejarah Rusia, ”siapa mereka atau dari mana asalnya, atau apa bahasan’ya, suku bangsanya, atau agamanya, tetapi mereka itu disebut Tartar.”

Mereka berasal dari Asia, tempat Jenghis Khan yang memiliki kekaisaran yang sangat luas dan cucunya, Batu, sedang mencari daerah baru untuk ditaklukkan.

Pada tahun 1237, tentara berkudanya menyerbu kerajaan kecil Rusia, membakar kota, serta membunuh penduduknya. Mereka merampas Kiev dan bergerak ke barat sampai hampir mendekati Wina, lalu kembali pulang dan mendirikan markas besar di hilir Sungai Wolga. Dari perkemahan di Rusia ini, suku bangsa Tartar menguasai Rusia selama hampir 250 tahun.

Mereka memaksa para pangeran Rusia untuk membayar pajak yang berat. Mereka meminta kepatuhan mutlak, sedangkan segala macam protes ditindak dengan tegas. Untuk tetap menjaga keterpecahbelahan Rusia, bangsa Tartar mengadu domba satu pangeran dan lainnya. Hasilnya adalah bahwa beberapa orang pangeran Rusia meniru cara memerintah bangsa Tartar yang despotik dalam pemerintahan mereka sendiri.

Secara keseluruhan, kekuasaan bangsa Tartar merupakan bencana bagi Rusia. Bangsa Tartar tidak hanya membuang percuma daerah dan peradaban yang telah dimulai di Kiev, tetapi juga menambah keterpencilan Rusia dari Eropa.

Tepat ketika orang Eropa memasuki zaman kebangkitan (renaisans) ilmu pengetahuan dan budaya, bangsa Rusia secara efektif terputus dari perkembangan semacam ini.

Lebih dari itu, bangsa Rusia kehilangan makna demokrasi yang telah berkembang di Kiev dahulu-termasuk dewan kota, tempat orang berkumpul di alun-alun utama untuk mengemukakan berbagai pendapat atas perkara yang bermacam-macam.

Rusia di Bawah Tsar

Pertumbuhan Moskow

Moskow-lah yang pada akhirnya dapat menghimpun kekuatan yang cukup untuk mengusir bangsa Tartar. Kota itu mulai berkembang di pertengahan abad ke-12 sebagai pusat perdagangan yang terletak di tepi sungai.

Selama jangka waktu yang lama, para pangeran Moskow menjadi pembantu yang rendah hati dan sangat patuh kepada Khan bangsa Tartar; Para pangeran itu berkelana melalui Sungai Wolga untuk membayar upeti kepada Khan Tartar.

Namun, setapak demi setapak, Moskow semakin luas wilayahnya, yaitu dengan menaklukkan wilayah pangeran lain, menggunakan diplomasi jika mungkin, dan juga dengan menguasai hutan-hutan tak bertuan.

Mereka lalu mulai menyerang bangsa Tartar. Pertempuran berlangsung sampai hampir tahun 1500 saat Kekaisaran Tartar telah demikian lemahnya sehingga tidak dapat lagi meminta pajak dari bangsa Rusia.

Duke Besar Ivan III (dikenal sebagai Yang Agung) naik takhta di tahun 1462 dan meneruskan proses penyatuan kerajaan-kerajaan kecil di bawah kekuasaan Moskow. Dalam jangka waktu 43 tahun, wilayah Moskow bertambah 3 kali lipat.

Menjelang waktu itu, Bizantium beserta ibu kotanya, Konstantinopel, telah dikuasai sepenuhnya oleh bangsa Turki. Hal ini mempunyai dua akibat penting bagi Rusia. Ketika Ivan menikahi kemenakan perempuan Kaisar Bizantium terakhir, dia menyimpulkan bahwa Moskow merupakan ahli waris yang sejati Kekaisaran Bizantium.

Dia lalu mulai menyebut dirinya ”Tsar”, kata bahasa Rusia yang berarti ”kaisar”. Yang kedua, Gereja Ortodoks Rusia mengumumkan bahwa Gereja tersebut tidak lagi menjadi bagian Gereja Ortodoks Yunani. Dikatakan bahwa karena Konstantinopel berada di bawah kekuasaan orang Islam, maka Moskow menjadi “Romawi Ketiga”, tempat agama Kristen tetap hidup.

Mengapa Moskow, dan bukan kerajaan-kerajaan kecil lainnya, yang berhasil menyatukan Rusia? Salah satu alasannya adalah bahwa Moskow secara geografis terletak di suatu tempat yang bagus sebagai pusat perdagangan baik darat maupun sungai.

Yang lebih penting lagi adalah kekejaman ‘dan ketegasan yang dijalankan oleh para pangeran Moskow dalam kebijakan mereka memperluas wilayah.

Kekuasaan Otokratik

Selama abad ke-16, Rusia tetap bertambah luas, khususnya ke bagian hulu Sungai Wolga dan jauh ke timur ke Siberia, dan para penjelajah berpindah ke daerah-daerah ini. Kremlin Moskow menjadi semakin besar dan dibuat menjadi lebih mengesankan. Kekuasaan Tsar bertambah, tetapi kebebasan orang Rusia tetap menurun.

Dengan menjalankan pemerintahan otokratik meniru cara bangsa Tartar, Tsar memperlemah kedudukan para boyar (ahli waris kepangeranan), satu-satunya kelompok yang diperkirakan dapat menentangnya. Tsar mengambil tanah para boyar dan memberikannya kepada para pengikutnya, terutama orang yang menang perang demi kebesaran Tsar.

Dengan cara ini dia telah menciptakan suatu kelas baru-yaitu para pemilik tanah-yang benar-benar bergantung padanya dan selalu siap melayaninya. Dalam teori, para petani sebenarnya bebas bergerak ke mana saja asalkan mereka membayar pajak. Namun, biasanya mereka terjerat oleh tuan tanah atas utang-utang yang diterimanya. Dengan cara ini, perbudakan menjadi semakin tersebar di Rusia.

Ivan IV, yang memerintah di paruh kedua abad ke-16, disebut Ivan ”si Kejam”, atau ”yang menakutkan”. Dia benar-benar sangat menakutkan karena dia memerintah dengan kejam. Menjelang kematiannya di tahun 1584, negara dalam keadaan bergolak karena rakyat merasa tidak puas.

Masa 29 tahun berikutnya merupakan ”Masa Kekeruhan”. Anak lelaki Ivan wafat dan beberapa orang saling berebut takhta. Bangsa Swedia dan Polandia mengambil keuntungan dari keadaan kacau-balau ini dengan menyerbunya.

Pada akhirnya, Dewan Nasional bersidang dan, di tahun 1613, memilih Michael Romanov yang masih berusia 16 tahun menjadi Tsar. Keluarga Romanov memerintah Rusia selama 300 tahun berikutnya.

Peter yang Agung

Tsar abad ke 16
Tsar abad ke-16, Boris Godunov dikuburkan di katedral ini do Zagorsk

Di bawah pemerintahan tiga Tsar Romanov yang pertama, ketertiban lambat-laun mulai pulih kembali. Wilayah-wilayah yang lepas mulai dikuasai lagi di bawah kekuasaan Moskow.

Romanov berikutnya, Peter yang Agung, sekali lagi membuka Rusia terhadap pengaruh Eropa dan membuat negara itu sebagai kekuatan Eropa yang utama. Peter adalah Tsar yang terbesar, baik secara fisik (2 m tingginya) maupun tentang apa yang telah ia perbuat bagi Rusia.

Ia berperang melawan Swedia selama bertahun-tahun dan merebut wilayah di Laut Baltik serta Teluk Finlandia. Di tanah yang berawa-rawa, ia mulai membangun, di tahun 1703, ibu kota baru yaitu St. Petersburg, yang menjadi jendela Rusia ke Eropa.

Peter berkehendak menggunakan pengetahuan serta ketrampilan yang dimiliki Eropa untuk mengatasi keterbelakangan orang Rusia. Untuk maksud ini, dia pergi ke Belanda, Inggris, dan negara-negara lain. Dia mempelajari perkapalan negara-negara ini dan dia bahkan secara pribadi belajar tentang usaha pembuatan kapal dan berbagai ketrampilan lain.

Ketika kembali ke negaranya, dia mengumumkan berbagai perubahan. Para bangsawan dan penguasa Rusia diperintahkan mencukur jenggot mereka dan menukar pakaian mereka dengan baju Eropa. Mereka yang menolak diharuskan membeli surat izin berjenggot.

Petrodvorets tempat tinggal Peter
Petrodvorets tempat tinggal Peter Yang Agung pada musim panas, terkenal karena air mancurnya

Peter juga mendirikan berbagai sekolah untuk mempelajari matematika, rekayasa, serta bahasa asing. Dia menyuruh menerjemahkan berbagai buku serta mendirikan surat kabar yang pertama.

Para teknisi dan pengrajin luar negeri diundang ke negerinya. Angkatan Darat dan Angkatan Lautnya dibuat modern, sedangkan administrasi pemerintahannya diatur kembali meniru cara Swedia.

Beban yang berat atas penaklukan dan pembaharuan Peter terletak dipundak para petani budak. Ketika itu, mereka terikat dengan tanahnya oleh hukum.

Hal ini berarti bahwa para bangsawan yakin pasti mendapatkan tenaga petani untuk mengolah perkebunannya, sedangkan Tsar juga yakin harus memperoleh pajak yang sangat dibutuhkannya dari para petani. Peter juga menuntut para bangsawan untuk menghadiri sekolah barunya dan bertugas di angkatan bersenjata atau di administrasi pemerintah.

Bangsawan dan petani – jurang yang melebar

Setelah Peter yang Agung tibalah kepemimpinan yang lemah selama 37 tahun. Para bangsawan Rusia mengambil keuntungan atas situasi seperti ini dan membujuk Tsar untuk membebaskan mereka dari kewajiban bekerja di instansi pemerintah.

Dengan kekayaan dan waktu bebas yang semakin banyak, para bangsawan memasuki ”zaman emas” di bawah Tsarina Katarina yang Agung di paruh kedua abad ke-18. Budaya Eropa tercermin oleh masyarakat atas. Katarina sendiri cocok dengan filsuf Prancis, Voltaire dan Diderot, dan mengagumi ide-ide mereka. Di Eropa, ide ini membantu membawa kebebasan politik yang lebih banyak bagi rakyat. Namun, hal ini tidak terjadi di Rusia.

Di ujung lain gemerlapnya kehidupan kaum bangsawan adalah kaum tani yang berjumlah 34.000.000 orang (dari penduduk seluruhnya 36.000.000 jiwa). Mayoritas penduduk itu adalah budak yang bekerja di perkebunan para bangsawan, sedangkan selebihnya hidup dalam keadaan yang sama miskinnya, bekerja di tanah-tanah milik keluarga raja.

Karena mendengar bahwa kebebasan bekerja bagi kaum bangsawan pada pemerintah telah dikabulkan, maka sebagian besar petani sangat berharap bahwa mereka juga akan segera dibebaskan. Ketika kebebasan ini tidak kunjung tiba, maka rasa ketidakpuasan mereka menjadi semakin bertambah.

Di akhir abad 20, beberapa orang mulai menyadari bagaimana tidak sehatnya situasi di Rusia ini. Tsar Alexander I berjanji untuk membuat perubahan yang mendasar. Dia bahkan telah meminta para penasehatnya untuk menyusun undang-undang dan suatu rencana untuk menyamakan kedudukan kaum budak. Akan tetapi, perhatian Tsar ini segera disita oleh perang melawan Napoleon sehingga tidak satu pun janji itu dipenuhi.

Reaksi dan Pemberontakan

Serbuan Napoleon atas Rusia pada tahun 1812 membawa persatuan rakyat Rusia untuk tujuan mengusir Napoleon. Mereka membakar apa saja yang ada di jalan sehingga prajurit Napoleon tidak dapat menemukan makanan dan tempat berlindung.

Bahkan Moskow sendiri ditinggalkan dan dibakar ketika Napoleon sampai ke sana. Dia terpaksa mundur dan sejumlah besar prajuritnya mati kedinginan di tanah luas Rusia ini. Tentara Rusia mengejar prajurit Prancis yang sedang mundur dan pada tahun 1813 dapat memasuki Paris dengan kemenangan.

Rusia menjadi negara terkuat di Eropa. Bersekutu dengan para pemimpin Austria dan Prusia, Tsar mengangkat dirinya sebagai pengawal ketertiban Eropa.

Sekelompok perwira muda Para Pengawal kembali ke Moskow dari Paris dengan diilhami ide-ide politik Prancis. Beberapa di antaranya menyimpulkan bahwa satu-satunya cara untuk mengakhiri perbudakan serta mendapatkan kebebasan di Rusia adalah dengan menggulingkan Tsar. Mereka berkomplot serta membentuk berbagai kelompok rahasia.

Ketika Alexander mangkat pada tahun 1825, komplotan ini berupaya mencegah saudaranya Nicholas, pendukung pemerintahan otokrasi naik takhta. Pemberontakan itu terjadi bulan Desember, mereka menjadi terkenal sebagai kaum Desembris dan mengilhami berbagai revolusi Rusia berikutnya.

Nicholas I terbukti seorang Tsar yang keras seperti diduga oleh musuhnya. Sebagai orang yang penuh curiga, dia menciptakan polisi rahasia serta jaringan informan yang banyak. Universitas masih tetap dibatasi dalam apa yang harus diajarkan. Meskipun dalam keadaan represif seperti ini, kesusastraan Rusia mulai bermekaran, dan para intelektual muda yang radikal mulai mengembangkan ide-ide sosial dan politik yang kebetulan memperoleh dampak yang besar di Rusia.

Keadaan para petani semakin memburuk. Jumlah kaum tani meningkat

sementara jumlah tanah serta teknik bertani yang primitif tetap sama. Nicholas takut untuk bertindak mengatasi persoalan ini karena khawatir akan mengakibatkan seluruh negara tercerai-berai.

Setelah Emansipasi

Akhir masa perbudakan datang segera setelah kekalahan Rusia dalam Perang Krim. Perang itu terjadi karena persaingannya dengan Inggris dan Prancis untuk menguasai wilayah bekas jajahan Kekaisaran Turki Usmani.

Tentara Rusia yang berjumlah besar tidak sebanding dengan tentara Inggris dan Prancis yang berjumlah kecil tetapi bersenjata lengkap. Hal ini mengungkapkan kelemahan Rusia yang sebenarnya.

Alexander II menjadi Tsar pada tahun 1855 dan memutuskan bahwa berbagai perubahan besar perlu segera dibuat atau, kalau tidak, prestise dan kekuatan Rusia akan semakin turun. Proklamasi Emansipasinya membebaskan perbudakan pada tahun 1861.

Menurut pendapat banyak orang Rusia, perubahan ini dan berbagai perubahan yang dibuat sesudahnya tidak akan cukup ampuh dalam mengubah situasi rakyat Rusia. Kaum revolusioner justru menjadi semakin yakin bahwa Tsar memang harus digulingkan. Salah satu kelompok di antara mereka melakukan aksi teror dan akhirnya berhasil membunuh Alexander II di tahun 1881.

Alexander III menjadi Tsar selama 13 tahun dan diikuti oleh Nicholas II yang memerintah sampai dengan revolusi Bolshevik di tahun 1917. Mereka merupakan dua Tsar terakhir Rusia.

Khawatir akan semakin berkembangnya gerakan revolusi, sama sekali mereka menggantungkan pemerintahannya pada tindakan sensor, polisi rahasia, dan penggunaan kekerasan seperti yang telah dilakukan oleh para pendahulunya.

Namun, dalam beberapa hal, Rusia sebenarnya sedang dalam periode pertumbuhan. Industri Rusia membuat berbagai langkah maju yang besar setelah tahun 1870. Kaum tani berpindah ke pabrik-pabrik sebagai buruh. Berbagai kota baru tumbuh di sekitar Mabrik, pertambangan, dan pengeboran minyak.

Di bawah Katarina yang Agung, Rusia mendapat beberapa bagian tanah Polandia dan mencapai pantai Laut Hitam. Penduduknya mulai menyebar ke tanah-tanah luas di Siberia.

Dalam periode berikutnya, Rusia mengambil alih Transkaukasia (sekarang Republik Georgia, Armenia, dan Azerbaijan), dan di bawah tiga Tsar terakhir, Rusia meluaskan wilayahnya sampai ke Asia Tengah serta merebut lebih banyak wilayah lagi di Pasifik.

Penduduk non-Rusia yang berada di bawah kekuasaan Tsar menjadi sasaran Rusianisasi mereka diwajibkan belajar bahasa Rusia dan menganut agama Ortodoks.

Pada tahun 1904-1905 Rusia mengalami kekalahan lain yang memalukan, kali ini dalam perangnya dengan Jepang. Kekalahan ini terjadi pada saat ketidakpuasan rakyat hampir mencapai titik didihnya.

Kaum pekerja di St. Petersburg, Moskow, dan kota lain melancarkan mogok. Terdapat pula berbagai unjuk rasa para petani. Pemogokan itu menjalar ke orang-orang yang bekerja di jaringan kereta api dan, di bulan Oktober 1905, Rusia benar-benar dalam keadaan tak berdaya.

Akhirnya, Tsar mengirimkan tentara untuk membubarkan kaum demonstran serta memulihkan ketertiban di seluruh negara. Beratus-ratus orang terbunuh dalam peristiwa itu.

Nicholas sadar bahwa beberapa konsesi harus dibuat. Dia memberikan hak-hak dasar seperti hak kebebasan berbicara, hak berkumpul, serta hak untuk membentuk perkumpulan dan partai politik. Dia menciptakan Dewan Nasional untuk membuat undang-undang, yang disebut Duma.

Akan tetapi, keputusan terakhir tetap berada di tangannya dan manakaia Duma menentang kehendaknya, dia dapat menolaknya atau membubarkannya.

Dalam waktu 2 tahun berikutnya, Duma mengalami 2 kali pembubaran. Situasi semacam ini benar-benar tidak diterima oleh rakyat yang menginginkan perubahan-perubahan yang ekstrem.

Akhirnya, pada tahun 1917, di tengah-tengah Perang Dunia I, ketika Rusia dalam keadaan porak-poranda serta mengalami kekalahan berat, kaum revolusioner mengambil kesempatan untuk menentukan penyelesaian kemelut negara lewat caranya sendiri.

Pos terkait