Sistem Kepemilikan Tanah pada masa Tanam Paksa

Pada tahun 1830 motif utama dari sistem tanam paksa (cultuurstelsel) adalah karena kesulitan financial yang dihadapi oleh pemerintah Belanda sebagai akibat dari perang Jawa pada tahun 1825-1830 di Indonesia, sehingga Gubernur Jendral Johannes van den Bosch telah mendapatkan izin khusus untuk melaksanakan sistem tanam paksa (cultuurstelses) yang bertujuan utama mengisi kas pemerintah Belanda yang pada saat itu kosong atau menutup defisit anggaran pemerintah Belanda.

Pada zaman Belanda pada dasarnya sistem tanam paksa terkenal dengan sebutan nama cultuurstelsel, yang berartikan pemulihan sistem eksploitasi berupa penyerahan-penyerahan wajib seperti yang telah dipraktekkan oleh VOC dahulu. Ciri utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka.

Bacaan Lainnya

Sistem tanam paksa pertama-tama telah mencampuri urusan kepemilikan tanah penduduk perdesaan dikarenakan karena para petani diharuskan atau diwajibkan untuk menyerahkan tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor. Hal ini Telah mempengaruhi pergeseran pemilikan dan penguasaan tanah di kalangan para petani pedesaan.

Hal tersebut dikarenakan adanya pertukaran atau pembagian tanah pertanian untuk perataan pembagian kewajiban penyediaan tanah dan kerja pada pemerintah selain itu juga terdapat perubahan kepemilikan tanah yang awalnya milik perseorangan menjadi tanah milik bersama.

Sistem Kepemilikan Tanah pada masa Tanam Paksa

Menurut Robert Van Niel dalam kurniawan (2014) bahwa sistem tanam paksa telah menghancurkan desa-desa di Jawa karena telah memaksa mengubah hak kepemilikan tanah desa menjadi milik bersama. Dengan demikian hak hak milik perorangan telah dirusak dimana hak milik perorangan ini yang lebih dulu ada di atas tanah (Kurniawan, 2014:169)

Sistem tanam paksa merupakan klaim atas tanah ketimbang terhadap tenaga kerja. pembentukan modal tercipta dari penduduk desa yang menguasai tanah terkena pajak sewa. Sedangkan pengusaha Eropa atau pemilik perkebunan besar memanfaatkan tanah tanah terlantar yang belum dibudidayakan dengan menyewa kepada pemerintah (Ahmady, 2010:36-37).

Sistem tanam paksa ini Jika dilihat sistem ini telah membawa perubahan pada sistem kepemilikan tanah pada saat itu titik dikarenakan pelaksanaannya dilakukan perdesaan, dengan demikian tanah-tanah yang ada di anggap milik desa Bukan lagi milik perorangan (Fasseur dalam Zulkarnain, 2010:34)

Selaras dengan uraian diatas bahwa sistem tanam paksa yang telah diterapkan kenyataannya telah mengubah hak-hak kepemilikan tanah dari milik perseorangan menjadi milik bersama, yang tentunya telah merusak hak hak perseorangan atas tanah yang sebelumnya sudah ada. hak-hak kepemilikan tanah merupakan kepentingan subjektif bagi kelompok-kelompok pengusaha swasta yang hendak mengganti sistem tersebut Dengan bentuk eksploitasi mereka sendiri (Zulkarnaian, 2011:67)

Sebelum tahun 1870 sistem kepemilikan tanahnya bersifat dualisme karena tanahnya ada yang menganut hukum barat dan ada yang menganut hukum Pribumi. tanah tanah milik negara atau tanah milik Eropa hampir semuanya terdaftar pada kantor pendaftaran tanah seperti tanah eigendom. tanah-tanah milik barat tersebut tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum pertahanan Barat.

Munculnya dualisme sistem kepemilikan tanah tersebut dikarenakan pemerintah Belanda masih belum mengerti dengan jelas Bagaimana batasan-batasan dari sistem kepemilikan tanah pribumi tersebut. sebenarnya diperlakukannya dualisme ini akan memperjelas tanah-tanah barat ini supaya tunduk pada hukum sedangkan bagi para pribumi untuk memperjelas kepastian hak pribumi tentang tanah, akan tetapi supaya pemerintah Belanda bisa memungut pajak dari tanah milik pribumi.

Sistem tanam paksa sendiri sebenarnya telah mencampuri sistem pemilikan tanah di pedesaan karena para petani diharuskan menyerahkan tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor. beban ini telah menyebabkan pergeseran sistem penguasaan dan pemilikan tanah untuk penataan pembagian ke

wajiban penyediaan tanah dan kerja kepada pemerintah.Dari sini terlihat terdapat kecenderungan di mana tanah petani yang sebelumnya luas menjadi terbelah pilah dan semakin kecil serta ketentuan tanah perorangan yang menjadi tanah kamunal (Noer Fauzi, 1999:31-32)

Campur tangan pemerintahan kolonial sebenarnya adalah pelanggaran-pelanggaran hak. pada masa tanam paksa pemerintah kolonial telah menjadikan hak ulayat atas tanah-tanah pertanian menjadi hak komunal. pemerintah sama sekali tidak mau mengakui hak dari desa-desa yang bersangkutan untuk mengadakan permusyawaratan. (orang indonesia dan tanahnya, cornelis van vollenhoven, (STPN PRESS 2013, YOGYAKARTA)

DAFTAR PUSTAKA

  • Ahmady Irhash & dkk. (2010). JAVA COLLAPSE Dari Kerja Paksa Hingga Lumpur Lapindo. Yogyakarta: INSIST Press
  • Zulkarnain. (2010). Serba Serbi Tanam Paksa. HISTORIA. Volume 8, Nomer 1
  • Zulkarnain. (2011). Dampak Penerapan Sistem Tanam Paksa Bagi Masyarakat. INFORMASI, Volume 37, Nomer 1
  • Kurniawan Hendra. (2014). Dampak Sistem Tanam Paksa Terhadap Dinamika Perekonomian Petani Jawa 1830-1870. Jurnal SOCIA, Volume 11, Nomer 2
  • Fauzi Noer. (1999). PETANI DAN PENGUASA: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: INSIST
  • Vollenhoven V. C. (2013). Orang Indonesia Dan Tanahnya. Yogyakarta: STPN PRESS.

Penulis

NamaAbdus Samad
Abdus Samad
umur23 tahun
StatusPelajar di Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Jember

Pos terkait