Strategi Militer Jepang Kamikaze Di Perang Dunia II Tahun 1944-1945

Pada awal terbentuknya Kamikaze, ditekankan bahwa sasaran utama misi Kamikaze ini ialah kapal induk. Bagian dari kapal induk yang ditabrak ialah flight deck atau geladak untuk menerbangkan pesawat. Pesawat yang digunakan dalam misi ini kebanyakan ialah tipe pesawat tempur Zero.

Orang Amerika biasa menyebut pesawat ini Zeke. Selain itu, pesawat pembom yang berpangkalan di kapal induk, Suisei (orang Amerika menyebut pesawat ini Judy), juga cukup sering digunakan dalam misi Kamikaze. Pesawat-pesawat itu membawa sebuah bom seberat 250 kg atau empat buah bom yang masing-masing beratnya 60 kg.

Bacaan Lainnya

Zero adalah pesawat Mitsubishi A6M yang merupakan pesawat tempur berbasis kapal induk pertama di dunia. Zero merupakan nama sandi dalam AL Jepang, yakni Type 0 Fighter, yang dalam bahasa Jepang dikenal sebagai Rei Shikō Sentōki atau biasa disingkat Reisen. Selama Perang Dunia II, tercatat produksi pesawat Zero sebanyak 10.449 unit (Azhari, 2011:52).

Pada awal Perang Pasifik (1941 – 1942), Pasukan Udara Angkatan Laut Jepang banyak memperoleh keberhasilan. Pesawat tempur Zero disegani oleh Sekutu. Akan tetapi, sejak pertengahan tahun 1943, Zero menjadi tertinggal kualitasnya bila dibandingkan dengan F6F, F4U, dan P38 milik Amerika Serikat.

Para ilmuwan Jepang belum berhasil menciptakan pesawat baru yang lebih canggih sebagai pengganti Zero. Selain itu, produksi Zero juga hanya mampu menutupi setengah dari kebutuhan garis depan (Inoguchi, Nakajima, and Pineau, 2008:34).

Perubahan sasaran Kamikaze terjadi pada misi Kamikaze di Okinawa pada bulan April – Juni 1945. Pada pertempuran tersebut, pilot Kamikaze dari AL Jepang diperintahkan untuk mengkonsentrasikan serangannya pada kapal perang. Sementara itu, pilot Kamikaze dari AD Jepang berkonsentrasi menyerang kapal transpor (Rielly, 2010:47).

Baca juga: Kapal perang Jepang Yamato tenggelam dan Pertempuran Okinawa

Kesempatan untuk menjadi relawan dalam korps serangan khusus Kamikaze gelombang pertama diberikan kepada para bintara penerbang. Pada tahap awal Kamikaze, formasi penyerbuan standar terdiri atas tiga pesawat yang melakukan Kamikaze dan dua pesawat pengawal.

Perhitungan ini dibuat berdasarkan teori bahwa setiap formasi harus dibuat kecil supaya bisa memaksimalkan pergerakannya. Kelompok kecil pesawat dianggap lebih mampu menghindari pesawat penyergap Sekutu serta mempertahankan formasi saat cuaca buruk (Inoguchi, Nakajima, and Pineau, 2008:86).

Lima pesawat dianggap merupakan jumlah terbaik dalam melakukan serangan. Satu pesawat tidak akan bisa merusak kapal sebesar kapal induk dengan efektif. Selain itu, karena kurangnya jam terbang yang berimbas pada keahlian pilot, ditetapkanlah bahwa tiga pesawat bunuh diri dan dua pesawat pengawal adalah rasio terbaik.

Formasi ini dianggap sebagai formasi dengan perhitungan terbaik, akan tetapi bukan berarti harus diterapkan secara mutlak. Formasi ini fleksibel. Jumlah pesawat yang terlibat dalam setiap misi Kamikaze ialah variatif, tergantung pada kondisi cuaca, situasi musuh Jepang, dan ketersediaan pesawat (Inoguchi, Nakajima, and Pineau, 2008:87).

Serangan Kamikaze harus dilakukan sembunyi-sembunyi, yaitu saat unit udara Sekutu yang kini jauh lebih kuat dari Jepang tidak ada di sekitar area pelaksanaan Kamikaze. Pesawat-pesawat Kamikaze harus mampu bergerak dengan lincah, cepat, dan pasti, terutama saat tinggal landas. Setiap tahapan dalam misi Kamikaze harus dilakukan secepat mungkin (Inoguchi, Nakajima, and Pineau, 2008:86 – 87).

Keberadaan kedua pesawat pengawal sangat penting, oleh karena itu yang ditugaskan menjadi pilot pesawat pengawal hanyalah para pilot handal. Bila di tengah perjalanan mereka bertemu pesawat Sekutu, maka pesawat pengawal harus menjauhkan pesawat Sekutu tersebut agar pesawat Kamikaze mampu menabrakkan dirinya ke sasaran.

Pesawat pengawal hanya boleh mengambil langkah defensif, bukan ofensif. Pesawat pengawal harus selalu ada di sisi pesawat Kamikaze, pesawat pengawal juga tidak diperkenankan mengubah arah terbang. Walau hanya sebentar, meninggalkan kelompok akan membuat pesawat pengawal tertinggal sehingga gagal untuk kembali berada di sisi pesawat Kamikaze.

Keahlian yang dibutuhkan dari pilot pesawat pengawal ialah menghindari serangan pesawat Sekutu dan juga menggertak atau menjauhkannya, dibandingkan menembak jatuh pesawat tersebut.

Tidak jarang pilot pesawat pengawal harus mengorbankan nyawanya pula karena tugas utama pilot pesawat pengawal ialah melindungi pesawat Kamikaze agar berhasil menjalankan misinya (Inoguchi, Nakajima, and Pineau, 2008:87-88).
Pesawat pengawal juga berkewajiban melindungi pesawat Kamikaze dari serbuan pesawat Sekutu yang mengejar pesawat Kamikaze yang akan kembali ke pangkalan karena tidak menemukan sasaran tabrak.

Selain itu, pesawat pengawal juga diperlukan untuk mengamati hasil serangan Kamikaze serta mengumpulkan data yang bisa berguna untuk misi-misi Kamikaze berikutnya (Inoguchi, Nakajima, and Pineau, 2008:74).

Keberhasilan misi Kamikaze juga terletak pada kesigapan awak darat. Awak darat bertanggung jawab terhadap kondisi mekanis pesawat, dengan bekerja memperbaiki dan merawat pesawat.

Di samping itu, mereka juga berkewajiban membersihkan landasan pacu dari pecahan bom dan peluru sebagai akibat dari serangan Sekutu. Landasan pacu harus bersih dari pecahan-pecahan material tersebut supaya roda pesawat tidak bocor. Pekerjaan ini sulit, ditambah lagi Sekutu menyerang setiap hari.

Di antara para pilot Kamikaze, ada persepsi yang berkembang luas, yaitu kokpit merupakan peti mati bagi pilot Kamikaze sehingga harus bersih tanpa noda. Oleh karena itu, sebagai bentuk dukungan penuh bagi rekannya yang melakukan misi Kamikaze, awak perawatan selalu membersihkan pesawat dengan sungguh-sungguh (Inoguchi, Nakajima, and Pineau, 2008:121).

Saat ada pesawat yang mampu kembali ke pangkalan, awak darat langsung menyambut pesawat tersebut. Begitu pilot turun dari kokpit, awak darat langsung membawa pesawat tersebut ke tempat persembunyian. Awak darat menyamarkan pesawat-pesawat Jepang agar selamat dari serangan udara Sekutu.

Dedikasi para awak darat ini juga terlihat dari inisiatif mereka, mereka langsung memperbaiki pesawat yang kembali ke pangkalan sebelum pilot melaporkan kerusakan pesawatnya (Inoguchi, Nakajima, and Pineau, 2008:121).

Prosedur pelaksanaan misi Kamikaze dibuat secara sederhana dan efektif. Pesawat pengintai yang bertugas mencari kapal-kapal Sekutu akan menyampaikan informasi ke pos terdekat bila mereka telah berhasil menemukan kapal-kapal tersebut. Informasi ini kemudian disampaikan kepada Markas Besar di Manila.

Dari Markas Besar, barulah informasi ini diteruskan kepada pangkalan serangan khusus yang sesuai. Prosedur pelaporan keberadaan kapal-kapal Sekutu ini kurang lebih menghabiskan waktu selama dua jam. Pangkalan udara yang menerima informasi ini kemudian akan membunyikan alarm agar para pilot Kamikaze dan pilot pesawat pengawal bersiap.

Dari sejak alarm berbunyi hingga saat pesawat lepas landas kurang lebih menghabiskan waktu sebanyak dua jam juga. Dalam rentang waktu tersebut, para pilot bersiap sambil mendengarkan pengarahan dari instruktur Kamikaze. Pengarahan tersebut mengenai keputusan jumlah pesawat, waktu, dan arah keberangkatan pesawat.

Sebelumnya, instruktur Kamikaze telah terlebih dulu menandai posisi armada Sekutu, memperkirakan kekuatan, serta arah dan sasaran taktis. Jadi, persiapan pelaksanaan serangan Kamikaze ini memerlukan waktu empat jam (Inoguchi, Nakajima, and Pineau, 2008:118).

Selain para pilot, para awak darat juga segera bersiaga saat alarm dibunyikan. Para awak darat mengeluarkan pesawat dari tempat persembunyian ke titik pemberangkatan pesawat. Mereka memasang bom, memeriksa dan mengisi bahan bakar hingga penuh, serta memanaskan mesin.

Para pilot yang menunggu giliran terbang sering mengadakan pesta minum sake juga sebagai perayaan perpisahan dengan teman-temannya. Saat waktu keberangkatan sudah pasti, para pilot akan mengenakan gear (pelindung kepala) lengkap dan ikat kepala hachimaki, membawa katana sebagai simbol ksatria, serta melakukan upacara minum sake perpisahan.

Biasanya, mereka juga akan berdoa dan merenung sambil memegang bendera hinomaru (hinomaru no hata). Kemudian, para pilot menaiki pesawatnya masing-masing. Sebelum terbang, para pilot melambaikan tangan kepada rekan-rekannya sebagai bentuk salam perpisahan.

Para pilot mengawali misinya dengan terbang ke arah laut. Pesawat- pesawat ini terbang tinggi untuk menghindari serangan mendadak Sekutu. Ketinggian tersebut membuat para pilot harus mengenakan masker oksigen karena udara yang semakin menipis. Saat daerah sasaran sudah dekat, pesawat-pesawat ini akan menambah kecepatan.

Para pilot Kamikaze menyiapkan bomnya dengan cara melepaskan kunci pengaman pemicu bom, sedangkan para pilot pesawat pengawal bersiaga untuk memblokir serangan Sekutu. Pesawat Kamikaze yang paling depan memberi tanda untuk memulai serangan. Setiap pilot Kamikaze memilih sasaran serang, khususnya kapal induk.

Para pilot memfokuskan serangannya ke elevator geladak terbang yang dianggap sebagai titik paling rentan. Api yang berkobar dan asap yang membumbung tinggi menjadi pertanda telah dilaksanakannya misi Kamikaze (Inoguchi, Nakajima, and Pineau, 2008:89 – 90).

Misi Kamikaze ini menuntut para pilot bergerak cepat, mulai dari naik ke kokpit, tinggal landas, membentuk formasi, hingga terbang menuju sasaran. Kecepatan tinggi dituntut saat tinggal landas dan membentuk formasi.

Pesawat yang sudah dikeluarkan dari tempat persembunyian oleh awak darat, dan diletakkan di titik tinggal landas sangat mudah dilihat Sekutu, dan bisa langsung diserang oleh pesawat Sekutu yang setiap hari selalu berpatroli ke setiap pangkalan udara Jepang.

Oleh karena itu para pilot Kamikaze harus bisa menyiapkan diri dan menerbangkan pesawat secepat mungkin, jangan sampai pesawat yang siap berangkat tersebut menjadi sitting duck (sasaran empuk) bagi pesawat Sekutu (Inoguchi, Nakajima, and Pineau, 2008:132 – 133).

Pesawat tempur Zero yang membawa bom seberat 250 kg berkurang kecepatannya dan tidak bisa bergerak lincah. Pesawat ini juga menemui kesulitan dalam menghindari serangan Sekutu maupun menyerang radikal. Para pilot Kamikaze dilatih intensif dalam hal lepas landas dan mengudarakan pesawat.

Dengan memiliki kecepatan dan kecekatan, para pilot Kamikaze dapat melawan serbuan Sekutu. Beban pesawat tersebut mengharuskan para pilot menjaga pesawat tidak naik terlalu cepat, perlahan-lahan menjaga kestabilan pesawat, dan mempertahankan ketinggian terbang setinggi 50 meter sehingga mencapai kecepatan terbang yang sesuai (Inoguchi, Nakajima, and Pineau, 2008:133).

Setelah pesawat pemimpin unit Kamikaze tinggal landas, pesawat berikutnya akan menyusul dengan interval 100 meter, dan semakin lama interval ini semakin pendek. Metode ini memungkinkan pembentukan formasi di udara dengan cepat, dan pesawat tidak harus terbang berputar untuk menunggu rekan-rekannya. Formasi ini harus dipertahankan dalam kondisi cuaca seperti apapun (Inoguchi, Nakajima, and Pineau, 2008:133)

Para pilot harus mengasah kemampuannya dalam bidang navigasi agar dapat menemukan sasaran. Para calon pilot Kamikaze selalu diingatkan untuk memeriksa titik serang, mempertahankan arah, dan mencatat waktu serta jarak yang telah ditempuh selama pencarian kapal-kapal Sekutu.

Setiap pilot harus membekali dirinya dengan peta udara. Selain itu, para pilot juga harus menggambar sendiri peta wilayah tempatnya bertugas supaya mereka mengenali dengan baik wilayah terbangnya (Inoguchi, Nakajima, and Pineau, 2008:134).

Pada gelombang pertama Kamikaze, sasaran yang ditetapkan ialah kapal- kapal induk Sekutu. Akan tetapi, pada serangan-serangan Kamikaze berikutnya ditetapkan pula kapal-kapal angkut Sekutu dan kapal-kapal lainnya sebagai sasaran serang Kamikaze. Titik serang terbaik di kapal induk ialah elevator tengah atau sekitar sepertiga panjang kapal dari depan.

Titik serang yang efektif lainnya ialah elevator depan atau elevator belakang. Titik ini merupakan titik rentan, dan kerusakan pada bagian ini menyebabkan kapal tidak bisa beroperasi dengan efektif lagi. Kapal angkut, kapal perusak, dan kapal-kapal perang kecil lainnya akan mengalami kerusakan fatal jika diserang di bagian antara anjungan dengan bagian tengah kapal.

Geladak kapal perang kecil dan geladak kapal angkut yang tidak terlindungi menjadikan kapal-kapal ini sangat rentan terhadap serangan udara. Tabrakan yang tepat pada sasaran hanya membutuhkan satu pesawat Kamikaze untuk menenggelamkan kapal-kapal itu. Sementara itu, bagi jenis kapal lain, titik serang yang paling baik ialah bagian dasar anjungan.

Anjungan adalah pusat kendali kapal, maka kerusakan pada bagian ini otomatis menyebabkan kelumpuhan kapal (Inoguchi, Nakajima, and Pineau, 2008:131).

Jika jumlah pesawat memadai, seharusnya dikirimkan empat pesawat untuk menenggelamkan satu kapal induk besar. Dua pesawat menabrak elevator tengah, satu menabrak elevator depan, dan satu lagi menabrak elevator belakang. Realita yang ada justru bertolak belakang.

Keberadaan kapal induk Sekutu yang sangat banyak tidak diimbangi dengan minimnya jumlah pesawat yang tersedia. Akhirnya, hanya satu pesawat Kamikaze yang ditugaskan menabrak kapal induk Sekutu dengan harapan bisa menabrak sasaran di titik yang tepat. Apabila saat serangan terjadi ada begitu banyak Sekutu di lautan, maka para pilot harus cepat menentukan sasarannya (Inoguchi, Nakajima, and Pineau, 2008:131).

Pesawat Zero dan Suisei adalah tipe pesawat yang ringan dan cepat. Ada dua cara efektif bagi jenis pesawat ini untuk mendekati Sekutu, yaitu menyerang dengan ketinggian yang sangat tinggi atau rendah sekali. Ketinggian 6.000 – 7.000 meter dipilih sebagai titik ketinggian terbaik untuk menghindari serbuan pesawat Sekutu.

Pada ketinggian ini, pesawat sulit dilihat dari permukaan laut, dan walaupun masih bisa terdeteksi radar Sekutu, Sekutu akan menghabiskan waktu lebih banyak untuk menaikkan pesawatnya hingga mencapai jangkauan serang. Semakin tinggi ketinggian terbang, semakin sulit pula Sekutu menyerang (Majalah Angkasa Edisi Khusus Kamikaze, 2010:33).

Di atas ketinggian 4.000 meter, udara semakin menipis dan pilot harus memakai masker oksigen. Bila ada masalah dengan perlengkapan oksigen, maka pilot bisa kehilangan kesadaran juga kehilangan kontrol atas pesawatnya. Selain itu, pada ketinggian 7.000 meter, pilot semakin berkurang kemampuan bertempurnya, karena penglihatan dan akurasi penilaian berkurang. Pilot Kamikaze yang sudah ditempa melalui pelatihan intensif seminggu penuh dapat mengatasi problem tersebut (Inoguchi, Nakajima, and Pineau, 2008:129).

Baca juga: Runtuhnya kekuasaan Jepang di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Axell, Albert, and Kase Hideaki. 2002. Kamikaze: Japan’s Suicide Gods. London: Pearson Education.
P.K. Ojong. 2008. Perang Pasifik (10th ed.). Jakarta: Kompas.
Sasaki Mako. 2012. “Who Became Kamikaze Pilots, and How did They Feel Towards Their Suicide Mission?” The Concord Review (1999).
Robin L Rielly. 2010. Kamikaze Attacks of World War II. London: McFarland & Company, Inc.
Emiko Ohnuki. 2006. Kamikaze Diaries. Chicago : The University of Chicago Press
Steven J. Zaloga. 2010. Kamikaze Japanese Special Attack Weapons 1994-45. Chicago : The University of Chicago Press.
A.A. Azhari. 2011. Ganbatte! Meneladani Karakter Tangguh Bangsa Jepang. Bandung: PT Grafindo Media Pratama.
Emiko Ohnuki. 2006. Kamikaze Diaries. Chicago : The University of Chicago Press
Inoguchi Rikihei, Nakajima Tadashi, and Roger Pineau. 1958. Kisah Para Pilot Kamikaze: Pasukan Udara Berani Mati Jepang pada Perang Dunia II. Trans. Gatot Triwira. Depok: Komunitas Bambu
Dower, John W. 1993. War Without Mercy: Race and Power in the Pacific War (7th ed.). New York: Pantheon Books.
Goto Ken‟ichi. 1998. Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Paul J. Chara, Jr. And Kathleen A. Cham. 2001. Posttraumatic Stress Disorder Among Survivors Of A Kamikaze Attack. Psychological report. 89,577-582.
Paul J. Chara, Jr. And Kathleen A. Chara. 2004. Ptsd And Coping Resources Among Survivors Of A Kamikaze Attack: The Role Of Character Strength. Psychological Reports, 95, 1163-1171.
Daniel McKay. 2016. The Right Stuff: The Kamikaze Pilot in Kerri Sakamoto’s One Hundred Million Hearts and Ruth Ozeki’s A Tale for the Time Being. MELUS Vol 41 No 1.
Adrianus Agung W. 2012. Pertempuran Laut Jawa: Gurita Jepang Mencengkeram Nusantara. Yogyakarta: Mata Dadi Presindo.

PENULIS

NamaAlip Nur Wahyudi
Emailalipwahyudi30@gmail.com
AlamatGlenmore, Banyuwangi, Jawa Timur
StatusMahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah Universitas jember

Pos terkait