Suriah negara tanah Arab di jantung Timur Tengah

Suriah adalah suatu tanah Arab di jantung Timur Tengah, sudah menjadi pusat perdagangan selama lebih dari 5.000 tahun. Di sepanjang pantai laut Tengah bangsa Funisia mendirikan pos-pos terdepan perdagangan. Lokasi penting ini, yang menghubungkan Asia dengan Afrika dan Eropa, telah menarik para pedagang dan penakluk, termasuk orang-orang Mesir, Yunani, Romawi, Arab, Mongol, dan Turki. Wilayah ini masih berada di bawah kekuasaan asing sampai-tahun 1946, saat lahir negara Suriah yang modern dan merdeka.

Geografi Suriah

Suriah merupakan kumpulan tanah dari bagian barat Bulan Sabit Subur. Pada zaman kuno dan abad pertengahan merupakan istilah geografis yang diberikan kepada seluruh daerah yang sekarang membentuk negara-negara modern Suriah, Libanon, Israel, dan Yordania.

Suriah terbagi dalam dua daerah utama yang berjalan sejajar sampai ke Laut Tengah: satu jalur yang agak sempit di bagian barat yang terdiri atas barisan pegunungan yang kompleks dan satu jalur yang jauh lebih besar di bagian timur yang menurun ke Sungai Eufrat, yang melalui negeri ini sejauh beberapa ratus kilometer sebelum masuk ke Irak. Luas total wilayah yang dapat ditanami adalah 45%, tetapi hanya 70% dari tanah ini yang ditanami.

Lebih dari 80% penduduk Suriah berdiam di sepanjang pantai baratnya di Laut Tengah. Daerah ini juga merupakan tempat kota-kota terbesar: ibu kotanya, Damaskus; Aleppo; Homs; Hama; dan Latakia.

Di sebelah barat, Suriah mempunyai dua barisan pegunungan: jajaran Jebel Ansariyah dan Anti Libanon tempat Gunung Hermon, gunung tertinggi. Di ujung baratdaya ada Gunung Jebel Druze, yang terdiri atas lahar gunung berapi.

Di sini hidup orang yang disebut suku Druze. Suatu tebing gunung yang curam dan luas yang disebut Dataran Tinggi Golan (kira-kira 2.600 km2) jatuh ke tangan Israel dalam perang tahun 1967 dan dianeksasikan oleh Israel pada tahun 1981.

Peta Suriah

Peta selengkapnya bisa anda baca di: Peta Suriah atau di google map

Rakyat Suriah

Penduduk Suriah terdiri atas empat kelompok etnik utama: orang Arab, yang mencakup 91%, Kurdi 6%, Armenia 3%, dan Turki1,5%, ada pula beberapa kelompok yang lebih kecil. Hampir semua orang berbahasa Arab. Kelompok Kurdi, Armenia, dan Turki memakai bahasa Arab sebagai bahasa kedua.

Agama

Sekitar 75% bangsa ini adalah penganut Suni (Sunnah), 12% adalah Alawi, dan 3% Druze. Druze adalah cabang agama Islam Syiah dan datang ke Suriah pada abad ke-11 dari Mesir. Kelompok muslimin terbesar kedua, kaum Alawi, adalah cabang lain aliran Shiah, yang berasal dari abad ke-9 dan ke-10.

Aliran Alawi sangat menghormati Nabi Muhammad dan Salman AI-Farsi, orang Persia sahabat Nabi. Karena hidup berdampingan erat dengan orang Kristen selama berabad-abad, maka sistem keagamaan dan kepercayaan, pesta, dan adat-istiadat kaum Alawi telah dipengaruhi oleh agama Kristen.

Kaum Alawi telah mempertahankan persatuan sosial yang besar, mungkin karena penyiksaan yang mereka alami di bawah rezim Suni dan pengasingan geografis mereka di kawasan pegunungan di provinsi Latakia.

Persatuan sosial ini memungkinkan kaum Alawi menguasai partai Baath dan pemerintah setelah tahun 1966. Naiknya kaum Alawi pada panggung kekuasaan itu merupakan sumber pertikaian yang berkelanjutan dengan mayoritas kaum Suni.

Suriah mempunyai lebih dari sepuluh kelompok Kristen yang berbeda, yang mencakup 12% – 13% dari penduduknya. Melalui persahabatan yang erat dengan pihak Barat yang beragama Kristen, masyarakat Kristen sejak permulaan menjadi lebih berpendidikan dan lebih pandai berbahasa asing dibandingkan dengan rekan mereka yang beragama Islam.

Persahabatan orang Kristen dengan negara-negara Eropa itu kemudian menimbulkan kecurigaan tentang nasionalisme Arab mereka dalam diri kaum Muslimin sehingga meningkatkan ketegangan antara dua kelompok masyarakat ini.

Rumah penduduk Suriah

Cara Hidup Rakyat Suriah

Baik dalam Suriah tradisional maupun modern, asosiasi dengan agama merupakan bagian paling penting dari jati diri seseorang. Posisi di dalam masyarakat juga ditentukan oleh hubungan keluarga, status, dan keberhasilan seseorang sebagai seorang pedagang, pemimpin agama, serdadu, atau politikus bergantung pada jaringan sahabat pribadi. Pertalian keluarga, marga, dan suku mempengaruhi pekerjaan dan posisi orang.

Kehidupan desa

Pada akhir Perang Dunia I, sebagian besar Suriah merupakan negeri pedesaan dan pertanian. Kira-kira 8000 penduduk hidup di desa, dengan 15% dari jumlah itu adalah suku pengembara atau Badui.

Para petani hidup di sekitar 4.000 desa yang terpencar-pencar dan kebanyakan di antara mereka tidak memiliki tanah. Sampai 80% dari tanah yang diolah dimiliki oleh tuan tanah besar, yang seringkali memungut lebih dari separuh hasil panen. Sebagian tuan tanah memiliki seluruh desa.

Kebanyakan desa itu terpencil, sedangkan jumlah jalan yang menghubungkan desa-desa itu tidak cukup. Rumah-rumah tersebut terbuat dari batu dengan jendela kaca. Angka kematian sangat tinggi, penyakit merajalela, dan air minum tercemar.

Berbagai desa dan kota yang terpencil seperti itu harus dapat berswasembada. Kehidupan desa adalah komunal dan penduduk desa harus saling bergantung untuk dapat hidup terus. Perkawinan, pemakaman, hari libur, dan pesta semuanya diadakan di dalam desa.

Namun, kehidupan tidak mudah dan bahkan seringkali merupakan perjuangan untuk sekedar mendapatkan cukup makanan, yang biasanya amat bergantung pada jumlah curah hujan. Pada tahun 1934, produksi gandum Suriah adalah sekitar 250.000 ton dan, pada pertengahan 1980an, telah meningkat 6 kali lipat.

Setiap buah, sayuran, atau padi-padian ekstra yang dimiliki oleh seorang petani dapat dibawa ke pasar (atau souk) di kota terdekat. Di sini penduduk desa menjual hasil bumi atau hasil kerajinan tangan di kios-kios terbuka. Di desa yang lebih kecil yang tidak memiliki pasar permanen, hari pasaran diadakan sekali atau dua kali seminggu di maidan atau alun-alun desa.

Perubahan Sosial dan Kebudayaan

Suriah, seperti kebanyakan negara Dunia Ketiga dan Timur Tengah, telah mengalami urbanisasi yang dramatis selama pertengahan terakhir abad ke20.

Pada tahun 1970-an hampir semua kota Suriah telah memecahkan tembok-tembok abad pertengahan mereka karena penduduk kota negara ini membengkak sampai 60% dari jumlah seluruhnya. Blok-blok apartemen beton yang bertingkat dan gedung-gedung kantor tumbuh dengan cepat.

Kebanyakan penduduk hidup di gedung apartemen bukannya di rumah biasa. Kebanyakan orang yang tidak sanggup membeli mobil, hidup di dekat pusat kota sehingga mereka dapat menggunakan angkutan umum.

Pendidikan

Penduduk kota membutuhkan pendidikan dan pelatihan untuk melakukan banyak tugas kehidupan kota. Pada tahun 1938, Suriah memiliki 100.000 pelajar sekolah dasar 7.000 siswa sekolah lanjutan, dan 350 mahasiswa. Dua universitas baru, di propinsi Latakia dan di Homs, dibuka pada tahun 1970-an.

Dewasa ini terdapat kira-kira 1.500.000 pelajar sekolah dasar, lebih dari 500.000 siswa sekolah lanjutan, dan lebih dari 100.000 mahasiswa. Sejak memperoleh kemerdekaan pada tahun 1946 penekanan pemerintah Suriah pada sekularisme dan sosialisme telah menghasilkan sekitar 100.000 sarjana wanita.

Ekonomi Suriah

Perkembangan ekonomi dan industri Suriah setelah kemerdekaan telah dihambat oleh beberapa faktor: peperangan dengan Israel pada tahun 1948-1949, 1967, 1973, dan 1982 dan pertikaian dengan tetangga Arabnya yaitu Libanon, Yordania, dan Irak. Banyak keputusan ekonomi telah didasarkan pada kebutuhan politik. Pemerintahan berubah dengan cepat melalui kudeta.

Ketidakstabilan politik membuat negara ini hanya mempunyai sedikit modal untuk investasi. Setelah perang 1967 itu, Suriah menyatakan sedang ”berkonfrontasi” dengan Israel dan menerima kira-kira US$ 20 milyar dari negara-negara Arab penghasil minyak.

Konflik dan perjuangan politik dengan Irak karena ideologi Baath menyebabkan beberapa kali penutupan jaringan pipa minyak, yang membawa minyak mentah Irak melintasi Suriah ke pelabuhan-pelabuhan Laut Tengah.

Pada tahun 1980-an, minyak telah menjadi salah satu produk dan barang ekspor utama Suriah, yang mencakup hampir 75% dari seluruh penghasilan ekspor. Jatuhnya harga minyak pada awal tahun 1980-an secara drastis mengurangi ekspor minyak. Ini berarti bahwa negara ini hanya memiliki lebih sedikit uang untuk diinvestasikan dalam pembangunan industri.

Tertekannya pasaran minyak pada akhir tahun 1980-an sangat mengurangi ekspor Suriah dan kemampuannya untuk mendapat mata uang asing. Bidang-bidang pembangunan industri selain minyak dan gas alam mencakup fosfat, besi, baja, penggilingan gula, tekstil, dan semen.

Sejarah Suriah

Letak geografis Suriah di antara Lembah Sungai Nil, Mesopotamia, dan dataran tinggi Iran, telah membuatnya menjadi suatu jalan raya untuk para kafilah dan tentara. Bangsa Kanaan dan Funisia datang pada tahun 3000 sebelum Masehi. Penggalian-penggalian belakangan ini di baratdaya Aleppo menunjukkan bahwa ada suatu negara besar antara tahun 3000 dan 2500 sebelum Masehi.

Bangsa Mesir kuno menaklukkan bagian selatan Suriah dalam tahun 1600 sebelum Masehi, sedangkan saingannya, bangsa Hittite, menguasai bagian utara. Dalam abad-abad berikutnya bangsa Babilonia, Asiria, dan Aramea memperebutkan daerah itu dan akhirnya bangsa Aramea yang menjadi penguasa daerah itu pada tahun 1200 sebelum Masehi.

Mereka mendirikan ibu kota mereka di Damaskus, yang telah didiami untuk pertama kalinya pada tahun 2000 sebelum Masehi, dan membangun sebuah benteng besar di Aleppo. Nama Suriah berasal dari kata Syriac, dialek Aramea yang dituturkan di sekitar Damaskus.

Suriah kuno memberikan sumbangan kebudayaan yang besar kepada peradaban dunia Barat. Salah satunya adalah abjad yang dipakai oleh bangsa Funisia dan kemudian dipakai oleh banyak bangsa lain.

Tiga agama monoteis besar Yudaisme, Kristen,dan Islam juga berasal dari negeri ini. Dua agama pertama adalah sumbangan dari bangsa Yahudi, sedangkan yang ketiga adalah sumbangan dari bangsa Arab.

Pada abad ke-6 sebelum Masehi, Suriah menjadi bagian dari Kekaisaran Persia yang sangat luas. Pada abad ke-4 sebelum Masehi, negeri ini dimasukkan ke dalam Imperium Iskandar yang Agung, yang menghancurkan kekuatan Persia dan membuka jalan untuk menaklukkan Suriah di bawah Imperium Romawi.

Seperti di tempat-tempat lain di Timur Tengah, puing-puing Kekaisaran Romawi Kuno masih ada di sana-sini. Terpecahnya Imperium Romawi pada abad ke-4 sesudah Masehi menyebabkan Suriah menjadi bagian dari Imperium Bizantium, yang bermarkas besar di Konstantinopel.

Penguasa Islam

Suriah ditaklukkan oleh kaum Muslimin Arab pada tahun 634-636. Bangsa Arab memberikan Suriah dua ciri pemersatu nasionalnya bahasa Arab dan agama Islam. Namun, sampai akhir abad ke-13 lebih dari 50% penduduk bagian barat sepanjang Laut Merah masih tetap beragama Kristen. Ini menyebabkan negeri ini memiliki kebudayaan yang lebih Hellenistis dan berorientasi ke Barat daripada yang terjadi di negara-negara Arab lainnya.

Pada tahun 661, Suriah menjadi pusat dunia Islam. Damaskus adalah ibu kota Bani Umaiyah (661 -750). Pasar-pasar penuh dengan permata, sutera, rempah-rempah, dan minyak wangi dari Timur dan tekstil, anggur, dan barang pecah-belah dari Eropa.

Para ahli seni Damaskus dan Aleppo terkenal di dunia karena kepandaian mereka, khususnya dalam kerajinan perak, emas, kuningan, dan tembaga. Aleppo, dengan bentengnya yang mengagumkan, menguasai jalur-jalur kafilah dan militer di bagian utara, yang merupakan jalan lintas dari Teluk Persia dan Samudra Hindia ke Laut Tengah. Para pedagang Suriah telah terkenal di seantero Eropa.

Keruntuhan Kekalifahan Abasiyah pada abad ke-11 membuka jalan bagi penaklukan Suriah oleh Turki Bani Seljuk, yang menduduki Damaskus pada tahun 1075. Pada tahun 1091 orang Eropa melancarkan Perang Salib pertama, yang mengakibatkan penguasaan Eropa selama hampir satu abad atas sebagian besar negeri ini. Menjelang akhir abad ke-12, di bawah kepemimpinan besar Salahuddin, bangsa ini dibebaskan kembali dari orang Kristen Eropa.

Pada tahun 1516, Suriah ditaklukkan oleh Turki Usmani, yang sedang dalam perjalanan penyerangan terhadap negara Mesir Mameluk.

Selama 4 abad berikutnya, negeri ini berada di bawah dominasi Imperium Usmani. Namun, menjelang akhir abad ke-18, banyak daerah luar kota dikuasai oleh para panglima perang setempat-disebut pasha.

Kemunduran lmperium Usmani memberi jalan, baik kepada sebuah dinasti baru di Mesir maupun kepada orang Eropa, untuk membangun kekuasaan mereka di Suriah dan Libanon.

Sejarah Modern

Pemerintahan Bani Usmani yang lemah dan tantangan Eropa mendorong timbulnya nasionalisme Arab dan kehendak bangsa Suriah untuk menjadi negara merdeka. Kehendak ini timbul seusai Perang Dunia l, ketika tahun 1920-1946 negeri ini jatuh ke bawah mandat, atau penguasaan, Prancis. Baru setelah terjadi perlawanan hebat dan pemberontakan rakyat, Suriah mendapat kemerdekaannya pada tahun 1946.

Dari tahun 1946-1963, negeri ini diperintah oleh berbagai pemerintah sipil dan militer. Selama 3 tahun (1958-1961) bergabung dalam sebuah uni dengan Mesir. Suatu fase baru dalam sejarah negeri ini mulai pada tahun 1963, ketika partai Baath berkuasa. Partai ini menekankan pada nasionalisme Arab, sosialisme, dan sekularisme.

Dari tahun 1966-1970, kebijakan radikal dilakukan, tetapi saat Hafiz al Assad mulai berkuasa pada tahun 1970, Suriah mengambil kebijakan yang lebih moderat. Perkembangan politik yang paling penting pada tahun 1970-an dan 1980-an adalah pengaruh atas politik oleh kaum Alawi yang merupakan 12% jumlah penduduk. Kaum Alawi memperlemah dukungan Suriah terhadap politik pan-Arab sehingga menyebabkan kekecewaan di pihak kaum Suni tradisional.

Masalah utama tentang kebijakan luar negeri pada dekade 1970an dan 1980an dimulai dari campur tangannya atas Libanon pada tahun 1976. Negeri ini merasa terpanggil untuk campur tangan di Libanon sebagai akibat terjadinya persetujuan perdamaian Meslr dengan Israel.

Suriah percaya bahwa persetujuan perdamaian akan menghadapkannya langsung kepada serangan Israel lewat Libanon karena Israel tidak perlu lagi menghadapi Mesir. Pada tahun 1982, negeri ini bertempur dengan Israel di Libanon sebagai sekutu Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang mewakili bangsa Palestina.

Setelah perang Irak – Iran meletus pada tahun 1980 (baca: Penyebab terjadinya Perang Teluk I), Suriah mendukung Iran menentang negara serumpun Arabnya Irak.

Tindakan ini disebabkan oleh kelemahan negara-negara Arab dan Suriah berharap bahwa imbauan kaum revolusioner Syiah akan membantu mendukung kebijakannya di Libanon. Kaum Syiah Libanon merupakan pendukung utama kehadirannya di Libanon.

Saat ini, Suriah menghadapi krisis besar. Persekutuannya dengan Iran, sebuah negara non-Arab, merupakan kontradiksi langsung terhadap kebijakan Arab yang telah diidamkan sejak tahun 1963 oleh pemerintah dan Partai Baath sendiri. Negara ini juga telah meningkatkan keterlibatannya dalam mengakhiri perang di Libanon.

Diulas oleh:
ROBERT W. OSLON, Universitas Kentucky
Editor: Sejarah Negara Com

Pos terkait