Perang Padri Abad ke-19

Perang Padri abad ke-19 – Seringkali terjadi dalam sejarah bangsa Indonesia pertentangan antar golongan di campuri oleh Belanda dan dimanfaatkan untuk keuntungannya.

Kejadian seperti terjadi pula di Sumatra Barat pada dekade abad ke-19. Masalah apakah yang menjadi sumber pertentangan itu dan bagaimana Belanda memanfaatkannya untuk keuntungannya?

Bacaan Lainnya

Pertentangan Golongan Agama dan Golongan Adat

Pada awal abad ke-19 di Sumatra Barat terjadi pertentangan antara golongan agama dan golongan adat. Golongan agama yang dipengaruhi oleh paham Wahabi berusaha memberantas kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran agama, seperti berjudi, menyabung ayam dan meminum minuman keras.

Usaha tersebut dihalangi oleh golongan adat yang pada umumnya seringkali melakukan kebiasaan itu.

Pertentangan itu kemudian berkembang menjadi perang saudara. Golongan adat yang terdesak meminta bantuan Inggris yang sejak tahun 1795 menguasai Padang dan beberapa tempat di pesisir barat setelah direbut dari Belanda. Sementara itu golongan agama sudah menguasai pedalaman Sumatra Barat dan menjalankan pemerintahan berdasarkan agama.

Pada tahun 1819, Belanda menerima kembali Padang dan sekitarnya dari Inggris. Golongan adat meminta bantuan Belanda untuk melawan Padri. Belanda memang berkeinginan untuk menguasai daerah pedalaman Sumatra Barat untuk kepentingan ekonomi.

Pada bulan Februari 1821 kedua belah pihak menandatangani perjanjian. Sesuai dengan perjanjian maka mulailah Belanda mengerahkan pasukannya untuk menghadapi Padri.

Terjadinya Perang Padri abad ke-19

Pertempuran Pertama Padri dan Belanda

Pertempuran pertama antara Padri dan Belanda yang dibantu oleh golongan adat terjadi pada bulan April 1821 di daerah Sulit Air, dekat dengan Danau Singkarak. Bagi Padri, perang itu bukan lagi perang saudara, tetapi perang melawan kekuatan kolonial yang berlangsung sampai tahun 1838.

Dalam waktu yang relatif singkat, Belanda berhasil menduduki Pagarruyung, bekas kedudukan raja-raja Minangkabau.

Akan tetapi mereka gagal merebut pertahanan Padri di Lintau dan Kapau. Lalu Belanda mengubah taktik, mengajak beberapa pemimpin Padri berdamai.

Pada tahun 1824 diadakan perjanjian damai dengan Padri Bonjol di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol. Namun perjanjian itupun dilanggar Belanda.

Sementara itu, di Jawa pecah Perang Diponegoro. Sebagian pasukan Belanda ditarik ke Sumatra Barat. Pasukan yang tinggal pada umumnya hanya bertahan hanya bertahan di daerah-daerah yang sudah mereka kuasai. Sebaliknya, Padri pun tidak sering melakukan serangan.

Sesudah Perang Diponegoro berakhir tahun 1830, Belanda kembali memusatkan perhatian untuk menaklukkan seluruh Sumatra Barat. Pada masa itu, beberapa tokoh utama Padri sudah meninggal dunia.

Tokoh utama yang masih ada ialah Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai. Tuanku Imam Bonjol merupakan lawan terberat bagi Belanda.

Belanda berhasil menduduki daerah-daerah yang gagal mereka rebut pada masa sebelumnya. Bahkan Bonjol jatuh ke tangan mereka pada sebelumnya. Bahkan Bonjol jatuh ke tangan Belanda pada bulan September 1832. Akan tetapi, pada tanggal 11 Januari 1833, Bonjol direbut kembali oleh Padri.

Pertempuran kembali berkobar di tempat-tempat lain. Pada masa ini sebagian golongan adat sudah berbalik melawan Belanda.

Perang yang berkobar tahun 1833 itu mencemaskan pemerintah Belanda. Mereka menangkapi orang-orang yang dicurigai, termasuk Sentot Alibasyah, bekas Panglima Perang Diponegoro.

Dia dan pasukannya dikirim ke Sumatra Barat untuk memerangi Padri. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, mereka bekerjasama dengan Padri.

Maklumat Plakat Panjang

Belanda dalam keadaan lemah. Mereka memerlukan waktu untuk menambah kekuatan. Pada tanggal 25 Oktober 1833, pemerintah Belanda mengumumkan maklumat yang disebut “Plakat Panjang“.

Isinya: ajakan kepada penduduk Sumatra Barat untuk menghentikan perang dan selanjutnya hidup dalam suasana damai. Belanda juga berjanji akan menghormati adat-istiadat penduduk.

Setelah bantuan pasukan datang dari Jawa, pada bulan Juni 1834 Belanda kembali melancarkan serangan. Sasaran utamanya ialah Bonjol. Selama kurang lebih 3 tahun pertempuran berkobar di sekitar Bonjol. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837 pertahanan Bonjol jatuh ke tangan Belanda.

Tuanku Imam Bonjol dan sebagian pengikutnya berhasil meloloskan diri. Beberapa waktu lamanya dia melanjutkan perjuangan dengan cara berpindah-pindah tempat. Belanda menawarkan perundingan dengan janji jika perundingan gagal, Tuanku Imam Bonjol dapat kembali ke tempatnya.

Tuanku Imam Bonjol di Tangkap

Pada tanggal 25 Oktober 1837, dia tiba di Palupuh untuk berunding. Akan tetapi dia langsung ditangkap sebelum perundingan dimulai. Pemerintah Belanda membuang Tuanku Imam Bonjol ke Cianjur, Jawa Barat, kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lota, dekat Manado.

Walaupun Bonjol sudah jatuh dan Imam Bonjol sudah dibuang, namun perang belum seluruhnya usai. Di bagian utara Sumatra Barat masih berkobar perlawanan di bawah pimpinan Tuanku Tambusai. Barulah pada akhir tahun 1838 perlawanan ini dipatahkan oleh Belanda.

Pos terkait