Ternyata ada 3 hal yang mempengaruhi Pertempuran Ambarawa

Sejarah Negara Com – Sebagai kelanjutan pada tulisan-tulisan saya Pertempuran Ambarawa yang terdahulu, berikut saya paparkan mengenai beberapa kondisi yang memengaruhi pertempuran di Ambarawa pada tahun 1945 silam. kondisi tersebut meliputi kondisi geografis, kondisi ekonomi, dan kondisi militer.

Beberapa kondisi tersebut memungkinkan terjadinya pertempuran di Ambarawa. sebagai contoh, kondisi iklim Ambarawa yang cukup sejuk dan tidak terlalu panas menyebabkan masyarakat Belanda merasa nyaman dan enggan beranjak dari Ambarawa.

Bacaan Lainnya

Pada akhirnya hal tersebut menjadikan warga Belanda yang tinggal di Ambarawa semakin banyak. Maka memungkinkan manakala terjadi singgungan sekecil apapun, bisa menyulut perselisihan yang besar.

kondisi yang mempengaruhi Pertempuran Ambarawa

1. Kondisi Geografis Wilayah Ambarawa

Kota Ambarawa berada pada jalur penghubung antara Magelang dan Semarang. Secara geografis Ambarawa terletak pada posisi 110˚22’0,9” sampai 110˚24’57” Bujur Timur dan 7˚12’30,28” sampai 7˚17’2,95” Lintang Selatan, dengan ketinggian berkisar antara 16˚C sampai 31˚C.

Kondisi tersebut menjadikan Ambarawa sebagai daerah dengan lahan yang berbukit-bukit dan hawanya yang sejuk[1], Hal ini mendorong orang Eropa banyak bermukim di Ambarawa.

Pada tahun 1929, di Ambarawa tercatat jumlah penduduk Eropa 612 orang, dan Timur Asing 1.378 orang[2]. Karena letak geografis Ambarawa yang strategis ini, maka Jepang menempatkan tawanan wanita Belanda dari berbagai daerah di Ambarawa.

2. Kondisi Ekonomi di wilayah Ambarawa

Mata pencaharian pokok masyarakat Ambarawa adalah pertanian yang memberikan hasil berupa padi, sayuran, dan buah-buahan. Buah-buahan yang terkenal adalah salak yang terdapat di desa Bejalen[3]. Ambarawa juga merupakan salah satu daerah perkebunan dalam wilayah karesidenan Semarang.

Hasil perkebunan di Ambarawa antara lain, kopi, cokelat, karet, rempat-rempah dan kina. Hasil pertanian dan perkebunan itu dikirim ke Semarang[4]. Di Ambarawa, roda perekonomian berputar melalui proses perdagangan di pasar Projo, pasar Lanang, dan di sepanjang jalan Jenderal Sudirman.

Di wilayah Ambarawa juga terdapat perusahaan batik yang sebagian besar dikuasai oleh orang Cina, perusahaan batik yang terkenal adalah Oei Pho Hyang. Sedangkan pabrik rokok terdapat di Pringapus (Ambarawa) milik H.D. Mac Gillavrij. Sedangkan di Ambarawa sudah lama terdapat perusahaan-perusahaan rokok kecil yang menghasilkan rokok kretek[5].

Kondisi ekonomi di Ambarawa yang kondusif tersebut, memungkinkan orang-orang Belanda mudah memberikan suplai makanan kepada tentara yang terjun ke medan pertempuran.

3. Kondisi Militer Wilayah Ambarawa

Di Ambarawa terdapat jalur rel kereta api yang terletak pada pertemuan jalur rel kereta api dari Kedungjati menuju ke Ambarawa dan jalur rel dari Magelang menuju ke Ambarawa, yang beroperasi pada tahun 1873. Stasiun itu bernama Stasiun kereta Api Willem I.

Pembangunan rel kereta api itu berkaitan dengan keberadaan Benteng Willem I sebagai pusat kedudukan militer Belanda.[6] Keberadaan Benteng Willem I sendiri berhubungan dengan terjadinya perang Diponegoro dan kekhawatiran Belanda terhadap serangan Inggris.

Benteng Willem I difungsikan sebagai tempat penyimpanan logistik, pendidikan, latihan, dan kamp tawanan. Sebagai daerah pusat militer, maka dirasakan adanya keperluan angkutan militer yang cepat dan efisien mengangkut pasukan menuju daerah lain.

Dengan strategisnya kota Ambarawa, maka bila terjadi perlawanan di suatu daerah, pasukan Belanda akan cepat bergerak, karena kota Ambarawa yang berada di tengah-tengah antara Semarang dan Magelang.

Baca juga Potensi pembelajaran sejarah lokal di Ambarawa

Pada saat Jepang berkuasa di Indonesia pada tahun 1942, Jepang memerlukan banyak tempat untuk menampung tawanan-tawanan Belanda. Oleh karena itu, pihak Jepang memanfaatkan beberapa sekolah yang ada pada jaman Belanda sebagai kamp tahanan wanita, dan sinyo (anak-anak Belanda). Adapun kamp-kamp itu sebagai berikut:

1. Kamp no. 6 yaitu gereja katholik (gereja Jago)

Tempat ini digunakan untuk tawanan wanita dan anak-anak Belanda. Komplek gereja Jago sekarang difungsikan sebagai komplek pendidikan TK Virgo Maria dan SMP Materalma. Gereja tersebut terletak di Jln. Mgr. Sugiyopranoto no. 56 Ambarawa.

2. Kamp no. 7 di Sekolah Meer Uitogebreid lager Onderweijs (MULO) yang sekarang menjadi SMP Pangudi Luhur (SMP PL). lokasinya terdapat di Jln. Mgr. Sugiyopranoto no. 191 Ambarawa.

3. Kamp no. 8 bekas militer Zieken Heis yang sekarang difungsikan sebagai kantor Koramil 09. Kamp itu terletak di jalan Kartini Ambarawa.

4. Kamp no. 9 Tangsi Militer Batalyon KNIL Ambarawa sekarang menjadi markas Batalyon Kavaleri yang ada di jalan Pemuda Ambarawa.

5. Kamp no. 10, bekas Tangsi Militer kavaleri Banyubiru. Pasukan berkuda KNIL yang sekarang menjadi kesatrian Yon Zipur Banyubiru, sekarang terletak di jalan ………….. Banyubiru

6. Kamp no. 11 bekas benteng, yang sekarang menjadi Pusat Pendidikan Polisi Republik Indonesia, ada di jalan Bhayangkara Banyubiru[7] (wawancara dengan Sarmudji, 4 September 2010)

Dengan beberapa catatan di atas, bisa kita bayangkan bagaimana kondisi Ambarawa sebelum terjadinya pertempuran di Ambarawa ditinjau dari segi geografis, ekonomi, dan militer.kita juga bisa mendapatkan gambaran yang jelas tentang kondisi sosial masyarakat di Ambarawa saat itu. saya berharap paparan ini memberikan pemahaman baru bagi Anda. salam.

===========================================================================

  • [1] Sri Chiirullia Sukandar, “Latar Belakang Pendirian Stasiun willem I dan Pngaruhnya Terhdap Perkembangan Fisik Kota Ambarawa”, Skripsi, (Yogyakarta:Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada 2005) ,halaman 11.
  • [2] Arsip Nasional Republik Indonesia, Pemberitaan Sumber-Sumber Sejarah No.9, Memori Sejarah Jabatan 1921-1930 (Jawa Tengah), (Jakarta: ANRI, 1977), hlm. 43.
  • [3] Ibid. halaman XLV
  • [4] Ibid. halaman XLIV
  • [5] Ibid.
  • [6] Loc. Cit. halaman 50.
  • [7] Ahmad Luwih, dkk. Palagan Ambarawa. Pemerintah Kabupaten Semarang, Kantor Perpustakaan Daerah, 2006. Halaman 9. Dan hasil wawancara dengan Bapak Sarmudji, 4 September 2010.

Pos terkait